Lintas Perspektif

Lintas Perspektif (9)

Jelajah intelektual generasi muda Pasionis yang mengalir dari Kebijaksanaan Salib.

Tim PKM STFT Widya Sasana Malang Peduli Literasi Digital Bagi Frater Pasionis

 

Direktur para Frater Pasionis Rm. Tomas Romio, CP sangat berterima kasih atas kepedulian tim PKM STFT Widya Sasan Malang yang telah mengadakan pelatihan dan workshop literasi digital. Dia berharap melalui literasi digital, para Frater Pasionis semakin mumpuni dalam bidang digital, terutama di tengan berita hoax yang sering kali menjadi tsunami media masa. Lebih lanjut, dia sangat berterima kasih karena

tim PKM STFT Widya Sasana Malang juga memberikan sarana untuk meningkatkan kemampuan literasi digital bagi para frater Pasionis. Bantuan tersebut diberikan secara simbolis oleh tim pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) STFT Widya Sasana Malang, 25 September 2024.

Frater Pasionis merupakan sekelompok pemuda yang sedang menjalankan studi filsafat dan teolgi sebagai bekal dalam mempersiapkan diri untuk menjadi Imam. Mereka berjumlah 35 orang. Kurangnya kemampuan literasi digital dan keterbatasan sarana menggugah hati tim pengabdi STFT widya Sasana Malang untuk membantu mereka dalam meningkatkan kemampuan literasi digital melalui pelatihan dan workshop.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada tim PKM STFT Widya Sasana yang telah meperhatikan kami dalam mengembangkan potensi kami tentang literasi digital”. Demikian ungkapan Romo Romeo, yang mewakili para frater Pasionis. Lebih lanjut, dia mengatakan “Dengan pelatihan ini  para frater Pasionis diharapkan semakin cerdas dalam memahami dinamika dunia digital”.

Tim PKM STF Widya Sasana Malang diketuai oleh Dr. Pius Pandor, Lic. Phil, dengan angota Aditia Nirwana, S. Sn, M. Sn dan Robertus Wijanarko, Ph. D.  Mereka bertiga berinisiatif menjadikan Seminari Tinggi Pasionis sebagai mitra dalam pengabdian kepada masyarakat.

Dr. Pius Pandor, Lic. Phil mengatakan bahwa pemilihan mitra didasarkan pada tiga situasi. Pertama, Frater Pasionis, merupakan kelompok masyarakat yang perlu diperdayakan terutama terkait pengetahuan dan keterampilan dalam mengembangkan kemampuan literasi digital. Kedua, Frater Pasionis merupakan kelompok yang memiliki tanggung jawab untuk mendampingi dan melayani komunitas, sehingga literasi digital bisa meningkatkan efektivitas pelayanan dalam mewartakan injil. Ketiga, Frater Pasionis memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan di era digital, di mana mereka dapat mengintegrasikan penggunaan teknologi dengan spiritualitas, sehingga bisa menjadi contoh dan pemandu bagi generasi muda dalam menggunakan teknologi secara etis dan bertanggung jawab.

Dalam melakukan pengabdian ini, tim PKM STFT Widya Sasana Malang melibatkan mahasiswa, yaitu Sekundus Septo Pigang Ton dn Oswaldus Dagur yang masing-masing direkognisi untuk mata kuliah Filsafat Etika dan Filsafat Manusia. Dengan ini mahasiswa yang terlibat memiliki pengalaman belajar di luar kampus. Mahasiswa yang terlibat mendapatkan pengalaman belajar bekerja sama dengan Frater Pasionis serta turut melakukan pengabdian kepada masyarakat.

 

Pendahuluan

Melalui pelajaran Teologi Moral Fundamental 2 yang diberikan oleh Romo Yustinus, CM dan Romo Benny Phang, O. Carm ini, dapat saya kaitkan dengan kehidupan manusia melalui sebuah judul yaitu Penerapan Norma Moral Terhadap Situasi Konkrit Dalam Etika Kehidupan Manusia. Melalui Judul ini, kiranya dapat membuat kehidupan manusia tahu akan aturan-aturan moral hidup dalam lingkungan masyarakatnya. Supaya dalam kehidupan masyarakat manusia tidak mengalami kekacauan atau permasalahan yang menimbulkan berbagai macam persoalan dalam kehidupannya. Diantaranya persoalan hidup itu baik dalam situasi yang mengguncangkan maupun merugikan kehidupan manusia. Sehingga dengan penerapan norma moral dalam kehidupan masyarakat ini dapat menjadikan lingkungan sebagai lingkungan aman, damai dan sejahtera dalam etika kehidupan manusia dalam penegakan norma moral hidup.

Dalam kehidupan manusia, penerapan norma moral menjadi dasar sebagai prioritas utama dalam penegakan kedisiplinan akan etika manusia terhadap situasi yang ditempuhnya maupun terhadap sesama. Ini menjadikan suatu fenomena baru dalam perkembangan kehidupan manusia dengan terakomodasi penerapan norma moral hidup ini yang menjadi dasar dalam situasi kehidupan itu. Jadi, ini membuat manusia tahu akan moral hidup yang sudah di patokan bagi perkembangan manusia di dalam kehidupan masyarakat. Agar dapat kehidupan manusia dapat berjalan sesuai dengan tata aturan moral hidup baik dalam situasi etika yang menjalinkan kehidupannya baik dalam hidup suka maupun dalam hidup duka. Inilah tujuan utama dalam penerapan norma moral dalam etika kehidupan manusia di dalam kehidupan masyarakat.

  1. Norma Moral Dalam Pandangan Biblis

Dalam pandangan ini, dapat dikatakan bahwa norma moral itu ada dalam biblis yaitu aturan-aturan hidup manusia menurut kehendak Allah atau menurut perintah Allah sebagai tujuan hidup manusia. Agar manusia dapat menjalani sesuai dengan kehendak-Nya. Sebagaimana Allah telah menyatakan diri-Nya pada Yesus Kristus untuk datang ke dunia supaya dapat menggenapi seluruh kitab para nabi dan membawa perubahan baru dalam hidup manusia yaitu menghapuskan manusia dari dosa-dosanya. Dengan penghapusan itu, Yesus Kristus sendiri merelakan diri-Nya untuk di siksa, diolok, dihina dan disalibkan pada kayu salib. Inilah cinta kasih yang ditunjukan oleh Yesus Kristus bagi kehidupan manusia. Tentu hal inilah yang menjadi sejarah di dalam biblis bagi kehidupan manusia. Dengan sejarah biblis itu Yesus menunjukan bahwa Ia melakukan semuanya yang diberikan Bapa kepada-Nya untuk kehidupan manusia. Seperti yang dikatakan-Nya dalam kesaksian tentang diri-Nya di dalam Kitab Suci Injil (Yoh. 5: 19-47). Dengan kesaksian ini, Yesus Kristus sudah menunjukan semuanya tentang diri-Nya sebagai peristiwa sejarah dalam kehidupan manusia.

  1. A) . Norma Moral Dalam Pandangan Perjanjian Lama

Dalam norma moral ini mengkaitkan ajaran moral dalam Kitab Perjanjian Lama ini yaitu ajaran hukum atau perintah Allah kepada manusia sebagai pengikatan perjanjian Allah dengan manusia dalam suatu nuansa kehidupan baru. Ini menunjukan bahwa bagaimana Allah memberikan era baru dalam kehidupan manusia. Hal inilah seperti yang ditunjukan dalam Perjanjian Allah dengan bangsa Israel yaitu Upacara pengikatan Perjanjian antara Tuhan dengan bangsa Israel terdapat dalam Perjanjian Lama Kitab Keluaran (24: 1-11). Inilah yang ditunjukan norma moral dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang membuat kehidupan manusia itu terarah dengan perintah Allah sebagai hukum yang suci bagi kehidupan manusia. Dengan begitu, Perjanjian Lama ini membuat manusia itu lebih mengenal apa itu perintah Allah atau hukum-Nya dalam ajaran-ajaran moral hidup manusia.

 

  1. B) . Norma Moral Dalam Pandangan Perjanjian Baru

Dengan norma moral dalam pandangan Perjanjian Baru ini Allah sendiri telah menyempurnakan semuanya dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus. Sebagaimana Yesus membawa dunia yang lama menjadi dunia yang baru melalui sukacita yang dirasakan dalam kehidupan manusia. Tentu sukacita itu terdapat pada diri Yesus Kristus sebagai anak domba Perjanjian baru artinya Yesuslah membawa sukacita dalam hidup manusia. Tentu norma moral itu yang diberikan Yesus dalam kehidupan manusia telah membuktikan bahwa Ia sebagai manusia biasa yang turut ambil bagian dalam kehidupan manusia. Dengan Perjanjian Baru ini, Yesus mulai memberikan semua perintah-perintah yang diberikan Allah kepada-Nya mulai dari Yesus dilahirkan ke dunia sampai dengan kematian-Nya. Hal ini terdapat dalam Injil Sinoptik yaitu Injil (Matius 1:18-25), Kesaksian Yohanes Pembaptis tentang diri Yesus (Markus 1:2-11), Yesus mengajar dan menyembuhkan orang banyak Injil (Lukas 6:17-26) dan Injil Yohanes (12:20-36). Jadi dalam Injil Sinoptik ini mengarahkan kita akan kehidupan norma moral yang sudah dilakukan Yesus dalam menyempurnakan dunia yang lama menjadi dunia yang baru. Kebaruan yang dibawa oleh Yesus adalah kebaruan iman Kristiani dalam tatanan kehidupan manusia. Sebagaimana dalam Perjanjian Baru adalah peristiwa penting dalam sejarah kehidupan manusia.

 

C). Norma Moral Dalam Pandangan Konsili Vatikan II

Norma moral ini dalam pandanga Konsili Vatikan II yaitu tentang hukum moral. “Untuk menggunakan upaya-upaya itu dengan tepat, sungguh perlulah bahwa siapa saja yang memakainya mengetahui norma-norma moral, dan di bidang itu mempraktekkannya dengan setia. Maka hendaknya mereka menelaah bahan, yang dikomunikasikan sesuai dengan sifat khas masing-masing medium. Sekaligus hendaklah mereka mempertimbang juga situasi maupun kondisi-kondisi, yakni; tujuan, orang-orang, tempat, waktu dan hal-hal lain yang menyangkut komunikasinya sendiri. [1] Konsili Vatikan II ini membuat norma moral itu sesuai dengan situasi atau kondisi manusia. Karena itu, manusia dimampukan dengan menelaah apa yang sudah ditetapkan dalam norma moral yang sodorkan dalam pandangan Konsili Vatikan II yang menjadikan kehidupan manusia itu sejalan dengan apa yang diinginkan atau apa yang dicita-citakan dalam kehidupannya. Dengan Konsili Vatikan II ini, dapat menetapkan norma moral sebagai upaya dalam memperteguh dan memperkuat hukum moral dalam kehidupan manusia.

 

Pembahasan

  1. Apa itu Norma Moral?

Tentu untuk menjawab ini, mari kita lihat dari pengertiannya ini. Norma moral itu adalah dari kata norma yang berarti pegangan atau pedoman, aturan, tolok ukur. Dalam dunia etika-moral atau hukum, kata ini biasanya menyangkut orientasi tingkah laku dan tindakan manusia sesuai dengan takaran-takaran objektif. Kata ini bernada menuntun perbuatan baik. Norma moral terkait dengan kebebasan, dan tugas, keadaan lingkungan hidup dan tingkah laku moral yang memungkinkan. Singkatnya, norma dapat dilukiskan sebagai ungkapan atau perumusan nilai-nilai menyangkut masalah aktual yang sangat rumit[2]. Dengan pengertian ini, dapat memungkinkan kehidupan manusia akan sesuatu tata penerapan norma moral hidup dalam kehidupannya. Supaya dengan penerapan norma moral dalam kehidupan itu, manusia tidak terlena dengan situasi yang membawanya kepada kehancuran akan kehidupannya.

Dalam konteks norma moral ini tentu kehidupan manusia akan dapat terjalin dengan tata aturan yang sudah dianjurkan sebagai sorotan utama dalam penegakan lingkungan yang selaras dengan pola perkembangan yang membawa manusia kepada kehidupan yang terjangkau dalam kehidupan masyarakat yang berdasarkan norma moral. Tentu ini menjadikan sebuah nilai hidup dalam norma moral kehidupan manusia pada zamannya. Seperti yang dikatakan oleh Richatd M. Gula “bahwa teologi moral tak terpisahkan dari pengalaman akan nilai-nilai yang penting bagi perkembangan hidup manusia secara penuh”.[3] Ini menunjukan gejala moral hidup manusia.

Dengan norma moral ini tentu kehidupan manusia akan diperkaya dengan nilai-nilai positif yang dapat membawa manusia untuk bertindak seturut ketentuan moral hidupnya. Jadi, norma moral adalah dasar dalam aturan hidup manusia untuk melakukan kebaikan demi kepentingan sendiri dan orang lain. Tentu dapat menjadikan dasar nilai-nilai hidup bagi kehidupan manusia. Karena dalam arti tertentu memang segala yang diberikan mempunyai fungsi sebagai bekal yang tak hanya mempersiapkan dan memperdayakan para calon petugas pastoral, melainkan juga membekali menjadi pakar teologi.[4] Artinya fungsi ini menjadi penting dalam pembekalan calon petugas pastoral sebagai dasar dalam teologi moral manusia.

 

  1. Penerapan Norma Moral Dalam Kehidupan Manusia.

Dalam penerapan moral hidup manusia tentu memiliki norma-norma dalam kehidupan manusia. Dengan menjadikan moral hidup manusia ini, menjadikan sesuatu yang berguna dalam tolok ukur kehidupan manusia akan moralnya. Seperti diharapkan agar orang dapat menilai sendiri secara mandiri dan dalam dialog moral dalam aneka bidang kehidupan misalanya moral kehidupan, moral perkawinan, dan keluarga, moral sosial dan sebagainya.[5] Ini menandakan moral kehidupan manusia dapat tercipta dan terjalin dengan kemampuan hidupnya.

Norma moral ini menjadi dasar dalam penerapan kehidupan manusia sebagai kesatuan dalam perkembangan kehidupan manusia. Hal itulah seperti dalam Konsili Trente teologi moral memang secara berat sebelah, seperti yang diberikan kepada para calon imam sebagai calon bapa pengakuan, dengan dampak negatif bagi teologi moral sendiri. Tetapi kebijakan itu mengandung suatu kebenaran juga, yakni sebagai pembekalan pastoral bagi para calon imam agar dapat melakukan tugasnya, misalnya pewartaan dan konsultasi, terutama sebagai bapa pengakuan dengan baik.[6] Ini mengungkapkan bahwa hidup manusia itu dibekali dengan moralnya dan dalam imannya yang teguh akan tugas pelayannya sebagai pengikut Kristus.

