Doa: Oleh Fr. Yohanes Mba Malo Sali, CP
Ya Allah Bapa yang Mahakuasa, kami bersyukur pada-Mu karena Bapa telah mengangkat kami menjadi putera-puteri-Mu berkat jasa Putra-Mu Tuhan Yesus Kristus. Kami berterima kasih pada-Mu sebab karena kasih-Mu Engkau telah mengutus Putra-Mu untuk menyelamatkan seluruh umat manusia di dunia ini. Ya Allah Bapa yang berbelaskasih, kami datang kepada-Mu dalam kerendahan hati dan dengan kesadaran bahwa Engkaulah sumber kehidupan dan kekayaan sejati. Kami mohon kepada-Mu ya Bapa, agar Engkau mencurahkan Roh Kudus atas biarawan/biarawati Pasionis Indonesia, sehingga kami tidak dikekang oleh perkara-perkara yang fana, pencarian tanpa arah serta usaha yang sia-sia yang hanya menghasilkan sengsara dan duka.
Ya Bapa, kami mohon bukalah mata kami, agar kami dapat melihat kebuthan sesama kami dengan mata kasih. Bantulah kami untuk tidak hanya bersimpati, tetapi juga bertindak dengan belaskasihan yang nyata. Ajarkanlah kami untuk berbagi dengan murah hati dari berkat yang Engkau anugerahkan kepada kami. Ya Allah Bapa Mahapengasih, Engkau selalu mendengarkan doa kami dan kami percaya bahwa Engkau akan mengarahkan langkah-langkah kami dalam berbuat baik dan merangkul saudara/saudari kami yang membutuhkan. Akhirnya ya Bapa semua doa dan permohonan ini, kami haturkan melalui Yesus Kristus, Putra-Mu yang terkasih, bersama dengan Roh Kudus yang hidup dan berkuasa sepanjang segala masa. AMIN
Kemulian kepada........(3x)
Renungan: Oleh Fr. Hermanus Ndode, CP
Kemiskinan
(Injil Matius 19:16-26)
Duduk di kapel sambil berdoa
Memohon rahmat dan kekuatan
Hai saudara…,mari bersama-sama
Menghayati dan menghidupi semangat kemiskinan
Saudari dan Saudaraku yang terkasih dalam Kristus Tersalib…
Di hari ke-dua novena Hari raya St. Paulus dari Salib, kita diajak untuk melihat semangat dan arti dari kemiskinan, yang mana ini menjadi salah satu dari janji kaul kita. Saya melanjutkan renungan ini dengan melihat sejarah singkat yang mana membuat kita sekarang mengenal tentang kaul kemiskinan.
Di Timur maupun Barat dalam periode abad ke-4 sampai abad ke-10, kelompok atau orang meninggalkan dunia, menyepi dari keramaian dan masuk dalam kesunyian untuk mengejar kesempurnaan dalam aktivitas doa dan ugahari. Pada saat itu motivasi utama kemiskinan Injili menekankan pada pengudusan pribadi yaitu memberi diri seutuhnya pada Tuhan dengan cara meninggalkan segala sesuatu. Masa-masa ini disebut kehidupan eremit atau pertapa, dimana mereka yang mau menyepi dari keramaian pergi ke Gurun dan hidup dari hasil pemberian orang-orang yang mereka jumpai. Kemudian pada abad ke-6 (sekitar tahun 480-547) para pertapa mulai hidup bersama dan membiasakan diri mengikuti peraturan-peraturan yang tetap sehingga lahirlah hidup kebiaraan. Maka, arti hidup membiara secara sendirinya pun dikaitkan dengan matiraga, hidup sederhana, tidak terikat pada harta dunia dan meninggalkan apa yang menjadi haknya. Dengan memilih hidup membiara, seseorang sudah menyerahkan diri pada Allah. Ia tidak memikirkan apa- apa lagi dan ia meninggalkan segala-galanya dan hanya hidup untuk Tuhan.
