Abstrak

Dalam paper ini, Saya menempatkan fokus penulisan pada sebuah judul Liyan Dalam Pengalaman Sehari-hari Aku (Perspektif Armada Riyanto). Menurut saya judul ini sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia. Alasannya, karena Liyan hadir dalam kehidupan sehari-hari Aku yang pernah luput dari kehidupan kita sebagai manusia, karena sesungguhnya Liyan tidak akan bisa hidup sendiri atau Liyan tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan sesamanya. Inilah yang membuat Liyan selalu berusaha menjalin komunikasi dan interaksi dengan sesamanya. Argumentasi Saya bahwa realitas tema ini adalah Liyan dipinggirkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Liyan selalu berusaha mengaktualisasikan dirinya ketika Liyan belajar mengenai dirinya sendiri, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya, maka Liyan itu selalu memerlukan uluran tangan dari sesamanya. Agar dapat tercipta terjalinnya hubungan antar sesama. Metodologi yang akan saya gunakan dalam penulisan paper ini adalah kepustakaan dan buku sumber. Temuan yang saya dapatkan dalam tema Liyan dalam Pengalaman Sehari-hari Aku adalah Bagaimana Liyan dapat membangun kehidupannya?

 

Kata Kunci: Liyan, Aku, Pengalaman, Relasi, Komunikasi.

 

  1. Latarbelakang

Liyan Dalam Pengalaman Sehari-hari Aku (Perspektif Armada Riyanto), ini adalah dia/mereka yang tersisih. Suku-suku masyarakat yang ada di hutan-hutan atau di pinggirannya di banyak wilayah di Indonesia merupakan kelompok warga negara yang tersisih. Aku menyebut mereka “tersisih”, karena hidup dan konteks pengalaman keseharian berada di luar kendalinya. Mereka tidak menjadi tuan atas pengalaman hidupnya sendiri. Ketika mereka tersisih oleh kebijakan pembangunan atau perbabatan hutan atau penanaman kelapa sawit atau tercekik oleh asap kebakaran hutan, mereka benar-benar menjadi orang ketiga dalam societas. Ketika, fasilitas dasar seperti listrik, air, dan udara yang baik untuk hidup menjadi barang yang mahal, mereka menjadi kelompok orang ketiga.  

Sebagai orang ketiga, mereka “voiceless.”Tidak ada posibilitas partisipasi kehidupan bagi mereka. Mereka tidak berada di wilayah komunikasi pengambilan keputusan. Kenyataan semacam ini jelas tidak mengindikasikan struktur gramatika kehidupan yang manusiawi. Dalam gramatika kehidupan jelas dimungkinkan komunikasi. Komunikasi dimungkinkan oleh kebenaran bahwa kehidupan sehari-hari punya karakter elaboratif. Keseharian tidak lengang, melainkan sibuk. Manusia-manusia tidak hanya melakukan aktivitasnya untuk dirinya sendiri melainkan sibuk berinteraksi satu sama lain membangun kehidupannya. Kesibukan inilah yang memungkinkan komunikasi dan kebersamaan.

 

  1. Status Qestionis/Research Qestionis.

Dalam paper ini, ada tiga pertanyaan yang menjadi status qestiones-nya.berikut ialah daftarnya.

  1. Bagaimana relasi Aku dan Liyan dalam Pengalaman Sehari-hari?
  2. Apakah Aku dan Liyan sebagai makhluk sosial?
  3. Mengapa Aku sebagai subyek komunikasi?

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut bertujuan untuk menemukan jawaban-jawaban yang relevan  dalam pengalaman kehidupan Liyan Sehari-hari.