Sehingga norma moral itu adalah bagian terwujud dari kehidupan manusia dalam mencapai apa yang diinginkan melalui moral hidupnya. Tentu untuk mencapai sesuatu orang harus melalui faktor-faktor penentu utama, yang didapat dari pengalaman bagi perkembangan moral, tampaknya berupa jumlah dan keanekaragaman dari pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk berjumpa dengan sudut pandang yang lain.[7] Dengan begitu, kehidupan manusia dari golongan menengah dapat maju dan cepat dari golongan yang tersisih melalui kehidupan yang melek akan budaya-budayanya. Tentu untuk mencapi perkembangan hidup itu manusia harus mempraktekkan dalam kehidupan sosial dengan orang lain agar dapat terjalin hubungan yang dapat menunjang moral hidupnya setiap hari. Seperti yang dilakukan dalam penelitian Holstein memperlihatkan bahwa anak-anak yang telah maju dalam pertimbangan moral. Namun di samping itu, kecenderungan orang tua untuk merangsang proses pengambilan peran timbal balik juga berhubungan dengan kematangan si anak. Orang tua yang berusaha mengenal pandangan lewat dialog, mempunyai anak lebih maju dalam hal moral.[8] Jadi, dengan perkembangan moral ini, membuat anak semakin diperlihatkan dalam memegang peranan penting dalam keluarga sebagai perkembangan moral manusia bagi hidup.

Jadi, dengan penerapan norma moral ini, manusia disuguhkan akan peranan khusus dalam moral hidup manusia. Sebab dalam perkembangan itu adanya akibat-akibat positif yang membawa kehidupan manusia kepada kemampuan yang memperoleh moral hidup tanpa ada paksaan dari pihak manapun dalam pola perkembangan manusia untuk menempuh moral hidup melalui kemampuan yang ada pada dirinya yaitu intelektual, emosi dan kerohaniaan sebagai salah satu bentuk motivasi hidup manusia untuk berada dalam perekembangan hidup moralnya. Tentu untuk perkembangan moral ini, kita beralih pada faktor-faktor efektif seperti kemampuan rasa diri bersalah turut berperan dalam pertimbangan moral, tetapi situasi-situasi moral ditentukan secara kognitif oleh pertimbangan pribadi. Karena itu, perkembangan moral merupakan suatu hasil kemampuan yang semakin berkembang untuk memahami kenyataan sosial.[9] Inilah salah satu aspek hidup manusia untuk mencapai perkembangan moral hidupnya dan menjadikan kehidupan adalah perkembangan infrastruktur dalam berbagai macam dengan moral hidup bagi kehidupan manusia.

  1. 4. Norma Moral Dalam Etika Kehidupan Manusia

Salah satu bentuk untuk mencapai kehidupan yang baik, manusia harus beralih kepada norma moral yang membuat etika kehidupan manusia itu sejalan dengan apa yang dijalankannya dalam hidup. Dengan moral ini manusia kehidupan manusia disuguhkan pada tata aturan hidup melalui kedasaran pribadi dan keputusan suara hati yang adalah wujud subjektif dan langsung dari moralitas. [10] Sebab itulah keputusan dalam penilaian ini, dapat membentuk moral hidup manusia dalam etika kehidupan manusia. Dengan pembentukan ini norma moral dapat menjadi arti dalam etika kehidupan manusia, ketika manusia menjalani aktivitasnya setiap hari demi kebutuhan hidupnya melalui perbuatan moralnya.

Tentu hal inilah dapat dicerminkan melalui perbuatan moral yang merupakan perwujudan iman. Iman sebagai relasi pribadi antara manusia dan Allah terwujud dalam otonomi manusia berhadapan dengan Allah yang memanggil dia. Oleh karena norma mempunyai arti moral sejauh menggerakkan keputusan pribadi dalam suara hati, maka norma hanya dalam arti yang tidak langsung mempunyai kaitan dengan iman sejauh norma itu menggerakan keputusan moral sebagai perwujudan iman[11].

Melalui perwujudan iman ini manusia akan mampu mengekspresikan imannya melalui perwujudan imannya setiap hari yaitu bagaimana manusia menanggapi iman akan Allah melalui etika moralnya setiap hari. Dari perwujudan imannya akan kehidupan moralnya maka, manusia akan mengalami kehidupan yang terjamin baik dalam segi sosial, individu, rohani dan jasmani dalam pergumulan hidup manusia. Hal inilah yang menjadi nyata dalam perwujudan sehari-hari sebagai peranan penting dalam kehidupan manusia. Jadi norma moral merupakan suatu perbuatan yang membuat manusia itu tidak merasa dibebani dalam segala cara. Sebab norma moral adalah dasar dalam perbuatan baik dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Hal ini seperti masyarakat yang sungguh menjujung tinggi peran nilai moral umumnya akan memelihara dan hidup sesuai dengan norma yang masih berlaku. Biasanya, masyarakat ini tidak mudah atau tidak terlalu cepat tercemar oleh pengaruh-pengaruh negatif dari luar daerah. Tatanan nilai moral yang terselubung di balik norma akan mempengaruhi pola pikir, cara pandang, tindak-tanduk manusia sebagai makhluk sosial. [12]

Dalam pergumulan hidup, kehidupan manusia di redukasikan dengan norma moral yang tatanan hidup dalam pola keragaman hidup manusia, ini memungkinkan norma moral sebagai dasar dalam memberikan sesuatu yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Sebagaimana manusia tereksploitasi dengan apa yang mereka jalani dalam hidup seperti kegiatan dalam hidup melalui moral hidup yang didasarkan pada ketentuan yang ada di dalam masayarakat. Singkat kata, norma moral itu adalah sebuah wadah untuk menampung dan memberikan kebaikan pada sesuatu yang dilakukan manusia dalam hidup. Inilah yang menunjukan etika manusia akan apa yang mereka hadapi dengan didasarkan dengan moral hidup yang menjadi ciri khas utama dalam pergulatan hidup manusia. Sebab melalui pergulatan hidup manusia mampu memahami, dan mengetahui apa yang dilakukannya.

Tentu inilah yang ditunjukan oleh actu humanus ialah tindakan yang dapat dan harus dipertanggungjawabkan (imputabilitas), maka harus memenuhi persyaratan (meskipun tingkatnya bisa berbeda) tahu, mau, bebas, dan mampu. Pemahaman actu humanus amat menentukan untuk penilaian moral, betapapun sulit memastikan tingkat pengetahuan, kebebasan, dan kemampuan orang yang sudah dalam kondisi normal seraba terbatas, apalagi dalam kondisi patologis, bila orang tak mampu mempertanggungjawabkan tindakannya.[13]

Dalam tindakan manusia itu, perlu adanya pertanggung jawabannya terhadap apa yang dilakukannya melalui etika kehidupannya yang didasarkan pada norma moral hidup yang memberikan kebaikan dalam menunjang perkembangan kehidupan manusia ketika manusia dapat berpikir bahwa ia harus beralih kepada sesuatu yang menjadi penting dalam tatanan hidup jika manusia menjalani itu dengan rasa penuh tanggung jawab terhadap nilai-nilai Pancasila hidup yang membangun dan membangkitkan semangat akan moralitas hidup yang ditegakkan oleh persatuan hidup manusia Karena itulah moralitas mengungkapkan tuntutan-tuntutan sebentuk kehidupan sosial tertentu; moralitas itu adalah suara masyarakat dan ditunjukan pada para anggota masyarakat. Fungsinya adalah membimbing tingkah-laku dengan cara-cara yang sesuai dengan bentuk kehidupan sosial itu.[14] Dengan ini menjadikan kehidupan sosial itu adalah sebuh jati diri manusia akan nilai-nilai moral hidup yang ditempuhinya dalam hidup.

Dari tinjauan kehidupan sosial yang didasarkan akan moral hidup manusia mulai merasakan etika hidupnya yang dilakukannya selama manusia masih dapat berproses akan moral hidup yang berguna bagi kehidupan masa kini dan masa yang akan datang. Dengan begitu, tujuan manusia tidaklah akan di sia-siakan dengan adanya norma moral dalam kehidupannya. Dengan ini manusia tahu apa yang memungkinkannya dari norma moral hidup yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh manusia harus taat pada aturan-aturan hidup yaitu mencuri barang orang lain adalah tindakan kejahatan dan juga melanggar lalu lintas adalah tidak kejahatan inilah yang menjadikan nilai norma moral yang berlaku dalam kehidupan masyarakat menurut ketentuan undang-undang bangsa Indonesia. Jadi dengan kata lain, manusia harus taat pada aturan-aturan hidup yang berlaku dalam kehidupan manusia. Inilah yang membuat manusia bernuansa akan kehidupan yang penuh gemilang dalam pergumulan hidup manusia itu. Dengan menjadi norma moral ini manusia mampu menjalani dengan baik selama berada di dunia ini

Etika sebagai ilmu berefleksi tentang perilaku moral. Etika membahas kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk moral. Tetapi dalam usaha refleksinya, etika tidak membatasi diri pada keadaan faktual, tetapi mencoba merumuskan juga apa yang harus dilakukan. Menurut maksudnya, etika bersifat normatif. Hubungan nilai dan etika begitu erat, apalagi bersifat normative, maka mudah dapat diterima bahwa kita menyampaikan nilai-nilai bila mengajar tentang etika.[15]

Melalui etika kehidupan manusia ini, justru membuat manusia terjamin dalam kehidupannya. Karena itulah manusia dimampukan akan apa yang dimiliki manusia akan hidupnya. Dengan begitu, manusia dapat mengekspresikan hidupnya sebagai etika moral yang menunjang kehidupannya. Seperti dalam orang-orang yang mencari kebebasan yang sama membangun dunia yang baru dalam melawan penindasan yang sama[16] Yang dimaksudkan dengan penindasan adalah hal-hal yang yang mempengaruhi dalam hidup manusia. Dengan etika kehidupan ini manusia terjerumus pada sesuatu hal yang menjadi mungkin dalam kehidupan moral hidup manusia tersebut.

Norma moral itu adalah landasan hidup manusia yang menjalani sesuai dengan aturan-aturan moral hidup yang terbentuk dalam hidup. Di dalam moral hidup manusia itu mampu menganalisis apa yang dijangkuannya dalam hidup. Supaya dapat memperoleh hasil yang berguna bagi hidup manusia. Dengan kata lain, norma moral itu adalah Sesutu yang membuat hidup menjadi lebih baik. Terutama dalam hal tatanan hidup manusia di dalam lingkungannya. Oleh sebab itu, manusia itu disuguhkan dengan nilai-nilai hidup yaitu nilai kemanusiaan, nilai kejujuran, nilai kesatuan manusia dengan moral hidup, dan nilai keragaman budaya dalam kehidupan manusia. Inilah etika kehidupan manusia ketika manusia berhadapan dengan segala macam nilai-nilai hidup yang menguntungkan bagi kehidupan manusia.

Hal inilah yang menjadi dasar dalam etika kehidupan manusia. Ketika manusia menjalani hidupya dengan kebiasaan etikanya sebagai perbuatan moral hidupnya. Supaya manusi itu dalam kehidupannya seiring dengan moral hidup yang menjamin suatu etika dalam perkembangan hidupnya. Jadi etika keutamaan mengandaikan bahwa ada kesesuaian sistematis antara tingkah-laku yang membimbing ke kebaikan individu dan tingkah-laku yang diperlukan untuk menopang masyarakat tempat ia berada. Ini dijamin dengan pengandaian mengenai jati diri individu-individu yang patuh kepada etika itu[17].

Dengan etika ini, memungkinkan manusia dapat berbuat apa yang menjadi ciri khas pribadinya dalam pergulatan hidupnya. Salah satu etika kehidupan ini adalah manusia mampu menunjukan sikap pribadinya yang sesungguh terhadap situasinya ditempuhinya dan terhadap sesamanya itu saling menghormati dan menghargai satu sama lain dan taat pada ketentuan aturan-aturan yang diberikan atasan kepada bawahan yaitu sekarang ini kita lihat dengan adanya masa pandemi ini Presiden Joko Widodo memberitahukan kepada masyarakat Indonesia supaya taat pada protokol kesehatan seperti selalu memakai masker, menjaga jarak, selalu mencuci tangan dan selalu berada di rumah dan hindari kerumunan itu. Inilah salah satu bentuk kepedulian sesama manusia. Jadi manusia harus mengembangkan etikanya melalui anjuran yang diberikan itu dalam kehidupannya.

Sehingga menjadikan etika kehidupan moral manusia ini membuat kehidupan itu terasa bernuansa dalam pergumulan manusia saat ini. Jadi apa yang menjadi penting dalam etika kehidupan moral manusia? Untuk menjawab ini, saya rasa kita harus tahu apa tujuan hidup kita dan apa komitmen hidup kita untuk mencapai semuanya itu. Dengan demikian, etika kehidupan moral itu dapat berbuah hasil yang positif dan menguntungkan bagi perkembangan kehidupan manusia selama manusia mampu mengeksploitasinya dalam kehidupannya itu.

Melalui ketentuan ini, manusia dapat memberikan apa yang ditempuhinya sebagai dasr dalam hidup terutama dalam etika moral kehidupan inilah yang memberikan makna bagi hidup manusia. Oleh karena itu, manusia dapat memperoleh semuanya itu harus memiliki keutamaan-keutamaan Kristiani yaitu kasih, iman dan harapan. Dengan melalui keutamaan ini manusia diperkuatkan dan diperteguhkan dalam melakukan sesuatu yang berguna bagi kehidupan. Tentu ini yang membuat kehidupan itu layak dihadapan Allah apabila manusia mempraktekkan semuanya itu dalam etika kehidupan moralnya sebagai dasar dalam hidup manusia. Jadi dengan hal ini manusia akan dimampukan dengan daya hidup yang selaras dan seiring perbuatannya yang berlandaskan etika moral dalam kehidupannya.

 

Keutamaan-keutamaan Kristiani memang mendapat tempat dalam kebutuhan sehari-hari, namun keutamaan kristiani tidak sama dengan tangkas menghadapi soal atau tekun bekerja. Keutamaan kristiani merupakan sikap penghayatan iman dan oleh karena itu, berpangkal pada pusat iman kita. Keutamaan ini mengalir dalam perjumpaan dengna Allah. Relasi dengan Allah menjadi kerangka perspektif untuk memandang tugas setiap hari. Dalam relasi dengan Allah, orang beriman mengambil sikap. Relasi yang teguh dalam arti tertentu memantapkan usaha dan meringankan keputusan. Singkatnya: relasi dengan Allah dapat merupakan tanah subur untuk bertumbunya suatu batin dan sikap hati yang stabil, yang biasanya disebut keutamaan.[18]

Jadi, dengan keutamaan ini memampukan manusia dalam etika moral kehidupannya menjadi kehidupan yang bermakna dalam berbagi bidang yang dijalaninya. Sebagaimana kehidupan manusia itu mampu membawa kehidupan yang bernilai bagi sesamanya. Tentu ini menjadikan suatu dasar dalam pembentukan etika kehidupan moralnya dari situasi yang dilakukannya. Singkat kata, manusia adalah bagian dari mahkluk hidup yang berproses dan berpikir adanya sesuatu. Dan sesuatu itu adalah keutamaan-keutamaan dalam hidup. Dan keutamaan itu adalah nilai-nilai hidup yang membawanya mencapai kesuksesan dalam hidup ketika manusia berhadapan dengan situasi yang mengguncangkannya. Namun, karena adanya tekat dan niat yang didasarkan etika kehidupan moral itu ia mampu menelusuri semuanya itu.

