Bagaimana Frater Mengartikan Cinta?
(Oleh: Fr. Herman Ndode, CP)
Manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan dan kewajiban (sampai batas tertentu) untuk menyelidiki arti yang dalam dari “yang ada”, kata Louis Leahy (Siapakah Manusia, 2001:16). Ia melanjutkan, manusia memikirkan dan bertanya tentang segala hal. Maka tidak heran bahwa ia cenderung secara sepontan mengajukan pertanyaan: apakah artinya menjadi manusia? Maka tulisan ini mencoba untuk menampilkan pertanyaan lain, hasil dari percakapan dengan sahabat awam[1] saya. Pertanyaan sahabat saya itu begini, “Bagaimana Frater mengartikan cinta?”
Pada titik awal saya memberinya jawaban bahwa arti yang saya berikan mungkin hanya akan mengecewakannya atau terkesan dangkal, karena memang saya belum banyak berpengalaman akan tema ini. Namun, saya berusaha menjawabnya lewat tulisan sederhana ini juga mencoba untuk memberikan argumen filosofis untuk menyampaikan arti cinta lewat jalan refleksi dan tulisan-tulisan lain tentang “memaknai cinta”.
Frederikus Suni[2] dalam artikelnya menulis, Seorang Frater adalah manusia biasa yang memiliki batas-batas terlemahnya. Ia jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Toh, ia adalah pribadi yang utuh secara seks dan seksual. Tapi, cinta seorang Frater itu universal, tak seperti teman-teman sebayanya yang memilih jalan panggilan di luar tembok biara.[2] Sedangkan menurut Plato, cinta adalah penyatuan jiwa. Cinta adalah energi yang menyatukan. Ternyata orang yang jatuh cinta dalam bahasa Platonis memiliki keinginan yang terdalam. Ini adalah kesatuan jiwa di luar keindahan. Cinta adalah masalah jiwa. Karena sifatnya yang transenden, maka kesatuan yang diinginkan bukan terutama fisik, tetapi melampaui realitas fisik. Orang yang dicintai memberikan segalanya untuk menjadi orang yang lebih baik karena mereka fokus pada kebaikan. Dan saya memberikan tanggapan bahwa “cinta itu merupakan relasi yang saling mendukung, saling memberikan kebebasan dan pilihan serta memberikan teguran jika ada yang bertindak salah. Makna istimewa yang ditemukan ialah bahwa cinta memengaruhi cara saya berpikir, merasa, dan bertingkah laku. Selanjutnya cinta harus mampu membuat saya dan yang lain saling menghargai dan orang yang dicintai pun terhindar dari perasaan eksploitasi atau pemanfaatan untuk keuntungan sendiri.”
Cinta memang sering kami bicarakan di meja makan Biara Pio Campidelli atau juga dalam perjalanan kami menuju STFT WS[3]. Tetapi lebih menarik jika sebagai frater kami sadar diri bahwa cinta kami tidaklah terikat hanya pada satu pribadi manusia saja, melainkan termotivasi oleh Yesus sebagai model dan teladan utama, yakni mencintai semuanya saja dengan tidak membuat kotak dan sekat. Karena cinta yang dibangun atas sekat dan kotak bisa mengurung kami dalam kegelapan. Kami pun lebih mudah salah meraba dan berpotensi terantuk akibat dari gelap tadi, lalu jatuh dalam penyesalan. Kemudian, siapa yang salah? Apakah salahnya ‘cinta’? Atau, salahkah frater mencintai maupun sebaliknya, ia dicintai?