 

  1. Metodologi

            Dalam paper ini metodologi yang digunakan adalah pembacaan kritis dengan menggunakan buku Rasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen), sebagai sumber utamanya. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa sumber pendukung sesuai dengan tema yang diangkat yaitu Menjadi Mencintai (Berfilsafat Teologi Sehari-hari), Aku dan Sayap (Kata Filsafat dan Sayap), (Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Keindonesiaan), Diktat Metafisika, Harun, Sari Sejarah Filsafat barat 1, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Diktat Matra-Matra Filsafat Sosial, Filsafat Proses. Di sisni telah menjelaskan tentang Liyan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti mereka terpisah, terpinggirkan dari peran-peran tata hidup bersama). Namun, Liyan ini dapat didefinisikan sebagai orang lain yang hidup berdampingan dengan Aku. Tanpa orang lain Aku tidak bisa menyadari kehadiranku, keadaanku. Dengan inilah menggambarkan bahwa orang lain berperan penting dalam kehidupan itu. Sehingga Liyan ini adalah orang lain yang menunjukan kehidupan itu sebagai realitas dengan apa yang di alaminya dalam kehidupan itu.

  1. Penelitian Terdahulu

4.1. Studi Penelitian Terdahulu

Liyan adalah Aku yang lain. Artinya mereka yang tersisihkan dari kehidupan itu. Sehingga kehidupan Liyan itu banyak diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang dipandang rendah dari kehidupannya. maka, perlunya pendampingan sesamanya. Agar kehidupan mereka mengalami kesatuan yang baik dalam komitmen keberadaan mereka. Hal ini, mereka dapat membangun kehidupan yang mendatangkan persaudaraan teguh, kokoh dan kuat dalam kehidupannya.

 

4.2. Posisioning Penelitian

Liyan dalam pengalaman sehari-hari ini menunjukan nilai-nilai kehiupan manusia yang mengembara di dunia ini. Sehingga Liyan ini dapat menjadi teladan dan contoh bagi setiap orang yang melakukan apa yang ia alami dan hadapi dalam situasi itu. Dengan begitu, Liyan menjai ciri khas manusia sebagai makhluk berakal budi dan sebagai mahkluk sosial dalam kehidupan manusia.

 

4.3. Siapakah Liyan Menurut Armada Riyanto?

            Dalam buku Armada Riyanto, Rasonalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi Aku, Teks, Liyan, fenomen) Menguraikan filsafat Liyan atau “the other” (dalam bagian ini “the”diatribusikan untuk menafirmasi being atau keberadaannya, bukan sekedar ketentuannya) mengadaikan pemahaman tentang ekspolorasi “the self”. Filsafat pertama-tama adalah filsafat tentang self. Dapat dikatakan, filsuf penemu “Self”. Filsafatlah wilayah ekspolarasi “Self”. Bila “Self” diindentikan dengan Aku, halnya telah diuraikan pada bagian ini memaksudkan suatu pergulatan filosofis tentang Liyan (the other).[1]

The other berarti sesuatu yang berada “di luar”. Di luar dijelaskan dalam kaitannya dengan relasi intersubjektif. Liyan memiliki pengertian antara lain: manusia yang mengalami ketidakadilan dan penindasan dalam konteks biologis, budaya, sosial, politik, agama, hukum dan lain-lain. Liyan dapat juga di mengerti sebagai sesuatu yang berada di luar wilayah komunikasi diri, yang dipandang sebagai obyek. Liyan dengan kata lain adalah orang lain selalu hidup berdamping dengan aku. Tanpa kehadiran orang lain aku tidak bisa menyadari kehadiranku, keadaanku. Hal ini menunjukan bahwa orang lain begitu besar peranannya dalam realitas pengadaku. Aku dilahirkan dari orang lain dan juga orang lain juga lahir dari orang lain begitu seterusnya. Oleh sebab itu,kehadiran mereka menunjukan suatu kesatuan hidup manusia kerena manusia tidak pernah hidup sendiri tetapi selalu bersama orang lain. Itulah orang lain. Lalu, mengapa ada Liyan? Karena Liyan memang berarti orang lain sama dengan the other. Namun, Liyan dalam pengertian ini lebih cenderung pada makna yang negatif. Dibandingkan dengan penjelasan sebelumnya, Liyan ialah sebutan bagi orang lain yang “diorang-lainkan”.