  1. Norma Moral Sebagai Tujuan Utama Bagi Kehidupan Gereja.

Dalam norma moral itu aturan-aturan itu menjadi penting dalam pergumulan dan perkembangan hidup Gereja. Mengapa dikatakan demikian? Karena norma moral adalah salah satu bentuk yang ada dalam bagian ajaran Gereja. Ajaran Gereja adalah ajaran tentang Yesus Kristus yang menjadi sumber iman Kristiani. Dengan ajaran inilah, manusia diperteguhkan dalam imannya. Sebab iman itu adalah kepercayaan yang teguh antara manusia dan Allah. Sehingga Norma moral itu selalu menjujung tinggi pada ajaran Gereja yang di dasarkan prinsip-prinsip hidup manusia dalam mengembangkan nilai-nilai moral dalam kehidupan Gereja tersebut. Seperti dalam pernyataan Paus Pius XII menegaskan hak dan kewajiban dari kuasa mengajar Gereja untuk mengajarkan, menafsirkan dan memliharan utuh hukum kodrat, yang merupakan dasar bagi kehidupan bersama.[19]

Inilah yang menjadikan ajaran Gereja yang berdasarkan norma moral yang membuat Gereja selalu itu selalui ada dalam masyarakat setempat. Gereja hadir bagi kehidupan manusia dalam Yesus Kristus. Sebab manusia dalam kehidupannya itu selalu mengutamakan Allah dalam perjuangan hidupnya. Tentu untuk itulah, Gereja memberikan kesaksiannya tentang Allah bagi kehidupan manusia. Oleh sebab itu, Gereja memberikan ajaran itu, yang didasarkan adanya norma moral yang dapat mementingkan kehidupan manusia dalam Gereja yang membangunkan persaudaraan antara Allah dan manusia sebagai sehakikat dengan-Nya.

Norma moral ini dapat membuat Gereja itu semakin diperkuat dalam hubungan manusia dengan Allah dan sesamanya. Karena itu, norma moral memberikan nilai-nilai kehidupan bagi Gereja tentang agama yang ada dalam kehidupan manusia. Bagaimana manusia dengan kepercayaan yang teguh akan Allah dapat melakukan kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai moral yang dimilikinya? Dengan ini, norma moral ada di dalam ajaran Gereja untuk memberikan ajaran-ajaran yang diberikan Yesus Kristus kepada manusia. Supaya manusia tahu bahwa Gereja adalah tubuh kristus yang menampung kehidupan manusia baik dalam hidup suka maupun dalam hidup duka.

Dengan norma moral Gereja dapat memberikan ajaran-ajarannya tentang kehidupan sosial dalam hidup moralnya. Sebagaimana pemeliharaan dan penegakan norma moral dalam masyarakat kita adalah suatu kemutlakan sebab kemerosotan moral sedang mengobrak-abrik moralitas bangsa kita. Perlu diingat, dalam hampir semua masyarakat (dari desa hingga kota besar) bisa kita temukan norma-norma yang mengikat hubungan sosial antara anggota masyarakat seperti masyarakat Batak di daerah Tapanuli Utara yang memiliki norma untuk menghormati mereka yang lebih tua atau dituakan. Penghormatan ini diungkapkan dalam tegur-sapa, kesempatan berbicara, pemberian makanan tertentu, dan pengambilan keputusan tertentu.[20]

Dalam norma moral ini dipentingkan dalam Gereja juga adalah sebuah tradisi yang ada dalam kehidupan manusia untuk menentukan manusia melakukan sesuatu dengan kebiasaannya dalam hidup yang diwariskan oleh para leluhur. Dengan begitu, ini menjadikan tradisi itu sebagai sesuatu yang dalam norma moral kehidupan manusia. Sebab dengan adanya norma moral dalam tardisi manusia dimampukan untuk membedakan mana yang dilakukan dan mana yang tidak dilakukan dalam kehidupan manusia. Dengan itulah kehidupan Gereja semakin diperkuatkan dalam kepercayaan manusia akan Allah yang adalah sumber tujuan manusia. Tetapi Gereja muncul terutama karena penyerahan diri Kristus secara menyeluruh untuk keselamatan kita, yang didahului dalam penciptaan Ekaristi dan direalisasikan pada kayu salib[21]. Ini menjadikan kehidupan manusia itu terjalin dengan adanya ajaran Gereja dalam norma moral yang memberikan nuansa hidup bagi manusia. Gereja ada untuk Allah dan manusia. Sebab Gereja dapat membuat manusia bertindak seturut keinginannya dalam tataran norma moral yang dipentingkan dalam kehidupan manusia itu.

Gereja merupakan bagian dari tubuh Kristus, ketika memberikan kesaksian tentang Allah, namun dalam pemberian kesaksian itu Gereja disuguhkan dengan norma moral yang membuat kehidupan manusia itu semakin dipererat dalam hubungan manusia dengan Allah, yang mana Allah juga turut ambil bagian dalam kehidupan moral manusia tersebut. Sebab itulah, norma moral yang ada dalam kehidupan manusia tidak segan-segannya memperkuatkan dan memotivasi komitmen hidupnya dalam kemajuan hidup terutama dalam kepercayaannya terhadap agama dan di dalam kehidupan sosial sesama. Tentu untuk itulah norma moral memberikan tujuan yang bulat bagi kehidupan manusia dalam Gereja.

Dari tujuan norma moral bagi kehidupan Gereja ini, dapat memungkinkan Gereja itu tidak terlepas dari kehidupan sosial manusia. Sebab manusia tidak bisa hanya mengandalkan kehidupan yang dimilikinya sendiri atau kekuatan yang dimilikinya sendiri kalau tidak kembali kepada Gereja yang memberikan kesaksian iman Allah kepada manusia. Inilah yang dapat membangun kemajuan hidup manusia. Sebab manusia itu, membangun kehidupannya layak jika ia harus mempraktekkan dalam hidupnya mengenai norma moral yaitu tata aturan yang mebuat kehidupan menjadi baik tergantung pada kehidupannnya. Sehingga norma moral itu merupakan ajaran Gereja yang bermakna bagi kehidupan manusia.

 

Di dalam norma moral kehidupan manusia itu menghasilkan nilai-nilai yang berdasarkan nilai ajaran Gereja sebagai tujuan utama dalam perkembangan kehidupan manusia. Dalam perkembangan itu, kehidupan manusia itu selalu dijalani dengan moral hidupnya sebagai dasar dalam hidup yang dijalaninya. Seperti dalam paham teologi moral menurut Konsili Vatikan II (OT 16) sudah ditekankan skema indikatif-imperatif yang dalam indikatif mengedepankan primat panggilan ilahi dan dalam imperatif jawaban manusia.[22]

Dari jawaban itu tentang nilai ajaran Gereja itu, Gereja memberikan nuansa baru. Terutama mengenai norma moral yang menunjang kehidupan Gereja. Tentu untuk itulah Gereja telah ada dalam pergumulan hidup manusia. Sebagai tempat yang kudus bagi manusia, Gereja memberikan apa yang harus ditanggapi manusia yaitu nilai-nilai hidup yang dapat mengembangkan kehidupan manusia itu. Sehingga kehidupan Gereja memiliki arti dan makna penting yang didasarkan dalam norma moral bagi kehidupan manusia. Sebagaimana kehidupan Gereja itu adalah pola hidup yang teratur dalam ajaran-ajaran tentang Yesus Kristus. Dengan begitu, norma moral itu memberikan apa yang membuat kehidupan Gereja selalu diperhatikan dalam kehidupan jemaat Kristen.

Kehidupan Gereja itu menjadi penting dalam kehidupan jemaat Kristen. Karena Gereja itu adalah adalah tempat yang membuat manusia selalu bernuansa iman akan Allah. Dan bagaimana umat Kristen dapat mengekspresikan imannya akan Allah? Sebab di dalamnya telah membuat umat Kristen itu bersandar pada ajaran agama yang menyangkut nilai-nilai norma moral yang menunjang kehidupan manusia dalam kesatuan dengan Gereja. Ini menunjukan bahwa Gereja itu tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Dalam perkembangan Gereja itu manusia selalu ambil bagian dalam kehidupan Gereja, karena kehidupan moral manusia yang menunjukan Gereja dalam perkembangan yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran agama bagi kehidupan manusia. Sebagaimana Gereja selalu membuka jalan bagi kehidupan umat manusia dalam memberi kesaksian tentang Allah bagi kehidupan manusia. Tentu ini norma moral disadarkan akan perkembangan Gereja itu. Sebab Gereja mempertemukan manusia dengan Allah, sebagaimana manusia dapat mengetahui Allah sebagai kekuatannya dalam hidup dengan mengandalkan agama yang menjadi ciri khas utama dalam kehidupan manusia. Dengan ajaran-ajaran dalam Gereja yang melalui nilai-nilai moral hidup, manusia dimampukan dalam keragaman hidup manusia dalam menemukan tujuan hidup yang diinginkannya itu. Sebab dari itulah, norma moral menjadi prioritas utama dalam pembangunan Gereja bagi kehidupan manusia.

Dengan demikian ini mau mengatakan bahwa norma moral adalah menjadi penting dalam pembangunan Gereja. Sebab norma moral itu adalah bagian dari ajaran Gereja dalam perkembangan kehidupan manusia. Dengan begitu, kehidupan Gereja dapat membawa sesuatu hidup manusia seiring dengan martabatnya dalam kemajuan akan nilai-nilai norma dalam pergulatan hidup manusia sebagai tujuan yang ditempuhi dalam kehidupan itu. Sehingga norma moral membentuk Gereja dalam perkembangan melalui ajaran-ajaran tentang moral hidup manusia dalam kehidupan manusia dengan agamanya sebagai satu bentuk dalam kehidupan yang mengimani akan Allah dalam kepercayaan yang teguh.

Kesimpulan

Penerapan norma moral terhadap situasi konkrit dalam kehidupan manusia ini sangat bermakna dan berguna bagi tatanan hidup manusia setiap hari. Sehingga manusia dalam kesehariannya menjalani hidupnya itu dengan menaati aturan norma moral yang merupakan kunci dasar dalam mengatur aturan-aturan moral demi kebaikan kehidupan manusia. Dengan inilah manusia diarahkan dengan aturan moral dalam hidupnya yang bernuansa baru pada era tempat yang didiaminya. Jadi, norma moral itu adalah dasar hidup yang mengatur kegiatan-kegiatan manusia apa yang dilakukan manusia. Seturut dilakukannya demi kebaikan dalam hidup. Sebagaimana norma moral ini merupakan aturan-aturan yang dapat mewujudkan keragaman kehidupan yang sesuai dengan moral hidup manusia.

Dengan demikian, norma moral ini adalah suatu wadah yang menampung kehidupan manusia dalam tatanan hidup. Dengan begitu, manusia mencapai taraf kehidupan yang diinginkan dalam moral hidupnya. Sebab dengan moral hidup itu, etika manusia pun dimampukan dalam seluruh perilaku manusia yang di dasarkan pada norma moral kehidupannya. Sehingga kehidupan manusia pun sejalan dengan nilai-nilai norma moral yang diterapkan dalam kehidupan manusia. Agar manusia itu melakukan apa yang inginkannya berhasil atau mencapai kesuksesan yang gemilang. Sebagaimana dengan penerapan norma moral dalam situasi konkrit dalam etika kehidupan manusia ini menjadi berkembang dalam pola kehidupan manusia menunju era kehidupan yang baru atau perubahan dalam kehidupan yang lama menjadi kehidupan yang baru.

 

Daftar Pustaka

Bertens, K. Keprihatianan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

___________, Moral Sosial (Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat), Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Chang, William. Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Douma, J. Kelakukuan Bertanggung Jawab (Pembimbing ke Dalam etika Kristen), Jakarta: Gunung Mulia, 1993.

Go, Piet. Teologi Moral Dasar, Malang: Dioma, 2007.

Kohlberg, Lawrence. Tahap-Tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

Kieser, Bernhard. Moral Dasar; Kaitan Iman Dan Perbuatan, Yogyakrta: Kanisius, 1987.

Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Mengenai Gereja Lumen Gentium, 21 November 1964, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Penterj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan penerangan KWI Obor, 1993).

Katekismus Gereja Katolik, No 766, P. Herman Embuiru (penterj.) (Ende: Nusa Indah, 1998).

Sudarminta, J. Moralitas Dan Modernitas (Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme), Yogyakarta: Kanisius, 1993.

 

[1] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis Mengenai Gereja Lumen Gentium, 21 November 1964, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Penterj. R. Hardawiryana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan penerangan KWI Obor, 1993), hlm. 54.

[2] William Chang, Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 83.

[3] Ibid.,

[4] Piet Go, Teologi Moral Dasar, Malang: Dioma, 2007, hlm. 2

[5] Ibid.,

[6] Ibid.,

[7] Lawrence Kohlberg, Tahap-Tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 71.

[8] Ibid.,

[9] Ibid.,

[10] Bernhard Kieser, Moral Dasar; Kaitan Iman Dan Perbuatan, Yogyakrta: Kanisius, 1987, hlm. 161.

[11] Ibid., 164.

[12] William Chang, Op. Cit, hlm. 98.

[13] Piet Go, Op., Cit, hlm 37.

[14] J. Sudarminta, Moralitas Dan Modernitas (Di Bawah Bayang-Bayang Nihilisme), Yogyakarta: Kanisius, 1993, hlm. 179.

[15] K. Bertens, Keprihatianan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 57.

[16] J. Douma, Kelakukuan Bertanggung Jawab (Pembimbing ke Dalam etika Kristen), Jakarta: Gunung Mulia, 1993, hlm 72.

[17] J. Sudarminta, Op., Cit, hlm. 76.

[18] Bernhard Kieser, Moral Sosial (Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat), Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 98.

[19] Bernhard Kieser, Op., Cit, hlm. 12.

[20] William Chang, Op., Cit, hlm. 97-98.

[21] Katekismus Gereja Katolik, No 766, P. Herman Embuiru (penterj.) (Ende: Nusa Indah, 1998), hlm. 230.

[22] Piet Go, Op., Cit, hlm. 246.

Abstrak

Dalam paper ini, Saya menempatkan fokus penulisan pada sebuah judul Liyan Dalam Pengalaman Sehari-hari Aku (Perspektif Armada Riyanto). Menurut saya judul ini sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia. Alasannya, karena Liyan hadir dalam kehidupan sehari-hari Aku yang pernah luput dari kehidupan kita sebagai manusia, karena sesungguhnya Liyan tidak akan bisa hidup sendiri atau Liyan tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan sesamanya. Inilah yang membuat Liyan selalu berusaha menjalin komunikasi dan interaksi dengan sesamanya. Argumentasi Saya bahwa realitas tema ini adalah Liyan dipinggirkan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Liyan selalu berusaha mengaktualisasikan dirinya ketika Liyan belajar mengenai dirinya sendiri, sesamanya, dan lingkungan sekitarnya, maka Liyan itu selalu memerlukan uluran tangan dari sesamanya. Agar dapat tercipta terjalinnya hubungan antar sesama. Metodologi yang akan saya gunakan dalam penulisan paper ini adalah kepustakaan dan buku sumber. Temuan yang saya dapatkan dalam tema Liyan dalam Pengalaman Sehari-hari Aku adalah Bagaimana Liyan dapat membangun kehidupannya?

