TAKUT AKAN TUHAN (THE FEAR OF GOD)

Author Fr. Patris Kelen, CP | Minggu, 25 April 2021 10:25 | Dibaca : : 3865
TAKUT AKAN TUHAN (THE FEAR OF GOD)

Perbincangan tentang problem ketakutan mungkin di era sekarang perlu digalakkan lebih serius. Hal ini disebabkan oleh berbagai isme yang beredar sehingga memengaruhi pola pikir manusia dewasa ini akan ketakutan. Wilayah yang terkena efek ini tidak hanya menyentuh bidang profan saja, melainkan menyentuh bidang teologi. Banyak perspektif terkesan simpang siur membahas soal ketakutan entah dari sudut agama, maupun ekstrem agama. Ada aliran yang mereduksi ketakutan sebagai hal yang sangat biasa, ada pula yang menggangap ketakutan dalam arti yang sesungguhnya. Semua pandangan terlihat metodis, reflektif, kritis dan disistematisir secara gamblang sehingga menciptakan ambiguitas dalam memahami makna sebenarnya.

Adakah ketakutan itu? Jika pertanyaannya demikian, sudah pasti jawabannya ialah ada. Apakah manusia perlu merasa takut? Beberapa pandangan disodorkan untuk menjawab pertanyaan ini. Liberalisme mereduksi perihal ketakutan sebagai hal yang tidak nyata. Maka dari itu, manusia tidak memiliki ruang untuk merasa takut kecuali hanya dalam arti kiasan. Kaum stoicisme non-Kristen berpandangan tidak ada rasa takut tetapi yang ada adalah situasi ketiadaan harapan dan hadirnya kejahatan-kejahatan yang nyata adanya.

Teologi Klasik Gereja bangkit memberi pandangannya diakibatkan oleh dua aliran tersebut di atas terlalu menyederhanakan rasa takut, sebab hal ini sangat krusial dalam ajaran Gereja. Bagi Teologi Klasik Gereja, sudah pasti bahwa ketakutan adalah kenyataan dari eksistensi  manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia akan menanggapi sesuatu yang obyektif menakutkan dengan dengan rasa takut. Dengan kata lain, teologi klasik memaknai rasa takut ke dalam arti yang sebenarnya. Jika dikaitkan dengan dosa “Ketakutan berdampak dosa sejauh ketakutan itu bertentangan dengan urutan nalar”. Hal yang dimaksud yaitu sejauh ketakutan bertentangan dengan kebenaran objektif dari realitas. Hal ini pun berlaku bagi keberanian.

Seturut gagasan teologi klasik, Joseph Pieper pun mengelaborasi makna ketakutan dalam konteks relasi antara Allah dan manusia. Eksplanasi ini merupakan sebuah antisipasi, mengingat tidak mudah bagi manusia kontemporer untuk memahami term teologi klasik “takut akan Tuhan.”

Takut akan Tuhan tidak sama dengan "rasa hormat" kepada Tuhan. Jika ini yang dipahami maka akan memunculkan kesalapahaman akan makna aslinya dan menimbulkan interpretasi yang keliru. Benar, bahwa teologi klasik secara tegas mengajarkan rasa takut sepenuhnya ditujukan kepada Tuhan. Tetapi, bukan rasa takut terhadap Tuhan seperti ketika seseorang mungkin berbicara tentang ketakutan akan beberapa kemalangan atau hal lainyang serupa. Jika ini yang dipahami maka rasa takut kekurangan arti yang sebenarnya (the right meaning). Logikanya, tindakan penghormatan dan rasa hormat yang mengacu pada Tuhan sebagai ketakutan mempunyai arti yang sama di mana ketakutan diarahkan pada kejahatan.

Manusia sekarang diliputi oleh ketakutan khususnya takut jika eksistensinya terancam seperti tidak dihargai, ditindas, dan hal lain yang serupa, bersamaan dengan itu, manusia juga takut akan berbagai bencana alam. Hal ini sifatnya destruktif dan mengancam sehingga  wajar jika manusia lebih takut dengan hal-hal demikian. Tetapi hal itu bukan ketakutan yang esensial di mana mengancam keberadaan manusia. Ada satu ancaman terakhir menusuk ke dalam inti eksistensi manusia yaitu kemampuan untuk melakukan dosa. Inilah ancaman yang perlu ditakutkan bahwa dosa akan Tuhan adalah ancaman terhebat. Tentunya pandangan ini harus dibebaskan dari konotasi eksklusifitas moralistik. Mengapa ini dilihat sebagai bentuk ketakutan yang nyata? Ya, jawabanya ialah manusia takut akan dipisahkan dari Landasan Tertinggi semua makhluk oleh karena berbuat dosa. Itulah ketakutan akan Tuhan, yaitu  ketakutan yang sebenarnya.