Merenungkan kemudian menghidupi semangat kemiskinan juga merupakan cita-cita Paulus dari Salib sendiri. Situasi di Italia pada masa kehidupan Paulus dari Salib kerap terjadi perang. Hal ini terjadi karena Italia saat itu terbagi-bagi dalam beberapa wilayah, yang dikuasai oleh Jerman, Prancis, Austria dan Spanyol. Sementara keadaan masyarakat Italia terbagi dalam beberapa kelas, yakni para bangsawan, para klerus, dan rakyat biasa yang miskin. Situasi itu tentunya menimbulkan kemiskinan dan penderitaan bagi kebanyakan orang, terutama rakyat biasa. Kemudian keadaan tersebut mempengaruhi cara pikir dan tindakan Paulus dari Salib. Ia hidup sederhana dalam kemiskinan, terutama setelah ia mendapat karunia untuk merenungkan sengsara Yesus Kristus. Paulus dari Salib ingin mati miskin seperti Kristus tersalib, yang tidak punya apa-apa. Paulus dari Salib berpesan kepada kita, supaya sebagai seorang pasionis kita senantiasa menghidupi dan menghayati semangat kemiskinan dalam hidup berkomunitas maupun dalam hidup pribadi. Menurut Paulus dari Salib, ”Jika kemiskinan hilang dari kehidupan kongregasi atau komunitas, itu pasti disebabkan oleh kerakusan. Dan yang paling penting, kehilangan kemiskinan ini akan menghancurkan jadwal harian komunitas.”
Pada masa kini makna kaul kemiskinan sudah berkembang lagi. Orang menghidupinya pertama-tama sebagai perjanjian yang dibuat oleh seorang manusia bagi Allah, yang dilakukan dengan kerelaan dan pertimbangan serta keberanian untuk menanggung segala konsekuensinya. Dengan kata perjanjian dimaksudkan bahwa hidup miskin bukan hanya sebatas niat, melainkan mengandung keharusan yang mewajibkan seseorang untuk melakukan. Dalam rangka itu makin lama makin dimengerti bahwa gaya hidup kemiskinan dalam hidup membiara bukan berarti membuang segala barang jasmani agar kita bebas untuk mengejar keselamatan sendiri. Sebaliknya, kemiskinan berarti memanfaatkan seluruh harta duniawi yang kita miliki untuk mengabdikan diri kepada Kristus dalam sesama manusia
Dari Injil kita dapat melihat pergulatan orang muda yang kaya untuk mengikuti Yesus. Persoalan dan masalah yang ada dalam cerita Yesus dan anak muda tadi yakni soal ketidaksanggupan si pemuda untuk menjadi miskin, untuk lepas dari kekayaannya. Cerita Yesus dan anak muda tadi bisa saja memunculkan satu argumen begini, “Berarti untuk mengikuti Yesus kita harus menjual seluruh harta dan tidak boleh memiliki harta sama sekali!” Ini tentunya pikiran radikal. Pesan Injil justru mau menjelaskan bahwa ada banyak orang yang terikat dengan kekayaannya, sehingga yang menjadi hal utama dalam dirinya bukanlah lagi Tuhan, tetapi kekayaan. Ini menandakan adanya ajakan bagi kita dari cerita Injil tadi untuk hidup sederhana dan miskin, melepaskan kekayaan, melepaskan keterikatan-keterikatan pada materi. Sebab keterikatan pada kekayaan dan materi merupakan jalan mulus yang memudahkan kita menyeberang kepada kesombongan dan ketamakan.
Dalam konteks saya dan kita sebagai seorang pasionis, apakah makna serta arti kemiskinan yang kita hidupi?