Kehadiran mereka merupakan yang terpisahkan dari kehidupan normal. Kehadiran mereka merupakan yang tidak dianggap dan yang perlu”dilenyapkan.” Masih banyak pengertian tentang Liyan dalam kehidupan ini: korban bencana, korban perang, para buruh, dan penderitaan HIV/AIDS misalnya, adalah Liyan yang nyata di masa sekarang dan masih banyak bentuk lainnya. Akibat dari gelar Liyan yang dicapkan kepada mereka ini menjadikan  mereka sendiri tidak bisa mengembangkan kapasitas manusianya, kehilangan esensi partisipasinya, dan selalu hidup dalam keterbelengguan, keterpurukan,dan kehilangan hakikatnya sebagai manusia.

 

  1. Liyan dalam Pengalaman Sehari-hari Aku

5.1. Aku sebagai Subyek komunikasi

 Aku sebagai komunikasi subyek  terhadap subyek mengafirmasikan bahwa setiap subyek memiliki satu kesatuan eksistensi. Ketika sebuah subyek memilih, atau dipilih oleh, relasi Aku, Engkau, ini merupakan tindakan yang mencakup keseluruhan eksistensi subyek. Maka, relasi Aku, Engkau suatu tindakan pemulihan, atau kenyataan yang dipilih, untuk menjadi subyek dalam suatu komunikasi subyek terhadap subyek. Subyek menjadi sebuah subyek melalui relasi Aku, Engkau, dan tindakan pemilihan relasi ini mengafirmasikan seluruh kenyataan Aku sebagai subyek komunikasi.

 

Seperti keserupaan antara “Aku” Allah dan “Aku” manusia menjadi nyata dalam posibilitas komunikasi. Sebab, manusia adalah ciptaan Allah yang segambar dengan Sang pencipta. Sehingga relasi Aku sebagai subyek dalam komunikasi tentu memiliki peran yang sangat penting dalam hidup. Peran ini menujukan Aku sebagai penggerak dan yang menghubungkan ini adalah Allah itu sendiri. Jadi, inilah inter-relasi antara Allah dan manusia, bahkan inter-relasi yang dekat, semata karena “Aku”.[2]

 

Buber mengatakan bahawa komunikasi Aku, engkau merupakan komunikasi interpersonal yang langsung dan tidak mediasi oleh intervensi sistem ide apa pun. Tidak ada obyek-obyek pemikiran yang berinvertensi di antara Aku sebagai subyek komunukasi.[3] Jadi, Aku adalah subyek komunikasi dan relasi yang langsung antara subyek-terhadap subyek, yang tidak dimediasi oleh relasi dan komunikasi lainnya.  Aklu subjektif adalah fondasi segala bentuk kehadiran manusia dengan kekayaan relasi yang mungkin dalam hidupnya.  Aku subjektif juga sumber pengetahuan. Pengetahuan yang berasal dari subjektivitas memiliki kewibawaan lahir dari lived experience. Artinya, pengetahuan subjektif memiliki asal dari pengalamn hidup itu sendiri. Di dalamnya  termasuk juga pengetahuan intuitif ,sebuah pengetahuan yang hanya menjadi mungkin dalam pengalaman.[4]Dengan demikian, Aku bukanlah alat untuk beberapa obyek atau tujuan tertentu,melainkan suatu komunikasi dan relasi pokok dalam seluruh kenyataan setiap subyek. Aku bukanlah obyek yang diinterprestasi, melainkan Aku sebagai subyek yang menginterprestasikan. Dan, interprestasi subyek adalah interprestasi untuk diri.