 

Kata Kunci: Liyan, Aku, Pengalaman, Relasi, Komunikasi.

 

  1. Latarbelakang

Liyan Dalam Pengalaman Sehari-hari Aku (Perspektif Armada Riyanto), ini adalah dia/mereka yang tersisih. Suku-suku masyarakat yang ada di hutan-hutan atau di pinggirannya di banyak wilayah di Indonesia merupakan kelompok warga negara yang tersisih. Aku menyebut mereka “tersisih”, karena hidup dan konteks pengalaman keseharian berada di luar kendalinya. Mereka tidak menjadi tuan atas pengalaman hidupnya sendiri. Ketika mereka tersisih oleh kebijakan pembangunan atau perbabatan hutan atau penanaman kelapa sawit atau tercekik oleh asap kebakaran hutan, mereka benar-benar menjadi orang ketiga dalam societas. Ketika, fasilitas dasar seperti listrik, air, dan udara yang baik untuk hidup menjadi barang yang mahal, mereka menjadi kelompok orang ketiga.  

Sebagai orang ketiga, mereka “voiceless.”Tidak ada posibilitas partisipasi kehidupan bagi mereka. Mereka tidak berada di wilayah komunikasi pengambilan keputusan. Kenyataan semacam ini jelas tidak mengindikasikan struktur gramatika kehidupan yang manusiawi. Dalam gramatika kehidupan jelas dimungkinkan komunikasi. Komunikasi dimungkinkan oleh kebenaran bahwa kehidupan sehari-hari punya karakter elaboratif. Keseharian tidak lengang, melainkan sibuk. Manusia-manusia tidak hanya melakukan aktivitasnya untuk dirinya sendiri melainkan sibuk berinteraksi satu sama lain membangun kehidupannya. Kesibukan inilah yang memungkinkan komunikasi dan kebersamaan.

 

  1. Status Qestionis/Research Qestionis.

Dalam paper ini, ada tiga pertanyaan yang menjadi status qestiones-nya.berikut ialah daftarnya.

  1. Bagaimana relasi Aku dan Liyan dalam Pengalaman Sehari-hari?
  2. Apakah Aku dan Liyan sebagai makhluk sosial?
  3. Mengapa Aku sebagai subyek komunikasi?

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut bertujuan untuk menemukan jawaban-jawaban yang relevan  dalam pengalaman kehidupan Liyan Sehari-hari.

 

  1. Metodologi

            Dalam paper ini metodologi yang digunakan adalah pembacaan kritis dengan menggunakan buku Rasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen), sebagai sumber utamanya. Selain itu, penulis juga menggunakan beberapa sumber pendukung sesuai dengan tema yang diangkat yaitu Menjadi Mencintai (Berfilsafat Teologi Sehari-hari), Aku dan Sayap (Kata Filsafat dan Sayap), (Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Keindonesiaan), Diktat Metafisika, Harun, Sari Sejarah Filsafat barat 1, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Diktat Matra-Matra Filsafat Sosial, Filsafat Proses. Di sisni telah menjelaskan tentang Liyan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana Liyan berarti mereka yang kehilangan esensi partisipasinya (dalam arti mereka terpisah, terpinggirkan dari peran-peran tata hidup bersama). Namun, Liyan ini dapat didefinisikan sebagai orang lain yang hidup berdampingan dengan Aku. Tanpa orang lain Aku tidak bisa menyadari kehadiranku, keadaanku. Dengan inilah menggambarkan bahwa orang lain berperan penting dalam kehidupan itu. Sehingga Liyan ini adalah orang lain yang menunjukan kehidupan itu sebagai realitas dengan apa yang di alaminya dalam kehidupan itu.

  1. Penelitian Terdahulu

4.1. Studi Penelitian Terdahulu

Liyan adalah Aku yang lain. Artinya mereka yang tersisihkan dari kehidupan itu. Sehingga kehidupan Liyan itu banyak diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Sehingga mereka menjadi orang-orang yang dipandang rendah dari kehidupannya. maka, perlunya pendampingan sesamanya. Agar kehidupan mereka mengalami kesatuan yang baik dalam komitmen keberadaan mereka. Hal ini, mereka dapat membangun kehidupan yang mendatangkan persaudaraan teguh, kokoh dan kuat dalam kehidupannya.

 

4.2. Posisioning Penelitian

Liyan dalam pengalaman sehari-hari ini menunjukan nilai-nilai kehiupan manusia yang mengembara di dunia ini. Sehingga Liyan ini dapat menjadi teladan dan contoh bagi setiap orang yang melakukan apa yang ia alami dan hadapi dalam situasi itu. Dengan begitu, Liyan menjai ciri khas manusia sebagai makhluk berakal budi dan sebagai mahkluk sosial dalam kehidupan manusia.

 

4.3. Siapakah Liyan Menurut Armada Riyanto?

            Dalam buku Armada Riyanto, Rasonalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi Aku, Teks, Liyan, fenomen) Menguraikan filsafat Liyan atau “the other” (dalam bagian ini “the”diatribusikan untuk menafirmasi being atau keberadaannya, bukan sekedar ketentuannya) mengadaikan pemahaman tentang ekspolorasi “the self”. Filsafat pertama-tama adalah filsafat tentang self. Dapat dikatakan, filsuf penemu “Self”. Filsafatlah wilayah ekspolarasi “Self”. Bila “Self” diindentikan dengan Aku, halnya telah diuraikan pada bagian ini memaksudkan suatu pergulatan filosofis tentang Liyan (the other).[1]

The other berarti sesuatu yang berada “di luar”. Di luar dijelaskan dalam kaitannya dengan relasi intersubjektif. Liyan memiliki pengertian antara lain: manusia yang mengalami ketidakadilan dan penindasan dalam konteks biologis, budaya, sosial, politik, agama, hukum dan lain-lain. Liyan dapat juga di mengerti sebagai sesuatu yang berada di luar wilayah komunikasi diri, yang dipandang sebagai obyek. Liyan dengan kata lain adalah orang lain selalu hidup berdamping dengan aku. Tanpa kehadiran orang lain aku tidak bisa menyadari kehadiranku, keadaanku. Hal ini menunjukan bahwa orang lain begitu besar peranannya dalam realitas pengadaku. Aku dilahirkan dari orang lain dan juga orang lain juga lahir dari orang lain begitu seterusnya. Oleh sebab itu,kehadiran mereka menunjukan suatu kesatuan hidup manusia kerena manusia tidak pernah hidup sendiri tetapi selalu bersama orang lain. Itulah orang lain. Lalu, mengapa ada Liyan? Karena Liyan memang berarti orang lain sama dengan the other. Namun, Liyan dalam pengertian ini lebih cenderung pada makna yang negatif. Dibandingkan dengan penjelasan sebelumnya, Liyan ialah sebutan bagi orang lain yang “diorang-lainkan”.

Kehadiran mereka merupakan yang terpisahkan dari kehidupan normal. Kehadiran mereka merupakan yang tidak dianggap dan yang perlu”dilenyapkan.” Masih banyak pengertian tentang Liyan dalam kehidupan ini: korban bencana, korban perang, para buruh, dan penderitaan HIV/AIDS misalnya, adalah Liyan yang nyata di masa sekarang dan masih banyak bentuk lainnya. Akibat dari gelar Liyan yang dicapkan kepada mereka ini menjadikan  mereka sendiri tidak bisa mengembangkan kapasitas manusianya, kehilangan esensi partisipasinya, dan selalu hidup dalam keterbelengguan, keterpurukan,dan kehilangan hakikatnya sebagai manusia.

 

  1. Liyan dalam Pengalaman Sehari-hari Aku

5.1. Aku sebagai Subyek komunikasi

 Aku sebagai komunikasi subyek  terhadap subyek mengafirmasikan bahwa setiap subyek memiliki satu kesatuan eksistensi. Ketika sebuah subyek memilih, atau dipilih oleh, relasi Aku, Engkau, ini merupakan tindakan yang mencakup keseluruhan eksistensi subyek. Maka, relasi Aku, Engkau suatu tindakan pemulihan, atau kenyataan yang dipilih, untuk menjadi subyek dalam suatu komunikasi subyek terhadap subyek. Subyek menjadi sebuah subyek melalui relasi Aku, Engkau, dan tindakan pemilihan relasi ini mengafirmasikan seluruh kenyataan Aku sebagai subyek komunikasi.

 

Seperti keserupaan antara “Aku” Allah dan “Aku” manusia menjadi nyata dalam posibilitas komunikasi. Sebab, manusia adalah ciptaan Allah yang segambar dengan Sang pencipta. Sehingga relasi Aku sebagai subyek dalam komunikasi tentu memiliki peran yang sangat penting dalam hidup. Peran ini menujukan Aku sebagai penggerak dan yang menghubungkan ini adalah Allah itu sendiri. Jadi, inilah inter-relasi antara Allah dan manusia, bahkan inter-relasi yang dekat, semata karena “Aku”.[2]

 

Buber mengatakan bahawa komunikasi Aku, engkau merupakan komunikasi interpersonal yang langsung dan tidak mediasi oleh intervensi sistem ide apa pun. Tidak ada obyek-obyek pemikiran yang berinvertensi di antara Aku sebagai subyek komunukasi.[3] Jadi, Aku adalah subyek komunikasi dan relasi yang langsung antara subyek-terhadap subyek, yang tidak dimediasi oleh relasi dan komunikasi lainnya.  Aklu subjektif adalah fondasi segala bentuk kehadiran manusia dengan kekayaan relasi yang mungkin dalam hidupnya.  Aku subjektif juga sumber pengetahuan. Pengetahuan yang berasal dari subjektivitas memiliki kewibawaan lahir dari lived experience. Artinya, pengetahuan subjektif memiliki asal dari pengalamn hidup itu sendiri. Di dalamnya  termasuk juga pengetahuan intuitif ,sebuah pengetahuan yang hanya menjadi mungkin dalam pengalaman.[4]Dengan demikian, Aku bukanlah alat untuk beberapa obyek atau tujuan tertentu,melainkan suatu komunikasi dan relasi pokok dalam seluruh kenyataan setiap subyek. Aku bukanlah obyek yang diinterprestasi, melainkan Aku sebagai subyek yang menginterprestasikan. Dan, interprestasi subyek adalah interprestasi untuk diri.

 Di sini berlaku konsep bahwa setiap makna adalah untuk diri. Tak mungkin makna bukan untuk siapa-siapa. Karena manusia adalah subyek bagi hidupnya, untuk diri memungkinkan setiap interprestasi memiliki kekhasannya yang mencengangkan. “Aku” manusia tidak bisa diandaikan sama saja dalam menginterprestasi realitas.[5] Di sini Framework”Aku” memasuki suatu momen tahapan yang lebih tinggi. Mengenai pengalaman yang sama, semisal menjadi tahapan politik (tapol) di era orde baru, menjalani hukuman yang serupa dalam tahun dan penempatan, tidak bisa diasumsikan bahwa manusia-manusia yang terhukum memiliki interprestasi yang sama saja tentang memoria pasionisnya (pengalaman penderitaannya). Di sini interprestasi benar-benar ada dalam dunia subjektif.

Interprestasi untuk diri bukanlah interprestasi egoistik, reduktif bukan. Interprestasi untuk diri merupakan aktivitas interprestasi itu sendiri. bahkan apabila subjek menginterprestasi dirinya sendiri, maksudnya pengalamannya sendiri,interprestasi itu pastilah memiliki karakter untuk diri. Manusia hidup pada intinya adalah untuk dirinya. ketika manusia belajar, dia melaukan untuk dirinya, ketika dia bekerja, dia juga mengupayakannya untuk dirinya, ketika manusia menjalani hidup sehat, demikian dia merealisasikannya untuk dirinya.

 

5.2. Liyan dalam keseharian Aku

            Manusia pada dasarnya selalu senang dengan keindahan dalam hidup kesehariannya. Hal ini buktikan dengan keinginan mata melihat pemandangan yang indah dalam hidup kesehariannya seperti keinginan telinga untuk mendengar lagu dan alunan musik yang merdu dan indah.  Singkat kata, panca indera manusia terikat untuk menikmati sesuatu yang dalam hidup kesehariannya yang dirindukan oleh manusia. Indah keseharian dalam hidup adalah itu masuk dalam kategori empat aspek transendental, satu, baik, benar dan indah. Dimana kehidupan keseharian dalam relasi Aku dan Liyan itu pada dasarnya menyibakkan keindahan. Keindahan itu ternyata dalam kehadiranku dan kehediran Liyan dalam perjumpaan konkret kami. Sebab keseluruhan hidup kami sesungguhnya menjadi penjabaran dari keindahan itu sendiri meskipun tidak lengkap.[6] Hal ini ingin menunjukan bahawa sebenarnya kehadiran manusia itu adalah indah. Hal ini jelas dalam pandangan Katolik, bahwa manusia itu adalah citra dari Allah. Manusia adalah imago Dei.

 

Manusia ialah bahwa ia adalah makhluk rasional. Jadi, puncak perbuatan dalam kehidupannya terletak pada pikiran yang  murni dalam hidupnya. Dengan menjadikan pikiran murni ini manusia dalam hidup kesehariannya dapat membaur dengan orang lain yang ada di sekitarnya. Sebagaimana pikiran murni itu juga dirasakan oleh orang lain dalam mengejar  keindahan hidup kebahagian yang tertinggi, oleh setiap manusia dalam hidupnya.[7]

 

  Dengan Allah disebutkan sebagai akar dari segala keindahan, Ia adalah indah dari sendirinya, maka kehadiran Aku dan Liyan dalam keseharian sebagai gambarnya yang indah. Inilah yang menjadi dasar hidup manusia dalam keseharian seperti yang dilakukan Liyan dan Aku dalam keseharian kami. Dengan menjalankan hidup keseharian ini, Aku belajar dari Liyan yang mengalami kesedihan atau kedukaan hidupnya. Namun, hidup keseharian Liyan bukan hanya mengalami hidup yang hampa saja tetapi dapat diperbaiki melalui cerminan dari jati diri seseorang yang bagaimana ia memaknainya melalui hidup keseharian yang ia gunakan sebaik mungkin selama masih perziarahan di dunia ini. Sehingga hidup Liyan memiliki makna dan nilai-nilai hidup dalam kesehariannya itu.  

 

Menurut Heidegger, hidup sehari-hari itu ialah cara hidup tertentu,cara eksistensi tertentu. Eksistensi hidup sehari-hari dalam keindahan ialah surat kabar, sarana angkutan umum, meniru apa yang di perbuat “orang”serta menyesuaikan pendapatnya sendiri dengan pendapat orang. Tetapi puncak itu hanya dapat dicapai oleh para dewa, manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengar mengatur keingiannya.