Tidak ada yang bisa mengatasi ketakutan ini. Mungkin seseorang dapat mengalihkan pandangannya yang menimbulkan rasa takut dengan melupakan konsep takut akan Tuhan. Tetapi melakukannya adalah melupakan diri sendiri, bertentangan dengan eksistensi dirinya. Ada dua kemungkinan takut terjadinya dosa yaitu karena dosa itu sendiri atau karena hukuman yang ditimpakan. Ketakutan yang lebih murni adalah ketakutan akan dosa sebagai dosa. Tetapi karena hukuman dosa tidak terkait oleh "keputusan sewenang-wenang" dari Tuhan dan melainkan secara langsung terkait dan berasal dari sifat dasar dosa, maka ketakutan pada awalnya terkait hukuman. Inilah mengapa takut akan dosa.

Lantas, apa yang dimaksud dengan ketakutan sejati? Teologi mendistingsikan dua jenis ketakutan yaitu ketakutan berbakti/suci (timorfilialis atau timorcastus), dan ketakutan hamba (timorservilis). Ketakutan "hamba" adalah ketakutan yang tidak sempurna akan Tuhan. Ini adalah bentuk yang tidak sempurna dari cinta Tuhan yang "konsekuen". Di atas segalanya, Ketakutan  hamba adalah kehilangan kehidupan kekal atau dengan kata lain takut akan hukuman kekal. Di situlah letak sifat dan substansi ketakutan "hamba".

Meskipun ketakutan hamba adalah sesuatu yang tidak sempurna, di mana takut akan hukuman kekal, tetapi hal itu dipandang baik, sebab ketakutan hamba berasal dari Roh Kudus. Hal ini adalah permulaan jalan bagi cinta sejati akan Tuhan. Sebagai alasan untuk berpaling kepada Tuhan, ketakutan akan hukuman kekal memang termasuk dalam tingkat kasih Tuhan yang tidak sempurna. Namun, pada tingkat kehidupan batin, hal itu adalah satu-satunya kemungkinan jawaban eksistensial yang sesuai dan paling sentral dari realitas eksistensi manusia. Tidak mungkin lagi pada situasi ketakutan orang memaksakan cinta. Namun, satu-satunya kemenangan ketakutan akan hukuman kekal manusia adalah kemajuan dalam cinta.

Dengan cinta sejati kepada Tuhan yang adalah Kebaikan Tertinggi, ketakutan "hamba" diubah dan diangkat menjadi ketakutan yang "berbakti" dan "suci". Perlu ditegaskan bahwa  ketakutan "berbakti" adalah ketakutan yang tulus. Ketakutan "berbakti", yang diarahkan kepada kasih Allah yang sempurna, adalah salah satu karunia Roh Kudus. Itu adalah anugerah yang sepenuhnya melampaui potensi kodrat manusia. Ini adalah ketakutan yang sebenarnya jika dibandingkan dengan ketakutan hamba. Ketakutan "berbakti" melihat dosa sebagai dosa. Dengan demikian, ketakutan akan dosa menjadikan manusia lebih memahami keberadaannya di hadapan Tuhan daripada ketakutan akan hukuman kekal. Ketakutan berbakti  berdiam pada inti terdalam dan paling krusial dari keberadaan intelektual dan moral manusia, sedangkan ketakutan akan hukuman kekal tampaknya lebih diatur bidang fisik dan emosional.

Ketakutan "hamba" yaitu ketakutan akan kutukan kekal, dengan sendirinya akan berkurang karena sifat manusia semakin dalam ditembus oleh kecintaannya pada persahabatan dengan Tuhan. Mereka telah terikat pada Landasan Kekal eksistensinya. Ketakutan “berbakti”, di sisi lain pun meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas kasih Tuhan. Fakta ini mungkin, pada pandangan pertama, tampak mengejutkan, tetapi kebutuhan batin terungkap saat pemahaman seseorang menembus sesuatu yang lebih dalam. Namun, kemungkinan adanya dosa  tidak dikecualikan bagi “manusia peziarah” bahkan sudah berada pada tingkat tertinggi dalam kasih Tuhan. Seringkali manusia berbelok dari Tuhan sehingga dosa tidak dapat dihindari. Usahanya akan terus digalakkan selama manusia  "belum" mencapai status komprehensoris. Oleh karena itu, untuk mencapainya manusia harus berharap pada cinta dan rasa takut akan Tuhan. Dengan demikian manusia akan terhindar dari adanya dosa besar.

Salam Passio!

“SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU HIDUP DI HATI KITA”

Leave a comment