 Di sini berlaku konsep bahwa setiap makna adalah untuk diri. Tak mungkin makna bukan untuk siapa-siapa. Karena manusia adalah subyek bagi hidupnya, untuk diri memungkinkan setiap interprestasi memiliki kekhasannya yang mencengangkan. “Aku” manusia tidak bisa diandaikan sama saja dalam menginterprestasi realitas.[5] Di sini Framework”Aku” memasuki suatu momen tahapan yang lebih tinggi. Mengenai pengalaman yang sama, semisal menjadi tahapan politik (tapol) di era orde baru, menjalani hukuman yang serupa dalam tahun dan penempatan, tidak bisa diasumsikan bahwa manusia-manusia yang terhukum memiliki interprestasi yang sama saja tentang memoria pasionisnya (pengalaman penderitaannya). Di sini interprestasi benar-benar ada dalam dunia subjektif.

Interprestasi untuk diri bukanlah interprestasi egoistik, reduktif bukan. Interprestasi untuk diri merupakan aktivitas interprestasi itu sendiri. bahkan apabila subjek menginterprestasi dirinya sendiri, maksudnya pengalamannya sendiri,interprestasi itu pastilah memiliki karakter untuk diri. Manusia hidup pada intinya adalah untuk dirinya. ketika manusia belajar, dia melaukan untuk dirinya, ketika dia bekerja, dia juga mengupayakannya untuk dirinya, ketika manusia menjalani hidup sehat, demikian dia merealisasikannya untuk dirinya.

 

5.2. Liyan dalam keseharian Aku

            Manusia pada dasarnya selalu senang dengan keindahan dalam hidup kesehariannya. Hal ini buktikan dengan keinginan mata melihat pemandangan yang indah dalam hidup kesehariannya seperti keinginan telinga untuk mendengar lagu dan alunan musik yang merdu dan indah.  Singkat kata, panca indera manusia terikat untuk menikmati sesuatu yang dalam hidup kesehariannya yang dirindukan oleh manusia. Indah keseharian dalam hidup adalah itu masuk dalam kategori empat aspek transendental, satu, baik, benar dan indah. Dimana kehidupan keseharian dalam relasi Aku dan Liyan itu pada dasarnya menyibakkan keindahan. Keindahan itu ternyata dalam kehadiranku dan kehediran Liyan dalam perjumpaan konkret kami. Sebab keseluruhan hidup kami sesungguhnya menjadi penjabaran dari keindahan itu sendiri meskipun tidak lengkap.[6] Hal ini ingin menunjukan bahawa sebenarnya kehadiran manusia itu adalah indah. Hal ini jelas dalam pandangan Katolik, bahwa manusia itu adalah citra dari Allah. Manusia adalah imago Dei.

 

Manusia ialah bahwa ia adalah makhluk rasional. Jadi, puncak perbuatan dalam kehidupannya terletak pada pikiran yang  murni dalam hidupnya. Dengan menjadikan pikiran murni ini manusia dalam hidup kesehariannya dapat membaur dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Sebagaimana pikiran murni itu juga dirasakan oleh orang lain dalam mengejar  keindahan hidup kebahagian yang tertinggi, oleh setiap manusia dalam hidupnya.[7]

 

  Dengan Allah disebutkan sebagai akar dari segala keindahan, Ia adalah indah dari sendirinya, maka kehadiran Aku dan Liyan dalam keseharian sebagai gambarnya yang indah. Inilah yang menjadi dasar hidup manusia dalam keseharian seperti yang dilakukan Liyan dan Aku dalam keseharian kami. Dengan menjalankan hidup keseharian ini, Aku belajar dari Liyan yang mengalami kesedihan atau kedukaan hidupnya. Namun, hidup keseharian Liyan bukan hanya mengalami hidup yang hampa saja tetapi dapat diperbaiki melalui cerminan dari jati diri seseorang yang bagaimana ia memaknainya melalui hidup keseharian yang ia gunakan sebaik mungkin selama masih perziarahan di dunia ini. Sehingga hidup Liyan memiliki makna dan nilai-nilai hidup dalam kesehariannya itu.  

 

Menurut Heidegger, hidup sehari-hari itu ialah cara hidup tertentu,cara eksistensi tertentu. Eksistensi hidup sehari-hari dalam keindahan ialah surat kabar, sarana angkutan umum, meniru apa yang di perbuat “orang”serta menyesuaikan pendapatnya sendiri dengan pendapat orang. Tetapi puncak itu hanya dapat dicapai oleh para dewa, manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengar mengatur keingiannya.

