Setiap manusia dalam hidupnya tentu mempunyai tujuan meskipun ada yang masih samar-samar. Tujuan adalah bagian dari hidupnya. Tujuan adalah apa yang ingin dicapai dari hidupnya. Manusia entah secara sadar maupun tidak sadar berjuang untuk mencapai tujuannya. Itulah yang membuatnya bertahan untuk tetap memperjuangkannya. Tetapi pertanyaannya adalah apakah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap orang ini dapat dikatakan baik secara etis. Tindakan baik ini memang ditafsirkan secara berbeda oleh masing-masing orang sesuai dengan apa yang menjadi keyakinannya. Tetapi pada akhirnya apa yang benar harus sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini karena norma yang berlaku dalam masyarakat adalah suatu penilaian baik yang diakui secara umum. Untuk itu, gagasan tentang "yang baik” tidak hanya merujuk secara langsung pada diri sendiri, tetapi juga bertolak dari norma umum yang berlaku.
Tujuan etis dari manusia adalah apa yang disebut sebagai "hidup baik, atau “kehidupan yang baik" kehidupan yang sebenarnya. "Kehidupan yang baik" adalah hal yang utama dalam peziarahan manusia karena itulah objek dari tujuan etis. Apapun citra yang dimiliki masing-masing tentang kehidupan, tetapi puncak ini adalah akhir dari tindakan manusia. Setiap manusia yang menjalankan aktivitasnya tentu pada dasarnya mempunyai tujuan yang mengarah pada kebahagiaan. Kebahagiaan sepertinya telah menjadi puncak dari seluruh perjalanan manusia. Perjalanan manusia dalam melewati masa prapaska ini diundang untuk tidak hanya sekedar berjalan begitu saja tetapi juga melakukan perbuatan-perbuatan baik terhadap sesama.
Ada dua contoh konkret yang disodorkan oleh penulis berkaitan dengan hal ini. Pertama, berhati mulia. Dikatakan berhati mulia memaksudkan agar setiap orang dapat melihat diri, orang lain, realitas dan apa yang dialaminya dengan menggunakan “mata batin”. Artinya bahwa setiap orang tidak hanya menggunakan akal budinya untuk berpikir tentang dirinya, orang lain, keadaan-keadaan di sekitarnya ataupun tentang apa yang dialami tetapi juga menggunakan hatinya untuk merefleksikan dan menemukan makna positif dari semua itu. Apabila segala sesuatu hanya dilihat dari sisi luar, apa yang tampak, atau pun dari pendapat kebanyakan orang, tentu saja ada begitu banyak hal yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpikir tentang dirinya, orang lain dan realitas yang menjadi bagian dari hidup.
Kedua, murah hati. Murah hati berarti sikap dan tindakan yang didorong oleh ketulusan hati untuk memberi apa yang ada padanya dan menerima apa adanya. “Memberi” dalam arti ini adalah suatu aktivitas yang tidak memiliki motif tertentu seperti memberi karena sudah pernah menerima, memberi agar diberi juga atau pun memberi agar dilihat memberi. Memberi dengan ketulusan hati berarti memberi dengan motif yang baik, motif yang lahir dari kesadaran diri bahwa memberi adalah hal yang seharusnya dilakukan manusia. Berkaitan dengan apa yang seharusnya diberi, tidak semua hal yang harus diberikan. Maksudnya hanya hal-hal yang baik, hal-hal yang positif yang boleh diberikan. Jika untuk diri sendiri, berikanlah semangat, ketekunan dan komitmen untuk berjuang. Jika dia adalah saudara/i, berikanlah kepadanya dukungan, apresiasi dan doa untuk pertumbuhan dan perkembangan hidupnya. Jika dia adalah orangtua, guru, dosen, pimpinan atau pembina, berikanlah kepadanya kesuksesan atau keberhasilan dalam hidup dan pekerjaan. Jika dia adalah orang yang pernah, seringkali atau bahkan selalu menyakitimu, berikanlah kepadanya pengampunan dan cinta kasih. Sadar atau tidak, aktivitas memberi yang dilakukan tersebut memiliki banyak manfaat seperti kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan entah itu di dunia ini maupun di akhirat nanti.