 

 Kami mewarisi gambaran akan Allah yang menciptakan manusia dengan seturut gambarannya sendiri, maka gambaran itu pun melekat dalam diriku dan Liyan. Kami membawa gamabaran itu dalam setiap kehadiran kami dimanpun. Maka dengan demikian setiap perjumpaan Aku dan Liyan dalam relasi keseharian ini. Sehingga eksistensi manusia  dalam keseharian tumbuh oleh pengalamannya.[8]  Agar kami menghadirkan keindahan itu sendiri. Hal keindahan relasi dalam seharian antara Aku dan Liyan ini dilihat sebagai indah karena dalam relasi itu Aku dan Liyan menghargai keindahan masing-masing. Apabila dilihat dari konteks filsafat alteritas levinas, maka kehidupan itu diperlihatkan apa bila Aku dengan segala kerendahan hatiku menghargai Liyan yang pada dasarnya dengan segala keberlainannya yang tak berhingga adalah indah dalam keseharian.  Dengan keseharian ini Liyan dapat memperbaharuhi hidupnya melalui perbuatannya yang menjadi contoh yang hasrat dalam hidupnya yang baik. Sebagaimana yang dapat ia mengalami dalam hidup keindahan kesehariannya itu.

           

Secara fenomenologis hubungan sehari-hari antara manusia dan dunianya itu bersifat praktis. Hubungan itu dapat disebutkan demikian, bahwa mansuia sibuk dengan dunia, atau mengerjakan dunia, atau mengusahakan dunia, dan sebagainya, yang semuanya itu dirangkumkan Heidegger dalam kata Besorgen (memelihara). [9]

 

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keindahan dalam keseharian Liyan ini pun tak berhingga. Hal ini menunjukan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menghormati Liyan, apalagi mengeksploitasinya dan mereduksinya dalam diriku. Kami adalah keindahan hidup Liyan dalam keseharian Aku. Inilah yang menjadikan Aku dan Liyan sebagai manusia berakal budi. Mahkluk berakal budi ini berbeda dengan mahkluk lain seperti binatang. Jadi Aku dan Liyan mahkluk yang mempunyai akal budi yang merupakan berpikir secara efektif dan manusia sebagai kodrat alami.

 Manusia dengan akal budinya mampu memperbaharuhi dan mengembangkan sesuatu untuk kepentingan hidup dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, manusia ini sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagian hidup manusia itu dalam hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan dalam hidup keseharian. Dengan keseharian ini Aku dan Liyan terus diselimuti dengan relasi yang harmonis dalam hubungan itu. Sebab hubungan harmonis itu di sertai dengan relasi yang akur antara satu dengan yang lain.

 

5.3. Relasi Aku dan Liyan Dalam Membangun Kehidupan

Relasi Aku dan Liyan dalam membangun Kehidupan ini mengatakan Aku-Liyan adalah relasi dimulai“Know Your Self.” Hal ini sangat penting bagi perkembangan mutu hidup manusia dalam kehidupan dari zaman ke zaman. Dengan mengenal diri sendiri Aku akan dibawa kepada kesadaran bahwa Aku dan Liyan adalah jenis makhluk yang sama yang berjiwa raga dan berakal budi dan merupakan ciptaan Tuhan yang sempurna. Tetapi “Know Your Self” juga mengajak manusia menyadari bahwa Aku dan Liyan adalah ber”Aku yang sama sekaligus berbeda. Inilah awal relasi dalam membangun kehidupan.

Mencapai suatu relasi Aku-Liyan membutuhkan cinta. Cinta sangat menentukan dalam sebuah relasi. Seperti Di dalam cinta, Liyan tidak lagi orang lain. Melainkan, Liyan adalah Engkau yang dengan siapa Aku berelasi, berkomunikasi. Cinta dapat merevelasikan diri dalam relasi yang menghidupkan.[10] Ketika komunikasi berlangsung intens, Engkau menjadi Aku yang lain yang dengannya Aku melakukan penziarahan hidup. Setiap hari.[11] Tanpa cinta tidak ada seorang pun dapat menjalin sebuah relasi. Contoh, ketika kita marah dan benci dengan seorang teman, kita pasti tidak mau menegur, menyapa, dan berbicara dengannya. Dari contoh tersebut mau mengatakan bahwa saat pengalaman itu terjadi relasi menghilang. Orang akan mulai membangun tembok pemisah antara dirinya dan orang yang di musuhinya. Pemisahan ini akan terus berlanjut jika tidak ada kesadaran akan cinta. Relasi Aku-Liyan merupakan merupakan persahabatan dan bukan permusuhan. Aku mau bergaul dengan Liyan pertama-tama bukan maksud memanfaatkan kehancurannya sebagai Liyan, melainkan karena sebuah kesadaran “Aku”. Aku bersahabat mempunyai arti memberikan ruang agar Liyan memenuhi aku.

 

Persahabatan itu pertama-tama relasi manusiawi. Tetapi di sini memiliki fondasi kokoh,cinta.  Cinta sahabat lebih indah dari segala cinta yang bisa diberikan oleh kekasih. Gambaran keindahan cinta sahabat tak terlukiskan. Seperti Daud dan Yonatan sama-sama mendengarkan Sabda Tuhan. relasi mereka bukan relasi suka sama suka atau didasarkan pada kecocokan. Relasi persahabatan adalah cetusan terdalam dari “roh”yang mengalir dari Tuhan sendiri.[12]

 

Begitu pula,kehadiran Liyan lantas menjadi penuh makna bagi hidup Aku. Kehadiran Liyan melengkapi apa yang kurang dari hidupku, dan dari kekurangan pengertianku akan realitas manusia dan keseluruhannya, baik “Aku” manusia Liyan. Aku bersahabat menandakan sebuah empati akan Liyan ia patut diperhatikan, didekati, dan mengakui eksistensinya sebagai manusia, teman, dan saudara. Relasi ini akan lebih bermakna saat aku mau memosisikan diri sebagai Liyan dan Liyan memosisiskan sebagai Aku. Saat memosisikan diri secara demikian,baik Aku maupun Liyan, akan terjadi hubungan timbal balik antar keduanya: betapa sakitnya menjadi Liyan  dan betapa nyamannya menjadi Aku. Dari pertukaran yang demikian akan terjadi perubahan pandangan dalam hidup manusia dan akan terjadi perbaikan dan perkembangan mutu hidup hidup dalam kehidupan Aku-Liyan sebagai manusia.

Inilah sebuah relasi yang menunjukan sebuah kesadaran “Aku” bahwa Liyan adalah Aku dan Aku Adalah Liyan. Relasi keduanya dalam membangun kehidupan ini telah memunculkan sebuah konsep “You are the other of me” yang mampu mengubah pandangan dunia tentang siapa Liyan itu. Inilah pengakuan eksistensi akan Liyan,inilah relasi Aku-Liyan, dan konsep tentang Liyan sebenarnya tidak ada. Perlu kesadaran akan realitas ini.

Sehingga antara Aku dan Liyan memiliki lika-liku dalam sejarah peradaban manusia, bahkan hingga sekarang. Liyan seringkali tidak dipandang secara semestinya. Hal ini yang menyebabkab terjadi ketidakadilan dalam relasi,bahwa mansuia dengan kesadarannya tega mengeksploitasi Liyan demi kepentingan pribadi. jelas hal ini tidak seharusnya demikian. Liyan adalah subyek yang bernilai bagiku, nilai dari Liyan sangatlah tidak berhingga. Ia bahkan menjadi alan bagiku menggapai transendensiku. Oleh sebab ia adalah jalan bagiku menggapai transendensiku,maka tak ada alasan bagiku unuk tidak berlaku etis terhadap Liyan. Liyan pun memiliki kesadaran Aku-nya sendiri,maka sepertiku,untuk itu Aku adalah orang yang pertama-tama harus menjaga dan menghormati hak dari Liyan.

 

5.4. Aku dan Liyan sebagai makhluk sosial

Aku dan Liyan adalah manusia yang adalah mahluk sosial. Pernyataan ini tegas. Sebab inilah yang membedakan manusia dengan mahkluk lainnya seperti binatang. Pembeda Manusia dengan makhluk lainnya adalah manusia mempunyai akal budi yang merupakan berpikir secara efektif dan logis sebagai kodrat alami. Manusia dengan akal budinya mampu memperbaharuhi dan mengembangkan sesuatu untuk berguna dalam hidup dan selalu membutuhkan sesamanya dalam hidup sosialnya. Jadi dengan kata lain, manusia ini sebagai makhluk yang sosial tidak lain adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa sesamanya dalam menciptakan kebahagian hidup seperti baik, benar. Tentu manusia yang terus-menerus berinteraksi dengan sesamanya dalam hidup. Karena baginya sesama itu adalah keluarga yang istimewa dalam hidupnya. Artinya seseorang hidup tanpa orang lain tidak akan mengalami perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya. Maka, perlunya manusia membutuhkan sesamanya dalam hidup atau berinteraksi dalam hidupnya. Sehingga ia dapat disebut sebagai mahkluk sosial. Seperti  Manusia juga adalah seorang homo homini socius, kata Thomas Hobbes. Ia melakukan yang bersosial dalam hidupnya itu.

 

Smith menegaskan bahwa pembagian kerja manusia sebagai makhluk sosial yang dapat menyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban modern. Sebab kemajuan sosial ini adalah kebebasan manusia sebagai dasar dari kodrat sebagai manusia. Atas dasar itu, pembagian kerja manusia sebagai makhluk sosial yang dapat menyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban moderrn yang menciptakan hak milik yang tak boleh dilanggar oleh siapa pun.[13]

 

 Dengan bersosial ini Aku dan Liyan dapat dilihat dari karakter dalam hidup. Sebab melalui karakter ini menunjukan bahwa kami adalah mahkluk sosial yang hadir dalam lingkungan yang kami diami atau menempatkan itu. Liyan dan Aku dapat berinteraksi satu sama lain dalam hubungan relasi kami sebagai mahkluk sosial. Sebab kami adalah mahkluk yang melakukan intaraksi satu sama lain dalam hidup peradaban kami ini. Peradaban humanitas,sosial menjadi sebuah ilmu dan tujuan hidup manusia. Karena nilai dan makna hidup manusia menjadi kemajuan sosial yang ada dalam kehidupan manusia itu sendiri. Lalu kehidupan sosial ini,menjadi tolak dasar manusia dalam menghayati hidupnya sebagai kenyataan bagi hidup  manusia itu sendiri.

 

Sebagai mahkluk yang sosial, manusia baru sungguh hidup atau menghidupi hidupnya kalau terus menerus secara aktif membentuk dirinya. Manusia mengada dengan terus menerus “menjadi” Dengan menusia menjadi manusia dapat mencari jati dirinya. Dalam hal ini menekankan pentingnya manusia unuk mengisi hidupnya secara auntentik dan bermakna dalam hidup bersosialnya.[14]

 

 Sehingga manusia tidak mungkin yang mampu hidup sendiri. Hal ini, Omong kosong belaka jika kita mendengar seseorang hanya mampu hidup sendiri. Jika demikian,ia melanggar kodratnya. Pengetahuan akan kodrat manusia yang rasioanal dan sosial nyatanya tidaklah cukup. Manusia terlalu kompleks untuk direduksikan misalnya sekedar akal budinya. Manusia tinggal dan ada di dalam dunia dan semesta dimensi kehidupannya yang luas. Filsafat dan disiplin ilmu apapun tidak akan pernah tuntas dalam mengurai siapa manusia. Refleksi soal siapa manusia muncul dalam ide filsafat relasionalitas. Hal ini diuraikan oleh seorang filsuf indonesia Armada Riyanto dalam bukunya Relasionalitas-Filsafat Fondasi Interprestasi:Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) yaitu kodrat manusia bukan hanya rasional, tetapi juga rasioanal. Kemanusian bukan hanya dalam ranah rasionalitas tetapi juga relasionalitas. Rasionalitas dengan demikian adalah natura kemanusian kita.

 

  1. Temuan

Temuan saya adalah manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain. Mengapa? Karena dengan kehadiran orang lain, akan mendapat berkat dalam kehidupan itu. Sehingga manusia dalam kehidupannya tidak akan mengalami kehampaan atau kesusahan dalam hidupnya jikalau tanpa campur tangan orang lain. Sebab dengan kehadiran sesamanya dapat membangun kehidupannya melalui saling membantu, menolong, menghibur, toleransi dan membangun persaudaran yang akrab dan harmonis dalam kehidupan manusia itu. Inilah dasar dari seluruh kehidupan manusia sebagai mahkluk berakal budi.

 

  1. Kesimpulan

Kehidupan Liyan dalam pengalaman sehari-hari Aku ini adalah realitas dari kehidupan manusia. Sebab kehidupan manusia adalah pengalaman sehari-hari manusia  dimana manusia melakukan sesuatu yang berguna bagi hidupnya,bagi dirinya dan bagi kehidupan sesamanya. Di saat itulah kehidupan itu bergolak seprti gelombang air laut. Terkadang kehidupan manusia seperti gelombang air laut yang pasang surut. Tentu sebagaimana kehidupan manusia itu adalah tujuan yang mutlak bagi setiap orang dalam peziarahan di dunia.

Dengan peziarahan hidup ini, manusia adalah mahkluk berakal budi dalam hidupnya. Sebagai mahkluk berakal budi manusia berinteraksi dengan sesamanya. Sebab sesamanya itu adalah keluarga spesial bagi tujuan hidupnya. Sehingga manusia dapat melakukan hubungan relasi dengan sesamanya dalam kehidupan yang baik. Dari kehidupan inilah manusia mencapai taraf kehidupan yang penuh perkembangan dan kemajuan dalam hidupnya itu. Jadi, kehidupan manusia adalah wadah yang menampung setiap orang yang mengalami hidup suka maupun hidup duka seperti juga yang di alami Liyan dalam pengalaman hidup sehari-harinya itu.

 

Daftar Pustaka

Hadiwijono, Harun. Sari Filsafat barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980.

Lanun, Alex. Diktat Metafisika, Jakarta:Gramedia Pustaka utama, 2018.

Pandor, Pius. Diktat Matra-Matra Filsafat Sosial,Malang: Widya Sasana, 2016.

Riyanto, Armada. Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen) Yogyakarta:Kanisius, 2018.

 Riyanto, Armada dan dkk. (Eds), Aku dan Sayap (Kata Filsafat dan Sayap), Malang: Widya Sasana Publication, 2011.

…………………,Menjadi Mencintai (Berfilsafat teologis Sehari-hari),Yogyakarta:Kanisius, 2013.

…………………,Sari Sejarah Filsafat Barat 2,Yogyakarta:Kanisius,1980.

Riyanto, Armada dan dkk. (Eds), (Kearifan Lokal Pancasila Butir-Butir Keindonesiaan), Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Sudarminta, J. Filsafat Proses,Yogyakarta:Kanisius, 2018.

 

[1] Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi Aku, Teks, Liyan, Fenomen) Yogyakarta:Kanisius, 2018,hlm 243.