Saya merefleksikan bahwa kemiskinan pertama-tama bukanlah paksaan supaya kita hidup melarat atau dengan sengaja memakai pakaian yang lusuh agar dibilang tak punya uang, melainkan kemiskinan kita, harus disebabkan karena kerinduan untuk memberi diri pada Yesus. Dan perhatian utama kita pun seharusnya bukan lagi pada kemelaratan hidup, melainkan kemiskinan sebagai jalan yang istimewa untuk meneladani Yesus yang tergerak dan simpati dengan kemiskinan umat-Nya.
Sederhananya, kami sebagai Frater yang studi; saat pergi ke kampus dan pulang dari kampus berjalan kaki atau mengayuh sepeda, di situlah kami melihat semangat kemiskinan, semangat untuk menjalani dan melewati turunan dan tanjakan.
Sebagai Bruder di rumah-rumah pendidikan, dengan tugas-tugas dan kerja yang dilakukan dengan tanggung jawab dan cinta yang besar, di situlah terletak semangat kemiskinan.
Sebagai Postulan, dengan semangat mencakul tanah yang keras sembari bergurau dan tertawa, pada kesempatan itu ada semangat kemiskinan.
Sebagai Suster Rubiah, dengan panggilan untuk terus berjaga dalam doa dan hidup dalam kesunyian, pada panggilan itu ada semangat kemiskinan.
Sebagai Awam, dengan tanggung jawab sebagai orang tua dan sebagai anak, maka proses saling memahami, membantu dalam hidup berkeluarga, disitulah ada semangat kemiskinan.
Dan terakhir sebagai Imam, Diakon, Bruder berkaul kekal; sederhananya kemiskinan mereka terletak pada kesabaran untuk membimbing, menegur dan mengarahkan kami untuk memilih jalan kebaikan, jalan menuju Tuhan.
Saudari-saudaraku yang terkasih dalam Yesus Tersalib…
Di zaman yang serba instan atau gampang ini menuntut kita tetap konsisten dan komitmen manampilkan hidup yang sederhana lewat penghayatan kaul kemiskinan.
Menghayati kemiskinan tidak berarti membuat kita terperangkap pada kondisi kemiskinan moral dimana kita kekurangan atau ketiadaan nilai-nilai dan prinsip hidup moral sehingga kita bertindak di luar norma moral dan hukum yang berlaku. Menghayati kemiskinan tidak berarti membuat kita miskin secara spiritual, yang mana berada pada kondisi kekurangan atau ketiadaan penghayatan kerohanian sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan insan beriman yang percaya kepada Allah Pencipta, Penyelamat dan Pembimbing hidup manusia.
Terkait menghayati kemiskinan, St. Paulus dari Salib berkata, “Kemiskinan adalah panji-panji yang di bawahnya seluruh anggota kongregasi harus berjuang, berdasarkan kaulnya.” Oleh karena itu kita diajak untuk berjuang melihat kemiskinan sebagai pilihan bebas kita, dan juga sebagai bentuk penyerahan diri kita kepada Allah. Tidak menutup kemungkinan bahwa cara hidup kita mau memberi keseimbangan di tengah situasi yang penuh dengan persaingan, peperangan, dan perlombaan yang kemudian menimbulkan saling benci. Cara hidup kita, yang dengan kaul kemiskinan mau menampilkan bahwa kita berkecukupan, bahwa ada kedamaian di antara kita, ada persaudaraan dan kerja sama, bahwa kita berani meninggalkan zona nyaman kita untuk membantu yang lain. Cara hidup kita yang mengikat diri pada kaul kemiskinan lebih jauh membawa pada kesadaran bahwa kemiskinan tidak ada gunanya jika tidak membawa pada kekayaan iman; lalu menuntut kita bertanya dalam hati kita masing-masing,
Apakah saya sudah sungguh-sungguh menghayati semangat kemiskinan?
Dan pertanyaan kedua, bagaimana semangat kemiskinan itu saya hayati dan hidupi dalam keseharian saya?
Akhirnya semoga Tuhan dan juga Ibunda Maria serta para kudus Pasionis membantu kita dalam menghidupi dan menghayati kaul kemiskinan.
Amin…