 

 Kami mewarisi gambaran akan Allah yang menciptakan manusia dengan seturut gambarannya sendiri, maka gambaran itu pun melekat dalam diriku dan Liyan. Kami membawa gamabaran itu dalam setiap kehadiran kami dimanpun. Maka dengan demikian setiap perjumpaan Aku dan Liyan dalam relasi keseharian ini. Sehingga eksistensi manusia  dalam keseharian tumbuh oleh pengalamannya.[8]  Agar kami menghadirkan keindahan itu sendiri. Hal keindahan relasi dalam seharian antara Aku dan Liyan ini dilihat sebagai indah karena dalam relasi itu Aku dan Liyan menghargai keindahan masing-masing. Apabila dilihat dari konteks filsafat alteritas levinas, maka kehidupan itu diperlihatkan apa bila Aku dengan segala kerendahan hatiku menghargai Liyan yang pada dasarnya dengan segala keberlainannya yang tak berhingga adalah indah dalam keseharian.  Dengan keseharian ini Liyan dapat memperbaharuhi hidupnya melalui perbuatannya yang menjadi contoh yang hasrat dalam hidupnya yang baik. Sebagaimana yang dapat ia mengalami dalam hidup keindahan kesehariannya itu.

           

Secara fenomenologis hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebutkan demikian, bahwa mansuia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya itu dirangkumkan Heidegger dalam kata Besorgen (memelihara). [9]

 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keindahan dalam keseharian Liyan ini pun tak berhingga. Hal ini menunjukan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menghormati Liyan, apalagi mengeksploitasinya dan mereduksinya dalam diriku. Kami adalah keindahan hidup Liyan dalam keseharian Aku. Inilah yang menjadikan Aku dan Liyan sebagai manusia berakal budi. Mahkluk berakal budi ini berbeda dengan mahkluk lain seperti binatang. Jadi Aku dan Liyan mahkluk yang mempunyai akal budi yang merupakan berpikir secara efektif dan manusia sebagai kodrat alami.

 Manusia dengan akal budinya mampu memperbaharuhi dan mengembangkan sesuatu untuk kepentingan hidup dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, manusia ini sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagian hidup manusia itu dalam hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan dalam hidup keseharian. Dengan keseharian ini Aku dan Liyan terus diselimuti dengan relasi yang harmonis dalam hubungan itu. Sebab hubungan harmonis itu di sertai dengan relasi yang akur antara satu dengan yang lain.

 

5.3. Relasi Aku dan Liyan Dalam Membangun Kehidupan

Relasi Aku dan Liyan dalam membangun Kehidupan ini mengatakan Aku-Liyan adalah relasi dimulai“Know Your Self.” Hal ini sangat penting bagi perkembangan mutu hidup manusia dalam kehidupan dari zaman ke zaman. Dengan mengenal diri sendiri Aku akan dibawa kepada kesadaran bahwa Aku dan Liyan adalah jenis makhluk yang sama yang berjiwa raga dan berakal budi dan merupakan ciptaan Tuhan yang sempurna. Tetapi “Know Your Self” juga mengajak manusia menyadari bahwa Aku dan Liyan adalah ber”Aku yang sama sekaligus berbeda. Inilah awal relasi dalam membangun kehidupan.