[2] Armada Riyanto dan dkk, (eds), Aku dan Sayap (Kata Filsafat dan Sayap), Malang: Widya Sasana Publication, 2011, hlm 13.

[3] Ibid, 256.

[4] Ibid.,208.

[5] Ibid., 236.

[6] Alex Lanun, Diktat Metafisika, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm 55.

[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat barat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1980, hlm 52.

[8] Armada Riyanto, Menjadi Mencintai (Berfilsafat teologis Sehari-hari),Yogyakarta:Kanisius, 2013, hlm 146.

[9] Harun hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius,1980,hlm 151.  

[10] Ibid.,157.

[11]Ibid.,374.

[12] Ibid.,113.

[13] Pius Pandor,Diktat Matra-Matra Filsafat Sosial,Malang: Widya Sasana, 2016 ,hlm 64.

[14] J.Sudarminta,Filsafat Proses,Yogyakarta:Kanisius,2018,hlm 1998.

Abstrak

Dalam penulisan ini saya memfokuskan pada tema yang berjudul KONTRADIKSI; “Pengetahuan Manusia dan Tuhan”. Tulisan menggunakan metode pembacaan kritis di mana saya mengafirmasikan antara pemikiran-pemikiran seperti pemikiran Thomas Aquinas, Soren Kierkegaard, Emanuel Kant dengan tulisan-tulisan dari buku Armada Riyanto dan dari sumber yang lain. Saya menemukan bahwa Pengetahuan manusia dapat membawa suatu dampak yang besar, baik bagi dirinya, sesama, dunia dan Tuhan. Pengetahuan lantas memproduksi apa yang disebut dengan tingkah laku atau perilaku manusia. Dalam berprilaku, manusia tidak selalu mencerminkan yang baik, benar, indah namun juga jahat. Perilaku-perilaku di atas lantas menjadi kontradiksi dalam kehidupan manusia sebagai makhluk peziarah yang terus berproses untuk menjadi. Perilaku yang kontradiksi menjadi dasar terjadinya suatu kekacauan, kekerasan, perang, terorisme, bahkan Tuhan yang seharusnya dipuji, disembah, diagungkan, pun menjadi obyek kemarahan dan alasan munculnya perilaku yang bertentangan. Kontradiksi hanya dapat menjadi sesuatu yang indah apabila ada kesadaran dalam diri manusia.

 

Kata Kunci: pengetahuan, manusia, kejahatan, indah, Tuhan.

 

Pengantar

            Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib dari pada manusia. Demikian pernyataan seorang dermawan Yunani Sofkles. Manusia mampu dan bebas melakukan apa saja dengan pengetahuan yang ada padanya. Suatu pernyataan yang masih sangat aktual sampai pada saat ini. Pengetahuan manusia sudah meloncat mencapai ketinggian yang belum pernah dimimpikan dalam hidupnya. Pengetahuan itu, menyangkut peribadi manusia, alam semesta dan Tuhan. Salah satu hasil atau produk dari pengetahuan yang jelas nampak pada diri manusia adalah perilaku atau tingkah laku. Perilaku manusia kemudian menyodorkan berbagai hasil yang menyolok mata. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak tahu apakah perilakunya akan selalu baik atau jahat. Sebagai makhluk peziarah, manusia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Manusia selalu berubah dalam tindakan dan perilakunya.

Perilaku dan tindakan manusia lantas memiliki dampak yang besar baik bagi dirinya, sesama, dunia dan Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya, manusia selalu ingin berada dalam posisi yang disebut baik, benar dan indah. Dan seringkali dalam kenyataannya yang baik, yang benar, yang indah selalu dirusak oleh yang jahat. Yang jahat tak mengenal belaskasih dalam merusak. Perang, bom, pembunuhan menjadi bukti bahwa kejahatan memang kejam dan tidak memiliki tempat khusus dalam setiap hati manusia bahkan di hadapan Tuhan. Tindakan atau perilaku seperti ini terjadi, jelas karena pelaku kejahatan tidak memiliki kesadaran yang mendalam mengenai siapa “aku” di dunia. Dunia Seolah-olah menjadi ladang pelampiasan dari perilakunya, bahkan manusia mengatasnamakan Tuhan dalam berprilaku. Pandangan tentang Tuhan yang sekarang, tentu akan tidak sama dengan pandangan orang di masa depan tentang Tuhan. Tuhan pada saat ini masih diagung-agungkan oleh banyak orang, masih dipuji, disembah, dan banyak orang masih antusias pergi ke tempat ibadah. Tapi bagaimana dengan Tuhan di masa depan, apakah sama seperti pada saat ini, ataukah Tuhan di masa depan hanya sebuah nama dan simbol yang tidak pernah dihiraukan? Tuhan di masa depan adalah Tuhan yang masih dipertanyakan. Inilah suatu dampak dari pengetahuan manusia yang kontradiksi dari moderennya dunia.

 

 

Pengetahuan Manusia

Apa itu pengetahuan? Pengetahuan ialah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu. Hasil dari pekerjaan tahu itu ialah hasil dari kenal, sadar, mengerti, pandai dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa semua milik atau isi pikiran adalah pengetahuan. Manusia melihat, meraba, mencium, merasa, mendengar merupakan proses pemikiran langsung menjadi pengetahuan yang diistilahkan dengan pengetahuan inderawi. Pengetahuan yang dimiliki manusia dibagi menjadi dua jenis yakni pengetahuan yang berasal dari manusia sendiri, dan pengetahuan yang berasal dari luar manusia. Pengetahuan dari luar manusia dianggap atau dipercaya berasal dari pencipta manusia dan alam, orang beragama biasa menyebutnya Tuhan.

 Golongan manusia yang beraliran materialisme tidak mempercayai adanya jenis pengetahuan yang berasal dari luar manusia karena mereka tidak percaya adanya Tuhan. Pengetahuan dari luar manusia dapat juga dikatakan sebagai pengetahuan yang berasal dari yang Ilahi, yang dasarnya adalah keyakinan dan iman. Di samping pengetahuan manusia dan Tuhan, sesungguhnya masih ada pengetahuan yang lain, yakni pengetahuan mengenai agama. Pengetahuan ini berisikan pengetahuan Tuhan dan ulasan, keterangan, tafsiran manusia, perincian yang berasal dari pengetahuan manusia terhadap wahyu.[1]

Mengenai Tuhan, manusia pada zaman dahulu yang hidupnya masih primitif, sama sekali belum mengenal Tuhan. Namun mereka memiliki agama atau kepercayaan tersendiri (animisme) yang menyembah pohon besar, batu besar, atau dewa-dewa lain. Seiring berjalannya waktu, secara perlahan-lahan mereka kemudian mulai memperoleh pengetahuan mengenai agama dan yang lainnya. Pengetahuan tentang Tuhan yang mereka miliki adalah pengetahuan yang berasal dari orang-orang yang dengan berani mewartakan tentang Tuhan. Manusia-manusia yang hidup pada zaman dahulu kala tentu hanya menggunakan pengetahuan inderawi.

Pengetahuan inderawi adalah pengetahuan yang bertumpuh pada panca indera, bertumpu atas kegiatan otak, dari otak kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan inderawi, lapangannya adalah segala sesuatu yang dapat ditentukan oleh panca indera secara langsung misalnya merasa, melihat, mendengar dan sebagainya. Batasnya sampai kepada segala sesuatu yang tidak terungkap oleh panca-indera. Pengetahuan meliputi sepanjang yang dapat dijangkau oleh manusia dengan mata, telinga, hidung, meraba, merasa, lidah secara langsung tanpa alat bantuan. Dengan demikian kedudukkan pengetahuan sangat penting sekali bagi manusia sebagai mahluk peziarah dan yang terus berproses untuk terus menjadi.

Manusia, tahu mengenai air, pohon, matahari, bulan, panas, gelap, matahari timbul di sebelah timur, tenggelam di sebelah barat, semua itu adalah pengetahuan dan pengetahuan itu adalah pengetahuan indera. Sebagian besar pengetahuan manusia berasal dari pengalaman panca-indera. Ilmu bertugas untuk menjangkau apa yang ada di balik pengetahuan indera. Ketika panca indera sampai pada batas kemampuannya, ia minta bantuan kepada budi dan tangan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Budi berpikir atas data yang digali oleh tangan. Selama tangan dapat melakukan penelitian, selama itu pula ilmu dapat berbicara. Apabila terhadap pertanyaan yang timbul, tangan tak mampu mencarikan data untuk budi, maka ia serahkan kepada budi wewenang untuk menjawabnya sendiri.[2]

Banyak benda yang mengelilingi manusia, banyak peristiwa yang diamati dan dialami manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Apakah sesungguhnya masing-masing benda dan peristiwa-peristiwa itu, apa hakikatnya, apa maksud dan tujuannya, apakah itu baik, benar, indah? Tiap laku perbuatan manusia, tiap tindakan manusia mengandung nilai. Tidak habis-habisnya pertanyaan yang manusia ketahui dan yang tidak diketahui justru seringkali muncul dalam pikiran. Apakah pengetahuan itu benar atau salah? Manusia bebas beralaku begini, begitu, berbuat itu, ini. Semuanya bebas, tergantung bagaimana manusia melakukannya. Tidak ada gunanya budi manusia harus membatasi dirinya pada fakta aktual yakni peristiwa dalam pengalaman manusia sehari-hari.

Seringkali, pengetahuan akal budi dan pengetahuan panca-indera dipertentangkan oleh berbagai macam sebab. Pengalaman yang berdasarkan panca-indera digambarkan sebagai pengetahuan yang tidak menentu, menyesatkan bahkan manusia kadang-kadang melakukan tindakan yang baik dan jahat. Sedangkan pengetahuan yang berdasarkan akal budi, dihormati sebagai pengetahuan yang sejati. Mengetahui segala sesuatu dengan akal budi masih dianggap salah satu cara konkrit yang menghubungkan manusia dengan dunia yakni lewat panca-indera. Manusia belum mempunyai pengetahuan yang umum, seragam bisa dikatakan masih abstrak. Tetapi dalam setiap situasi tertentu, manusia mengetahui dunia sekitarnya dengan suatu cara tertentu pula.

Dalam perkembangan refleksi manusia mengenai pengetahuannya, kebersamaan antara manusia yang mengetahui sesuatu dan barang yang diketahuinya, sering putus. Manusia ingin mencapai pengetahuan yang bersifat umum dan yang berlaku di mana-mana dan kapan saja. Pengalaman tersebut hanya terbatas pada situasi-situasi konkret tertentu dan tak pernah menjadi suatu kaidah umum maupun suatu pengertian universal yang berlaku di mana-mana. Akal budi harus menyaring pengertian universal sehingga tidak terjadi suatu kontradiksi atau pertentangan dalam diri manusia yang dapat merusak apa yang ada di sekitarnya. Pengetahuan akal budi dilawankan dengan pengetahuan panca-indera.

Panca-indera menyajikan pengalaman dan observasi (meneliti, melihat dll). Sebetulnya dalam pengamatam secara inderawi telah dirangkum juga semacam pengeertian dan pemahaman lewat akal budi. Bila manusia melihat sebatang pohon, maka pengalaman tadi sudah berdasarkan proses pengenalan. Manusia memberi nama kepada binatang dan harus maklum akan sifat-sifatnaya (ganas, jinak, sopan dll). Dalam hal ini pengetahuan praktis dan intelek turut berperan. Biasanya akal budi ditafsirkan sebagai bakat pengetahuan aktif (akal budi dapat membuat abstrak, melihat adanya hubungan antara ini dan itu, pokonya selalu aktif). Sedangkan panca indera dianggap pasif, menerima saja kesan-kesan dari luar.

Mengamati dan mencatat sesuatu dengan panca-indera, sudah menunjukan adanya aktivitas. Bila manusia hidup dengan sadar, maka manusia selalu sadar akan sesuatu. manusia, maklum akan sesuatu objek (tahu bahwa ada sesuatu, manusia tahu dari mana datangnya, apakah itu dekat atau jauh, manusia maklum bahwa terjadi sesuatu, dan sebagainya). Emanuel Kant pernah mengatakan “das gewuhl der empfindungen” artinya campur baurnya pengalaman-pengalaman yang samar-samar. Pengalaman serupa ini takkan pernah terjadi karena selalu diangkat dan diolah oleh kesadaran bahwa manusia maklum akan sesuatu.

 

Perilaku Manusia (Baik, Benar, Jahat), Produk dari Pengetahuan

Dalam arus kehidupan sehari-hari, manusia dilingkari oleh aneka macam peristiwa yang langsung dialaminya seperti bangun tidur, bekerja, beristirahat dan sebagainya. Atau juga yang tidak langsung pun sampai kepadanya, namun juga dianggap biasa saja seprti misalnya, berita dalam surat kabar, televisi, radio mengenai suatu perkembangan zaman. Itulah peristiwa-peristiwa yang dialami manusia secara pasif bersama-sama dengan banyak orang lain yang dikenal atau pun yang tidak dikenalnya. Hanya kadang-kadang manusia mengalami sebuah situasi sebagai sesuatu yang unik, yang hanya penuh makna bagi dirinya sendiri walaupun juga dialami bersama-sama dengan orang lain seperti kelahiran, kematian, penderitaan dan sebagainya. Hanya peristiwa seperti itulah yang dialami sungguh-sungguh sebagai suatu kejadian dalam eksistensi pribadinya, sehingga lalu timbul pertanyaan-pertanyaan yang lain dari pada lain maupun pengertian yang serba baru dan semuanya itu tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai pengetahuan. Pengetahuan selalu membuat manusia menghasilkan sesuatu yang baru, baik dalam berperilaku maupun dalam tindakannya.

Dalam dunia yang semakin modern dan semakin memanjakan manusia ini, pengetahuan tak lepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Pengetahuan membuat manusia seringkali memunculkan macam-macam perilaku baik perilaku jahat maupun perilaku baik. Misalnya manusia zaman ini benar-benar dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi. Relasi antara sesama dalam kehidupan sehari-hari mulai pudar, orang-orang sibuk sendiri dengan dirinya dan tak jarang orang mengalami kecanduan. Apakah generasi-generasi seperti dapat menjamin masa depan yang kokoh? Apakah dengan kecanggihan teknologi manusia masih memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan?

Pengetahuan, perlu diakui dapat mengubah perilaku manusia. Peristiwa yang diakibatkan oleh perilaku orang-orang tak bertanggung jawab selalu menghiasi setiap media. Perang, kekerasan, terorisme merupakan salah satu bukti nyata bahwa pengetahuan, sungguh dapat mengubah manusia dalam bertindak. Dunia dan kehidupan yang semulanya aman, damai dan tenteram tiba-tiba menjadi ladang pembantaian, pertumpahan darah. Pengetahuan mengenai siapa aku dan siapa sesamku benar-benar tidak dimiliki oleh para pelaku kejahatan.