Pada kasus ini, ketika frater jatuh cinta (fall in love) atau dia sebagai subyek yang dijatuhcintai, maka inilah saat berahmat baginya untuk mengartikan cinta. Ini adalah saat diuji kematangannya. Ini saat ia tidak langsung memenjarakan rasanya atau rasa subyek lainnya yang mana terbatas pada cinta eros[4] semata, melainkan cinta yang rela berkorban. Cinta yang diusahakan tidak lagi tergantung pada bakat, kualitas-kualitas yang ada di dalam pribadi orang lain (cantik, lembut, ramah, pengertian, dsb); tidak memandang orang lain terbatas sebagai “pribadi yang lain” melainkan melihat orang lain sebagai bagian dari diri sendiri yang disebut dengan agape. Paus Francis mengatakan, “Agape, cinta kita masing-masing untuk satu sama lain, dari yang terdekat hingga yang terjauh, sebenarnya adalah satu-satunya cara yang diberikan Yesus kepada kita untuk menemukan jalan keselamatan dan Sabda Bahagia.”
Cinta tidak mengucilkan siapa pun, apalagi menyudutkan orang lain. Karena cinta yang mengucilkan hanyalah kebohongan dan hanya untuk membuktikan bahwa dirinya mencintai dengan syarat. Cinta memeluk semua, menyambut semua dan menghidupkan semua. Karena cinta yang kemudian memeluk seseorang saja hanyalah keegoisan atau keserakahan semata. Cinta merombak kematian menjadi kehidupan, menghalau kegagalan dan memenuhinya dengan surya terang. Cinta kami sebagai murid Yesus adalah kepedulian yang mendalam untuk kesejahteraan orang lain, tanpa keinginan untuk mengendalikan orang lain itu, tidak untuk meminta terima kasih dari orang lain itu, dan cinta itu menikmati prosesnya.
Sebagai murid Yesus kami mempelajari bahwa cinta itu juga adalah tanggung jawab; yang mana, kami secara sadar memeliharanya sebagai bagian dari ikrar kaul kemurnian. Dan tentang menghidupi kaul kemurnian, Joan Chittiter[5] berpendapat dan mengingatkan bahwa kemurnian lebih dari sekedar sebuah bentuk kehidupan yang asketik. Ia menggarisbawahi primat cinta dalam menghidupi kemurnian. Di satu sisi, benar bahwa dengan memeluk selibat orang harus berhati-hati dalam relasinya dengan yang lain, sehingga tidak terikat pada siapa pun atau menjadi budak keinginan seksual. Tetapi di lain pihak, selibat tidak boleh menghalangi orang untuk mencintai. Ia tidak seharusnya menghalangi potensi individu-individu untuk membangun persahabatan dengan orang lain.
Akhirnya Rob Bel[6] mengatakan, “Agape tidak mencintai seseorang karena mereka layak. Agape membuat mereka layak dengan kekuatan dan kekuatan cintanya. Agape tidak mencintai seseorang karena mereka cantik. Agape mencintai sedemikian rupa sehingga membuat mereka cantik.”
SELESAI.
[1] Lumen Gentium Art. 31 . Yang dimaksud dengan kaum awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja.
[2] https://www.kompasiana.com/fredysuni/5fa80350d541df02e07ca342/apakah-frater-calon imam-katolik-bisa-jatuh-cinta.
[3] STFT WS, merupakan singkatan dari Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana. Tempat kami calon imam belajar dan diajar.
[4] Eros adalah cinta seksual, yang didasarkan pada nafsu/birahi. Di sini, orang lain tidak dipandang sebagai person/subyek melainkan hanya sebagai obyek. Penghargaan terhadap orang lain sebagai pribadi tidak ada. Satu-satunya yang ada ialah nafsu “ego”.
[5] Joan Daugherty Chittister, O.S.B., adalah seorang biarawati, teolog, penulis, dan pembicara Benediktin Amerika. Dia telah menjabat sebagai priores Benediktin dan presiden federasi Benediktin, presiden Konferensi Kepemimpinan Wanita Religius, dan ketua bersama Inisiatif Perdamaian Global Wanita.
[6] Robert Holmes Bell Jr. adalah seorang penulis, pembicara, dan mantan pendeta Amerika. Bell mendirikan Mars Hill Bible Church di Grandville, Michigan, dan menggembalakannya hingga tahun 2012. Di bawah kepemimpinannya, Mars Hill adalah salah satu gereja dengan pertumbuhan tercepat di Amerika.