Mencapai suatu relasi Aku-Liyan membutuhkan cinta. Cinta sangat menentukan dalam sebuah relasi. Seperti Di dalam cinta, Liyan tidak lagi orang lain. Melainkan, Liyan adalah Engkau yang dengan siapa Aku berelasi, berkomunikasi. Cinta dapat merevelasikan diri dalam relasi yang menghidupkan.[10] Ketika komunikasi berlangsung intens, Engkau menjadi Aku yang lain yang dengannya Aku melakukan penziarahan hidup. Setiap hari.[11] Tanpa cinta tidak ada seorang pun dapat menjalin sebuah relasi. Contoh, ketika kita marah dan benci dengan seorang teman, kita pasti tidak mau menegur, menyapa, dan berbicara dengannya. Dari contoh tersebut mau mengatakan bahwa saat pengalaman itu terjadi relasi menghilang. Orang akan mulai membangun tembok pemisah antara dirinya dan orang yang di musuhinya. Pemisahan ini akan terus berlanjut jika tidak ada kesadaran akan cinta. Relasi Aku-Liyan merupakan merupakan persahabatan dan bukan permusuhan. Aku mau bergaul dengan Liyan pertama-tama bukan maksud memanfaatkan kehancurannya sebagai Liyan, melainkan karena sebuah kesadaran “Aku”. Aku bersahabat mempunyai arti memberikan ruang agar Liyan memenuhi aku.

 

Persahabatan itu pertama-tama relasi manusiawi. Tetapi di sini memiliki fondasi kokoh,cinta.  Cinta sahabat lebih indah dari segala cinta yang bisa diberikan oleh kekasih. Gambaran keindahan cinta sahabat tak terlukiskan. Seperti Daud dan Yonatan sama-sama mendengarkan Sabda Tuhan. relasi mereka bukan relasi suka sama suka atau didasarkan pada kecocokan. Relasi persahabatan adalah cetusan terdalam dari “roh”yang mengalir dari Tuhan sendiri.[12]

 

Begitu pula,kehadiran Liyan lantas menjadi penuh makna bagi hidup Aku. Kehadiran Liyan melengkapi apa yang kurang dari hidupku, dan dari kekurangan pengertianku akan realitas manusia dan keseluruhannya, baik “Aku” manusia Liyan. Aku bersahabat menandakan sebuah empati akan Liyan ia patut diperhatikan, didekati, dan mengakui eksistensinya sebagai manusia, teman, dan saudara. Relasi ini akan lebih bermakna saat aku mau memosisikan diri sebagai Liyan dan Liyan memosisiskan sebagai Aku. Saat memosisikan diri secara demikian,baik Aku maupun Liyan, akan terjadi hubungan timbal balik antar keduanya: betapa sakitnya menjadi Liyan  dan betapa nyamannya menjadi Aku. Dari pertukaran yang demikian akan terjadi perubahan pandangan dalam hidup manusia dan akan terjadi perbaikan dan perkembangan mutu hidup hidup dalam kehidupan Aku-Liyan sebagai manusia.

Inilah sebuah relasi yang menunjukan sebuah kesadaran “Aku” bahwa Liyan adalah Aku dan Aku Adalah Liyan. Relasi keduanya dalam membangun kehidupan ini telah memunculkan sebuah konsep “You are the other of me” yang mampu mengubah pandangan dunia tentang siapa Liyan itu. Inilah pengakuan eksistensi akan Liyan,inilah relasi Aku-Liyan, dan konsep tentang Liyan sebenarnya tidak ada. Perlu kesadaran akan realitas ini.

Sehingga antara Aku dan Liyan memiliki lika-liku dalam sejarah peradaban manusia, bahkan hingga sekarang. Liyan seringkali tidak dipandang secara semestinya. Hal ini yang menyebabkab terjadi ketidakadilan dalam relasi,bahwa mansuia dengan kesadarannya tega mengeksploitasi Liyan demi kepentingan pribadi. jelas hal ini tidak seharusnya demikian. Liyan adalah subyek yang bernilai bagiku, nilai dari Liyan sangatlah tidak berhingga. Ia bahkan menjadi alan bagiku menggapai transendensiku. Oleh sebab ia adalah jalan bagiku menggapai transendensiku,maka tak ada alasan bagiku unuk tidak berlaku etis terhadap Liyan. Liyan pun memiliki kesadaran Aku-nya sendiri,maka sepertiku,untuk itu Aku adalah orang yang pertama-tama harus menjaga dan menghormati hak dari Liyan.