Tidak semua orang dalam kehidupannya sehari-hari menerapkan pengetahuan terhadap sesuatu yang benar. Pada hakikatnya manusia tidak memiliki keinginan untuk berbuat jahat, semua ingin melakukan kebaikan. Akan tetapi barkat pengetahuan yang diterimanya, ditambah pengalaman, kemudian pikirannya bisa berubah dari yang awalnya baik, tiba-tiba menjadi radikal dalam melakukan kejahatan. Sebenarnya, apabila manusia selalu berada pada posisi yang benar maka keindahanlah yang diperolehnya. Tapi keindahan itu tak selalu bertahan lama, dan manusia seringkali ingin bertindak lebih dari itu. orang yang melakukan kejahatan, menurutnya memang baik. Dia berfikir apabila mebunuh orang atas nama Tuhan, maka ia benar dan jika mati ia akan masuk surga. Tetapi tidak dengan pandangan orang lain yang tidak sepaham dengan pandangan mereka.

Negara-negara Timur Tengah salah satu contoh Negara yang tidak pernah damai, Negara yang terus mengalami pertumpahan darah. Pertumpahan darah yang disebabkan karena orang-orangnya berbeda pandangan, mengklaim bahwa Tuhan yang paling benar adalah Tuhanku bukan Tuhnnya, menjadikan dirinya sebagai Tuhan dengan aliran-aliran yang menyimpang dari aliran sentralnya. Tindakan-tindakan seperti ini adalah tindakan yang benar-benar salah di hadapan Tuhan. Tuhan tidak pernah menjadikan dunia untuk dijadikan medan pertumpahan darah, tetapi medan untuk hidup yang dipenuhi dengan kedamaian,dan toleransi.

Negara-negara yang tingkat konfliknya tinggi, selalu merindukan kedamaian. Namun kedamaian itu bagaikan sebuah mimpi yang tidak pernah terwujud. Mereka pun bingung, Tuhan mana yang harus dipuji dan disembah dimanakah Tuhanku berada. Kekerasan seolah-olah telah menjadi kultur yang tidak bisa  hilang. Kekerasan tidak lagi dianggap sebagai itu yang buruk. kekerasan tidak sama dengan keburukan, demikian keyakinan para provokator kekerasan. Hidup seolah-olah merupakan kekerasan itu sendiri. Dari mana asal usul kekerasan? Ada yang berkata dari kehendak bebas. Ada yang berkata dari ideologi dan agama (akhir-akhir ini). ada lagi, itu berasal dari kegilaan manusia dan ketidaktahuan akan kebenaran.[3] Kurangmya pengetahuan mengenai kebenaran, kebaikan, keindahan, Tuhan. salah satu penyebab munculnya kekerasan.

 

Dewasa ini, kekerasan tidak lagi disimak sebagai perbuatan orang perorang kepada orang lain. kekerasan telah menjadi kebudayaan baru. Karena kekerasan sebuah kultur, terdapat semacam kesadarn komunal dari societas kekerasan merupakan sesuatu yang wajar dan biasa. Atau yang lebih runyam lagi, kekerasan konon mulai menjadi seolah “keharusan” atau condition sine quo non (syarat yang tidak bisa tidak) bagi tatanan hidup bersama. Kultur kekerasan merebak secara mudah. Damai jauh lebih sulit ketimbang menyiram kahidupan dengan bensin lantas menyalutnya menjadi kobaran kekerasan. Manusia memang lebih mudah melakukan kekerasan daripada merajut damai.[4]

 

Manusia, bukan hanya sebagai pelaku tindakkan tapi harus memiliki kesadaran akan pencarian kebenaran. Dalam bahasa Thomas Aquinas “manusia adalah pencarian kebenaran. Dia adalah pengembara di dunia untuk menggapai apa yang paling dirindukannya, yaitu kebenaran”.[5] Dari kesadaran sebagai pengembara pada wilayah kebenaran tanpa batas, dapat disimpulkan bahwa manusia bukanlah makhluk manipulatif, koruptif, berperilaku yang bukan-bukan. Manusia selalu berusaha untuk baik terkadang pengetahuan yang diterimanya yang kadang-kadang membuat ia menyimpang dari kebenaran atau kebaikan

 

Manusia Peziarah Manusia yang Menjadi

Apakah manusia itu? manusia ialah makhluk yang dibedakan dari makhluk yang lain. Perbedaannya terletak sangat jelas bahwa manusia memiliki akal budi dibandingkan dengaan makhluk lainnya. Akal budi yang ada pada manusia termasuk daya bagi manusia untuk mengaktualisasikan hidupnya sebagai peziarah. Dalam peziarahannya kemudian ia berpotensi menjadi, misalnya saya berptensi menjadi pastor, ketua DPR, guru, mahasiswa, pemain sepak bila dll. Manusia selalu merindukan yang lebih bahkan yang berada di luar jangkauannya sekali pun. Manusia adalah dia yang mencari, mengejar, menyerahkan diri, bermimpi dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri.[6]

Di dalam kehidupannya sehari-hari adanya manusia seringkali menimbulkan masalah. Manusia kurang memiliki kesadaran bahwa di luar dirinya masih terdapat manusia-manusia yang lain yang tidak merupakan hasil khayalannya, abstark tapi realitas. Adanya sesama manusia berarti, bahwa aku sebetulnya belum mengenal aku sendiri secara tepat, aku harus selalu mencari sikap hidup yang tepat agar dalam pertemuan dengan sesame, aku dapat bertanya-tanya dengan lebih mendalam, siapakah aku sendiri, dan apakah tujuan hidupku sebagai makhluk peziarah.

 

Aku sebagai makhluk peziarah, bukan berarti aku menyangkal secara total adanya sesama manusia. Tetapi aku mengadakan komunikasi yang intens, mau mengadakan kontak yang mengandaikan aku peduli dan aku ada dengan sesama manusia yang lain. sehingga aku tidak perlu bertanya-tanya apakah sesamaku hanya khayalanku, sehingga aku seolah hidup sendiri, dan bebas menguasai segalanya? Berbicara mengenai manusia berarti berbicara mengenai hidup dan peranan eksistensinya yang selalu aktual. Sebab selain manusia itu sendiri selalu menjadi pokok permasalahan, seperti yang sudah disinggung di atas, dapat juga dilihat bahwa peristiwa besar apa pun yang terjadi di dunia, masalah apa pun yang harus dipecahkan di bumi, pada intinya dan akhirnya bertautan juga dengan manusia sebagai makhluk peziarah.

Sebagai makhluk peziarah manusia terus berhadapan dengan realitas yang selalu baru dalam kehidupan yang kemudian menuntut manusia agar bersikap bijaksana. Misalnya, keluarga berencana berusaha membatasi lajunya pertambahan manusia, kemajuan teknologi, tersedianya berbagai macam alat canggih yang dapat mempermudah manusia, bahkan perang pun dengan persenjataan mutakhir pada dasarnya adalah perwujudan pergaulan konfrontatif antara manusia yang ingin menang dan menjadi penguasa. Benar-benar sebuah kontradiksi antara kehadiran dan tujuannya manusia di dunia ini. Hal ini menurut Karl Jasper dalam ceramahnya wahrheit und wissenchaft menimbulkan bahaya fragmentasi, di mana manusia bukan l;agi diterima sebagai pribadi seperti adanya, melainkan dipreteli menjadi salah satu bagian dari padanya. Suatu reduksi kepada suatu elemen yang taktis belaka.[7]

Manusia dalam peziarahan yang terus berusaha menjadi, bukan hanya soal material yang membentuk badan manusia, melainkan mengungkapkan keseluruhan hidupnya, arti dan dan makna eksistensinya sebagai seorang pribadi. Manusia mempunyai kehidupan biologis. Jadi bukan bagaimana manusia terjadi, tetapi apakah dan siapakah ia sebenarnya. Masalah yang dihadapi mengenai manusia dalam kehidupan sehari-hari ialah mencari wajah yang sebenarnya dan seutuhnya tentang manusia. Oleh karena itu titik tolak yang harus diambil bukanlah hasil suatu interpretasi seseorang tentang manusia, tetapi manusia dalam kewajaran serta keaslian hidupnya, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil.

 

Soren Kierkegaard dalam karyanya yang berjudul Either/or, di mana pandangan bahwa baginya manusia wajar adalah manusia konkret, seprti yang kita saksikan dalam kehidupan sehhari-hari. Oleh karena itu manusia yang demikian harus disaksikan dan dihayati.: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, semakin bermaknalah kejidupannya. Demikian dalam konteks kehidupan yang rill, akan terungkap pula  kenyataan manusia individual yang tidak dapat dipukul rata begitu saja dalam rumusan-rumusan umum, atau pun kenyataan manusia subjektif yang memiliki harkat dan martabatnya yang tinggi dan oleh karena itu menunjukkan dan mempertahankan otensitas pribadinya.[8]

 

Sebagai makhluk alamiah, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Manusia membutuhkan apa yang disebut sandang, pangan, papan. Semua kebutuhan yang diperlukan manusia semata-mata hanya untuk menunjang kehidupannya. Bila kebutuhan di atas tidak terpenuhi, maka manusia tidak bisa apa-apa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh fisik dan rohani. Kebutuhan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai. Artinya untuk memenuhi segala kebutuhan itu, manusia harus bekerja dan bekerja. Namun perlu diketahui bahwa kebutuhan dan kerja sebagai usaha pemenuhan kebutuhan itu tidak hanya terarah kepada hal-hal yang materil belaka. Kenyataan menunjukan bahwa manusia membutuhkan dan berkarya secara rohani pula seperti belajar, berdoa, merenung dll.

 

Soren Kierkegaard menyatakan bahwa hidup manusia tiga taraf yaitu estetis, etis dan religius. Dengan kehidupan estetis, manusia mampu menangkap dunia sekitarnya sebagai dunia yang mengagumkannya dan mengungkapkan kembali dalam lukisan yang indah. Dengan kehidupan etis, manusia meningkatkan kehidupan estetis ke dalam tingkatan manusiawi dalam bentuk-bentuk keputusan yang bebas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian hidup manusia mendapatkan kwalitasnya. Hidup manusia bukanlah sekedar menarik beban dari waktu ke waktu, tetapi dengan sadar diusahakan mengarah kepada tujuan. Dengan kehidupan religius, manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan dan dialog yang sejati. Kepercayaan terhadap Tuhan merupakan suatu tindakan  transcendental di mana manusia menyadari dirinya sebagai peribadi yang integral. Semakin dekat seseorang demgam Tuhan, semakin dekat ia menuju kesempurnaan dan berarti semakin jauh ia dilepaskan dari rasa kekuatiran.[9]

 

Tuhan di masa depan

Apakah Tuhan masih memiliki masa depan dalam kehidupan manusia? Apakah Tuhan akan mati dalam kehidupan manusia di masa depan? Tuhan yang ada dalam pandangan manusia saat ini tentu akan berbeda dengan pandangan orang tentang Tuhan di masa depan. Kepintaran manusia, moderennya dunia, kejahatan, perang merupakan salah satu penyebabnya. Seiring berkembangnya zaman, dimana dunia seolah-olah dikuasai oleh berbagai model kecanggihan teknologi yang membuat manusia semakin dipermanja dalam kehidupannya sehari-hari, maka perilaku-perilaku dan cara pandang manusia mengenai sesuatu pun ikut berubah. Kecanggihan dunia teknologi bukan saja membuat manusia manja, hidup serba instan, melainkan juga membuat manusia kehilangan identitas dirinya, pekerjaan, dan relasi. relasi antara manusia dan Tuhan pun semakin surut. Tuhan hanya sebatas nama, Tuhan tidak memberikan apa-apa terhadap manusia, begitulah cara pandang-orang-orang yang sudah menyimpang dari Tuhan maka Tuhan pun dipertanyakan.

Dunia tidak dijadikan Tuhan dengan niscaya atau keharusan, dengan tak dapat tidak. Seandainya alam semesta mengalir keluar dari hakikat Allah dengan tak dapat tidak, maka tiada perbedaan hakiki antara Allah dan dunia. Akan tetapi dengan istilah transendensi Allah, justru mau ditekankan bahwa keaktifan pencipta itu bebas, sehingga terdapat semacam jarak antara pencipta dan alam ciptaan. Akan tetapi jarak ini bukanlah jarak material atau jasmani melainkan rohani yang berarti bahwa antara Tuhan dan makhluk terdapat perbedaan, dan perbedaan itu bersifat hakiki, namun ada relasi.

Sejumlah ahli filsafat maupun teologi khususnya di Amerika, pada abad enampuluhan, memberi julukkan “God is dead”-movement. Pengaruh mereka paling terasa. Tokoh-tokonya ialah ALTIZER, HAMILTON, VAN BUREN, VAUGHANIAN dan karangan uskup anglikan John A.T. ROBINSON. Mereka dipengaruhi oleh gerakan “Allah telah mati”[10]. Tuhan dalam pandangan manusia selalu tidak tetap atau berubah-ubah. Ada yang mengatakan, Tuhan itu baik, ada yang mengatakan Tuhan itu Jahat dan masi banyak lagi. Tidak semua manusia memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan, bahkan tidak percaya Tuhan (ateis). Semua manusia tentu tidak ingin menjadi orang ateis. Tapi kenyataanya, bahwa banyak manusia di negara-negara di dunia ini yang tidak lagi mengakui adanya Tuhan, terlihat seperti ateis. Tempat-tempat ibadah yang seharusnya digunakan untuk memuji Tuhan, justru dialihfungsikan menjadi hotel, museum, rumah sakit dsb. Tuhan seringkali sulit dipahami oleh manusia karena Allah atau Tuhan bersifat transendental.

Altizer berpendapat bahwa ide tentang Allah yang transenden itu harus kita lepaskan seluruhnya. Pendirian ini dipertanggungjawabkannya dengan mengatakan bahwa karena penjelmaan Firman Allah menjadi manusia, maka Allah sendiri telah melepaskan transendensi-Nya. Pada hemat Altizer terdapat perbedaan fundamental antara Allah pernjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. Yang pertama itu jauh dari manusia, jauh mengatasinya, maka “transcendent” tetapi yang terakhir itu tidak lagi demikian. Ia sudah memasuki sejarah umat manusia. Justru demi untuk memasuki sejarah dan untuk menjadi manusia bersama dengan manusia, maka Allah telah meninggalkan kejauhan serta transendensi-Nya. Menurut Altizer, orang baru sungguh-sungguh menerima penjelmaan apabila memandangnya begitu. Akan tetapi argument teologis ini mempunyai latar belakang filosofis, yaitu keprihatinan supaya kepada eksistensi manusia diberi nilainya yuang penuh. Dalam kepenuhannya, keberadaan manusiawi tak dapat diperdamaikan dengan transendensi Allah[11]

Apakah Allah telah mati? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung bagaimana seseorang itu beriman. Melawan gerakan Allah telah mati, perlu dipertahankan bahwa Allah sekaligus transenden dan imanen. Setiap saat Allah menjadikan seluruh tata-ada. Maka ia tidak berada di luar “apa-yang-ada”, melainkan ia berada di dalam. Caranya Allah berada di dalam “apa-yang-ada” yaitu dengan setiap saat meng-alas-inya karena kausalitas-Nya yang transcendental. Dalam seluruh keberadaanku, aku tergantung pada kausalitas kreatif itu. Allah adalah dasar atau alasan kemungkinan tingkah laku dan pengetahuanku. Allah lebih menjadi diriku sendiri dari pada aku menjadi diriku sendiri, sebab Ia membuat pada setiap saat, bahwa aku menjadi diriku sendiri.