Relasi setiap manusia pada dasarnya bukan hanya sekedar dalam hubungan sebab-akibat. Relasi keduanya sesungguhnya telah melampaui taraf itu. Artinya bahwa diriku tidak hanya sekedar diakui atau diapresiasi karena kehadiran orang lain atau sebaliknya kehadiran orang lain karena dibutuhkan oleh diriku. Relasi keduanya terjadi karena mempunyai motivasi tertentu yakni tujuan yang hendak dicapai. Tujuan ini tidak hanya sebelah pihak tetapi dicapai secara bersama. Keduanya sama-sama ingin memperoleh “good life”. Manusia tidak cukup hanya mencari kebahagiaan untuk kepentingannya sendiri. Manusia harus masuk lebih dalam lagi, yakni bersama dengan yang lain. Memang perlu diakui bahwa tujuan manusia tidak selamanya terpenuhi. Tetapi, itu bukan berarti tidak adanya kebahagiaan karena kebahagiaan adalah relasi itu sendiri. Dengan berelasi diriku mengalami kebahagiaan. Dengan berelasi orang lain juga mengalami kebahagiaan. Hal ini mau menandaskan bahwa kebahagiaan tidak akan dialami oleh masing-masing dalam keterlepasan relasi dengan yang lain. Keduanya sama-sama berjalan dalam keunikannya masing-masing. Tetapi perjalanan keduanya adalah suatu perjalanan yang mengarah pada tujuan yang sama dan tujuan ini hanya dapat dicapai dalam diriku dengan yang lain.
Situasi masa pandemi covid-19 adalah situasi yang penuh dengan duka atau kecemasan bagi kebanyakan orang. Eksistensi manusia itu tampak dalam hati sanubari manusia yang tidak pernah puas, selalu gelisah, selalu mencari obyek yang lebih baik dan lebih memuaskan serta yang bersifat unstan. Manusia khwatir akan eksistensinya sebagai makluk yang berelasi yang mana relasinya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar dirinya. Manusia di satu pihak adalah tuan atas dirinya dan di lain pihak ditentukan oleh hal-hal diluar kendalinya. Manusia tidak mampu untuk mengendalikan suatu bencana. Ia hanya mampu untuk menghadapinya dengan kemampuan yang dimiliki. Relasi diriku dan orang lain sama sekali bukan merupakan sebuah relasi yang selalu berlangsung mulus atau tanpa ada tantangan. Dalam menjalin relasi, covid-19 merupakan sebuah tantangan bagi setiap orang. Tantangan dari covid-19 ialah kebutuhan yang akan dicapai oleh diriku dari orang lain dan oleh orang lain dari diriku. Keduanya sama-sama mengalami persoalan. Persoalan yang membawa keduanya pada kebutuhan akan good life.
Meskipun relasi dengan orang lain terkadang mengalami persoalan, relasi itu tidak akan pernah mengalami keterpisahan. Semua manusia adalah orang-orang yang tentu memiliki salib. Berdasarkan hal ini maka setiap orang selain bertanggungjawab atas dirinya, juga bertanggungjawab atas orang lain. Bentuk kepeduliaan ini dilakukan dengan cara menghargai, memperhatikan dan membantu kehidupan orang lain. Hal-hal demikian tidak hanya terjadi sepihak tetapi dalam hubungan timbal balik. Masa pandemi covid-19 adalah masa yang tidak hanya menjadi tantangan yang mencemaskan setiap orang, tetapi juga adalah kesempatan bagi setiap orang untuk membuktikan bahwa setiap orang memiki kebutuhan untuk memcapai good life yang bukan hanya dirasakan olehnya tetapi juga dirasakan oleh orang lain yang adalah bagian dari dirinya. Masa pandemi covid-19 memang membuat orang merasa takut atau was-was untuk menjalin relasi sacara faktual. Tetapi, itu bukan berarti kehadiran orang lain adalah sesuatu yang mengganggu kehidupan. Orang lain tetaplah diriku yang lain, diriku yang selalu menginginkan kehidupan yang baik bersama orang dan merasakan goodness.
Sumber:
Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher Sampai Derrida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Riyanto, Armada. Aku dan Liyan Kata Filsafat dan Sayap. Malang: STFT Widya Sasana Malang, 2011.
Ricoeur, Paul. Oneself as Another, terj. Kathleen Blarney. London: University of Chicago 1992.