 

5.4. Aku dan Liyan sebagai makhluk sosial

Aku dan Liyan adalah manusia yang adalah mahluk sosial. Pernyataan ini tegas. Sebab inilah yang membedakan manusia dengan mahkluk lainnya seperti binatang. Pembeda Manusia dengan makhluk lainnya adalah manusia mempunyai akal budi yang merupakan berpikir secara efektif dan logis sebagai kodrat alami. Manusia dengan akal budinya mampu memperbaharuhi dan mengembangkan sesuatu untuk berguna dalam hidup dan selalu membutuhkan sesamanya dalam hidup sosialnya. Jadi dengan kata lain, manusia ini sebagai makhluk yang sosial tidak lain adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa sesamanya dalam menciptakan kebahagian hidup seperti baik, benar. Tentu manusia yang terus-menerus berinteraksi dengan sesamanya dalam hidup. Karena baginya sesama itu adalah keluarga yang istimewa dalam hidupnya. Artinya seseorang hidup tanpa orang lain tidak akan mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Maka, perlunya manusia membutuhkan sesamanya dalam hidup atau berinteraksi dalam hidupnya. Sehingga ia dapat disebut sebagai mahkluk sosial. Seperti  Manusia juga adalah seorang homo homini socius, kata Thomas Hobbes. Ia melakukan yang bersosial dalam hidupnya itu.

 

Smith menegaskan bahwa pembagian kerja manusia sebagai makhluk sosial yang dapat menyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban modern. Sebab kemajuan sosial ini adalah kebebasan manusia sebagai dasar dari kodrat sebagai manusia. Atas dasar itu, pembagian kerja manusia sebagai makhluk sosial yang dapat menyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban moderrn yang menciptakan hak milik yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun.[13]

 

 Dengan bersosial ini Aku dan Liyan dapat dilihat dari karakter dalam hidup. Sebab melalui karakter ini menunjukan bahwa kami adalah mahkluk sosial yang hadir dalam lingkungan yang kami diami atau menempatkan itu. Liyan dan Aku dapat berinteraksi satu sama lain dalam hubungan relasi kami sebagai mahkluk sosial. Sebab kami adalah mahkluk yang melakukan intaraksi satu sama lain dalam hidup peradaban kami ini. Peradaban humanitas,sosial menjadi sebuah ilmu dan tujuan hidup manusia. Karena nilai dan makna hidup manusia menjadi kemajuan sosial yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lalu kehidupan sosial ini,menjadi tolak dasar manusia dalam menghayati hidupnya sebagai kenyataan bagi hidup  manusia itu sendiri.

 

Sebagai mahkluk yang sosial, manusia baru sungguh hidup atau menghidupi hidupnya kalau terus menerus secara aktif membentuk dirinya. Manusia mengada dengan terus menerus “menjadi” Dengan menusia menjadi manusia dapat mencari jati dirinya. Dalam hal ini menekankan pentingnya manusia unuk mengisi hidupnya secara auntentik dan bermakna dalam hidup bersosialnya.[14]

 

 Sehingga manusia tidak mungkin yang mampu hidup sendiri. Hal ini, Omong kosong belaka jika kita mendengar seseorang hanya mampu hidup sendiri. Jika demikian,ia melanggar kodratnya. Pengetahuan akan kodrat manusia yang rasioanal dan sosial nyatanya tidaklah cukup. Manusia terlalu kompleks untuk direduksikan misalnya sekedar akal budinya. Manusia tinggal dan ada di dalam dunia dan semesta dimensi kehidupannya yang luas. Filsafat dan disiplin ilmu apapun tidak akan pernah tuntas dalam mengurai siapa manusia. Refleksi soal siapa manusia muncul dalam ide filsafat relasionalitas. Hal ini diuraikan oleh seorang filsuf indonesia Armada Riyanto dalam bukunya Relasionalitas-Filsafat Fondasi Interprestasi:Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) yaitu kodrat manusia bukan hanya rasional, tetapi juga rasioanal. Kemanusian bukan hanya dalam ranah rasionalitas tetapi juga relasionalitas. Rasionalitas dengan demikian adalah natura kemanusian kita.

 

  1. Temuan

Temuan saya adalah manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Mengapa? Karena dengan kehadiran orang lain, akan mendapat berkat dalam kehidupan itu. Sehingga manusia dalam kehidupannya tidak akan mengalami kehampaan atau kesusahan dalam hidupnya jikalau tanpa campur tangan orang lain. Sebab dengan kehadiran sesamanya dapat membangun kehidupannya melalui saling membantu, menolong, menghibur, toleransi dan membangun persaudaran yang akrab dan harmonis dalam kehidupan manusia itu. Inilah dasar dari seluruh kehidupan manusia sebagai mahkluk berakal budi.

 

  1. Kesimpulan

Kehidupan Liyan dalam pengalaman sehari-hari Aku ini adalah realitas dari kehidupan manusia. Sebab kehidupan manusia adalah pengalaman sehari-hari manusia  dimana manusia melakukan sesuatu yang berguna bagi hidupnya,bagi dirinya dan bagi kehidupan sesamanya. Di saat itulah kehidupan itu bergolak seprti gelombang air laut. Terkadang kehidupan manusia seperti gelombang air laut yang pasang surut. Tentu sebagaimana kehidupan manusia itu adalah tujuan yang mutlak bagi setiap orang dalam peziarahan di dunia.

Dengan peziarahan hidup ini, manusia adalah mahkluk berakal budi dalam hidupnya. Sebagai mahkluk berakal budi manusia berinteraksi dengan sesamanya. Sebab sesamanya itu adalah keluarga spesial bagi tujuan hidupnya. Sehingga manusia dapat melakukan hubungan relasi dengan sesamanya dalam kehidupan yang baik. Dari kehidupan inilah manusia mencapai taraf kehidupan yang penuh perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya itu. Jadi, kehidupan manusia adalah wadah yang menampung setiap orang yang mengalami hidup suka maupun hidup duka seperti juga yang di alami Liyan dalam pengalaman hidup sehari-harinya itu.

 

Daftar Pustaka

Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Lanun, Alex. Diktat Metafisika, Jakarta:Gramedia Pustaka utama, 2018.

Pandor, Pius. Diktat Matra-Matra Filsafat Sosial,Malang: Widya Sasana, 2016.

Riyanto, Armada. Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen) Yogyakarta:Kanisius, 2018.

 Riyanto, Armada dan dkk. (Eds), Aku dan Sayap (Kata Filsafat dan Sayap), Malang: Widya Sasana Publication, 2011.

…………………,Menjadi Mencintai (Berfilsafat teologis Sehari-hari),Yogyakarta:Kanisius, 2013.

…………………,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,Yogyakarta:Kanisius,1980.

Riyanto, Armada dan dkk. (Eds), (Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Keindonesiaan), Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Sudarminta, J. Filsafat Proses,Yogyakarta:Kanisius, 2018.

 

[1] Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen) Yogyakarta:Kanisius, 2018,hlm 243.

[2] Armada Riyanto dan dkk, (eds), Aku dan Sayap (Kata Filsafat dan Sayap), Malang: Widya Sasana Publication, 2011, hlm 13.

[3] Ibid, 256.

[4] Ibid.,208.

[5] Ibid., 236.

[6] Alex Lanun, Diktat Metafisika, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm 55.

[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm 52.

[8] Armada Riyanto, Menjadi Mencintai (Berfilsafat teologis Sehari-hari),Yogyakarta:Kanisius, 2013, hlm 146.

[9] Harun hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius,1980,hlm 151.  

[10] Ibid.,157.

[11]Ibid.,374.

[12] Ibid.,113.

[13] Pius Pandor,Diktat Matra-Matra Filsafat Sosial,Malang: Widya Sasana, 2016 ,hlm 64.

[14] J.Sudarminta,Filsafat Proses,Yogyakarta:Kanisius,2018,hlm 1998.

Published in Lintas Perspektif