Lantas bagaimana dengan Tuhan di masa depan? Apakah Tuhan akan mati di masa depan? Tuhan di masa depan adalah Tuhan yang masih dipertanyakan. Manusia saat ini tidak tahu bagaimana orang-orang di masa depan memperlakukan dan menafsirkan Tuhan. Bisa jadi orang memperlakukan Tuhan di masa depan lebih radikal (pujian, sembah, hormat) dibandingkan sekarang atau bisa juga sebaliknya mungkin juga manusia masa depan berpendapat yang lebih radikal yakni “Allah telah mati”. Allah telah mati artinya Allah yang tidak pernah terlibat dalam kehidupan manusia, Allah yang tidak berbelaskasih. Misalnya bencana Alam. Tak jarang manusia menganggap itu sebagai ganjaran dari Allah, dan manusia memohon, mengeluh agar bencana tidak terjadi. Berbeda halnya dalam pandangan ilmu pengetahuan, bencana dilihat sebagai fenomena alam. Jadi tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Antara iman dan pengetahuan kadang-kadang terjadi suatu kontradiksi, misalnya konsep manusia dalam Kitab Suci dan pandangan Darwin, atau pandangan Gereja dan pandangan Copenikus mengenai bumi dan matahari.

Peristiwa perang di negara-negara Timur Tengah saat ini, tak lain adalah karena orang-orangnya kurang menyadari mengenai siapakah dia sebagai ciptaan, dan siapakah yang menciptakan dia.  Orang mungkin berpendapat bahwa itu adalah ganjaran dari Tuhan, ada yang lain lagi, itu penyebab dari perkembangan ilmu pengetahuan yang menciptakan perilaku manusia yang bukan-bukan. Dan yang paling radikal, justru para pelaku kejahatan mengatasnamakn Tuhan dalam berperang.

Mereka melakukan dengan dalil, bahwa dengan membunuh orang, mereka akan masuk surga, sudah berada pada jalan yang benar. Apakah memang Tuhan yang sesungguhnya itu jahat? Bukankah Tuhan itu baik? Suatu kesadaran harus diperlukan dalam setiap diri manusia, agar apa yang dipandangnya tidak selalu kontradiksi dengan pandangan orang lain. Dunia akan terasa aman, damai, indah apabila manusia juga paham, mengerti, mengenai siapa sebenarnya yang mengadakan semuanya. Bukan mengadakan perang, terorisme. Jika pandangan manusia selalu jahat, lantas bagaimana pandangan terhadap Tuhan, dan bagaimana menempatkon Tuhan yang benar dalam kehidupannya, kembali ke setiap pribadi manusia, itulah salah satu jalan yang bisa menyelesaikan persolan, dan bersikap bijak terhadap setiap perubahan zaman.

 

DaftarPustaka

RiyantoArmada, MENJADI MENCINTAI BerfilsafatTeologisSehari-hari, Yogyakarta: PT KANISISUS, 2013

-------Diktat Metafisika, Sekolah Tinggi F.T.W.S. Malang

Bertens K. danSoejantoPoespowardojo, SEKITAR MANUSIA BUNGA RAMPAI TENTANG FILSAFAT MANUSIA, Jakarta: PtGramedia, 1977

GazalbaSidi, SISTEMATIKA FILSAFAT PengantarKepadaDuniaFilsafat, Jakarta: P.T BulanBintang, 1973

SyukurDisterNico, FILSAFAT KEBEBASAN, Yogyakarta: PenerbitKanisius, 1988

 

 

[1] Sidi Gazalba, SISTEMATIKA FILSAFAT Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1973, Hlm 4-5

[2] Ibid., hlm 5

[3] Armada Riyanto, MENJADI MENCINTAI Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: PT KANISISUS, 2013, hlm, 99

[4] Ibid ., hlm 94

[5], Armada Riyanto, Diktat Metafisika, Sekolah Tinggi F.T.W.S. Malang, hlm.2

[6] MENJADI MENCINTAI, Op. Cit., hlm.9

[7] Soejanto Poespowardojo dan K. Bertens, SEKITAR MANUSIA BUNGA RAMPAI TENTANG FILSAFAT MANUSIA, Jakarta: Pt Gramedia, 1977, hlm 2

[8] Ibid.,hlm 3

[9] Ibid., hlm 6

[10] Nico Syukur Dister, FILSAFAT KEBEBASAN, Yogyakarta: Penerbit  Kanisius, 1988, hlm, 26

[11] Ibid., hlm 26

Kasih adalah ungkapan atau tindakan dimana orang mengutarakannya kepada orang lain. Kasih menjadikan sahabat, kasih menjadikan saudara, kasih menyelamatkan. Manusia diselamatkan dari dosa karena kasih Allah. Yesus mengajar banyak hal kepada semua orang supaya saling mengasihi karena Dia adalah Sang kasih itu sendiri. Yesus menyembuhkan orang sakit, mengampuni orang berdosa dengan kuasa dan kasih-Nya. Seperti Allah yang menciptakan Dunia dengan kuasa dan kasih-Nya pula. Kasih Yesus mengalir kepada umat manusia seperti air yang menyegarkan, membersihkan dan menghidupka. Yesus mengajak kita untuk mengasihi sesama bahkan musuh kita sekalipun, kasih yang kita berikan kepada sesama tidaklah seberapa bila dibandingkan dengan kasih Yesus itu sendiri. Ia berani berkorban sampai mati di kayu salib demi menyelamatkan manusia yang sombong, serakah, angkuh (manusia yang penuh dengan dosa).

            Kasih Yesus tidak diperhitungkan untuk siapa, Ia mengasihi semua umat manusia baik orang benar maupun orang jahat. Tindakan Yesus inilah yang harus kita teladani. Ungkapan Yesus mengasihi musuh-Nya ketika Ia disalibkan di bukit Kalvari “ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”. Bagi umat manusia ungkapan Yesus ini sulit untuk dilaksanakan, dan dari situ akan muncul pertanyaan. Mengapa harus mengasihi musuh yang telah berbuat jahat terhadap kita? Mengapa kita tidak membalas kejahatannya? Inilah pikiran-pikiran manusia yang rapuh yang hanya menginginkan timbal balik terhadap sesama yang telah melakukan sesuatu terhadapnya. Oleh sebab itu untuk mengampuni orang yang telah berbuat salah terhadap kita dibutuhkan kerendahan hati. Hanya orang rendah hatilah yang mampu memaafkan.

            Dengan kerendahan hati orang mampu pemposisikan dirinya dengan siapapun  dimana ia berada dan dari situ akan mucul pula kasih, karena kasih itu membangun dan mempereratkan persaudaraan, sedangkan kebencian itu bisa membawa ke dalam jurang emosi dan akan terjadi kehancuran dalam hubugan dengan sesama. Kini kita ketahui bahwa kasih Yesus membawa kita menuju keselamatan, jika kita dilanda beban, derita, dan ketidakberdayaan. Dengan penuh iman kita menyongsong Yesus yang mengundang kita untuk datang kepada-Nya, supaya memperoleh kelegahan serta penyegaran dari-Nya. Oleh karena itu jamalah Dia dengan iman dan kepasrahan serta rasahkan kuasa kasih-Nya yang selalu ada dalam hidup kita.

            Masihkah kita lari dari kasih-Nya yang menjadikan sumber kekuatan hidup kita? Masikah kita mengandalkan sesuatu, selain Dia yang mengorbankan diri-Nya demi untuk menyelamatkan kita? Perlu disadari bahwa kita sering tergoda untuk mencari keselamatan duniawi, ternyata tidak ada kuasa dan kasih yang melebihi Yesus, yang mampu memberikan keselamatan jiwa dan raga sampai kekal. Kini kita kembali kepada-Nya, menyongsong kehadiran-Nya, dan membiarkan kasih serta kuasa-Nya menjama hidup kita setiap saat.

 

 

SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU BERADA DALAM HATI KITA..

SALAM PASSIO...!!

Mengasihi merupakan sebuah  kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dipraktekan. Semua orang bisa mengatakan kasih terhadap sesamanya namun tidak semua mampu mengaplikasikan kasih dalam kehidupan nyata. Mengasihi erat kaitannya dengan mencintai namun mengasihi memiliki artian yang lebih khusus. Kemampuan seseorang dalam mengasihi dapat dilihat dari ketulusan hatinya, dari situlah mengasihi menjadi sesuatu yang harus ditegakan. Seseorang dikatakan mengasihi bila ia memberi diri seutuhnya dengan semua orang yang membutuhkannya tanpa mempertimbangkan dan memandang bulu. Mengasihi tidak serta merta hanya untuk kelompok atau orang yang dianggap memiliki kontribusi, tetapi mengasihi harus bersifat menyeluruh.

Sebagai orang yang beriman akan Kristus mengasihi merupakan ajaran yang harus diwujudnyatakan dalam perkataan maupun tindakan. Mengasihi Yesus melebihi segala sesuatu merupakan cita-cita semua umat beriman. Mencapai kehidupan yang sempurna perlu adanya  perjuangan yang panjang. Yesus mengatakan bahwa barang siapa mengasihi segala sesuatu yang bersifat duniawi melebihi diri-Nya, ia tidak layak menjadi murid-Nya.

 Perlu dipahami bahwa perkataan yesus bukan untuk melarang manusia mengasihi sesamanya, melainkan mengasihi Yesus harus menjadi prioritas utama karena mengasihi sesama bersifat sementara. Perkataaan Yesus juga bukan untuk meniadakan kasih akan sesama tetapi lebih kepada praktek dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dalam praktek manusia harus menunjukan kasih yang melambangkan kasih Yesus. Bagi Yesus mengasihi diri-Nya membutuhkan pengorbanan, manusia dituntut untuk melepaskan kelekatan-kelekatan duniawi yang menjadi penghambat dalam mengasihi diri-Nya. Barang siapa mau mengikuti Yesus harus menanggung resiko yang akan dihadapi. Syarat utama yang harus di terima sebagai pengikut Yesus ialah salib. Salib Yesus merupakan lambang bahwa Ia mengasihi manusia.

Yesus rela dihina, dicaci maki bahkan sampai di kayu salib demi kasihNya kepada manusia dan ketaatan kepada Bapa. Pengurbanan Yesus merupakan bukti nyata bahwa Ia mengasihi manusia. Sebaliknya harus ada timbal balik dari manusia. Mengasihi Yesus harus berani meninggalkan segala-galanya, berani kehilangan nyawa. Menjadi murid yang sejati membutuhkan komitmen, harus memiliki iman yang kuat  dalam mengasihi Yesus. Hendaknya  mengasihi Yesus dengan kesungguhan hati berani ambil bagian dalam penderitaan-Nya, menjadikan penderitaan Yesus sebagai jembatan dalam mengasihi.       

 

 

SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU BERADA DALAM HATI KITA..

SALAM PASSIO...!!

Kasih merupakan suatu ungkapan perasaan yang bersifat mutlak dalam menjalin hubungan kekeluargan, persahabatan, dan persudaraan. Kasih adalah sarana untuk turut hadir dalam berelasi di dalam satu ruang lingkup hidup. Kasih itu mengalir dari Sang Sahabat kemudian beredar dalam kepribadian kita masing-masing.

 

            Perziarahan hidup kita sebagai manusia merupakan sapaan kasih dari Sang Sahabat. Sungguh, betapa besar kasih Sang Sahabat kepada kita manusia. Kasih-Nya tidak terbatas dan juga tidak memilih-milih siapa orang yang dikasihi-Nya. Sang Sahabat menyapa bukan hanya kepada orang-orang sukses dan saleh tetapi Sang Sahabat menyapa pada semua manusia di kolong langit ini entah yang tertidas, miskin dan yang sakit atau apa pun situasi dan keadaannya.

 

Lantas, apa tanggapan kita manusia atas kasih Sang Sahabat? Apakah kita menghiraukanNya dan menghidar dari sapaan itu? Bukannya menghakimi sifat, tetapi realitas berbicara bahwa kita sering menyimpang dari pada-Nya. Itulah kita manusia. Kita memonopoli dan menguasai hal-hal duniawi sampai-sampai mengabaikan sapaan kasih-Nya. Tidaklah heran kalau kita sering salah menilai dan terperangkap pada sapaan yang salah. Kita kerapkali tidak menyadari bahwa Sang Sahabat menyapa kita melalui hal-hal yang paling kecil bahkan yang paling luar biasa dalam hidup kita. Tergantungnya Ia di kayu salib demi menebus kita manusia dari belenggu dosa adalah sapaan kasih yang tak ternilai.

 Di Kalvari, dari atas Kayu Salib Sang Sahabat menyapa kita untuk bertobat. Salib adalah bukti terbesar ketaatan-Nya terhadap Bapa-Nya dan kasih-Nya kepada kita manusia. Sumber kasih ada pada Sang Sahabat. Belajarlah dari Sang Sahabat. Dia setia memberi kasih-Nya kepada kita yang selalu membutuhkan dan memenuhi kekurangan kita manusia. Tidak ada yang lebih indah dari pada kasih Sang Sahabat.

            Kasih itu menyapa dan disapa.                            

             Kasih itu memberi dan diberi.               

           Kasih itu mengenal dan dikenal.            

              Kasih itu merasakan dan dirasakan.         

         Kasih itu menyatu dan disatukan.              

          Kasih itu meresapi dan diresapi.                                                                                         

    Kasih itu menghayati dan dihayati.

Hadirkanlah kasih itu di dalam hati kita masing-masing, agar kita memperlakukan kasih kepada Sang Sahabat dan kepada sesama kita dengan sepenuh hati.

 

 

SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU BERADA DALAM HATI KITA.

SALAM PASSIO..!

Kehidupan kristiani haruslah dilandasi oleh fondasi iman yang kokoh. Fondasi tersebut dapat dilihat dari cara seorang dalam mengahayati dan menjalankan nasehat-nasehat ijili yang merupakan bentuk nyata ungkapan cinta kasihnya kepada Tuhan. Dalam menjalankan nasehat-nasehat injil, tidaklah semudah membalikan telapak tangan, tetapi dalam menjalanknya, harus ada tindakan konkret yang mencerminkan identitas kristiani, yang selalu mengutamakan cinta kasih melebihi segala sesuatu, baik dalam pekerjaan maupun dalam relasi dengan sesama kristiani dan non-kristiani.

Berperilaku dan bertutur kata yang baik, sangatlah penting untuk diingat oleh seorang pengikut Kristus. Dengan demikian, iman seorang kristiani benar-benar nyata dalam kehidupannya dan bukan hanya sekedar kata-kata manis yang diucapkan dengan seenaknya, tetapi wujud kokret yang disikapi dalam memenuhi keutamaan kristiani terkait dengan hukum cinta kasih yang menjadi hal yang fundamentalis. Pertanyaan ialah Sudahkah kita mengaplikasihkan semua itu kepada Tuhan? Seorang kristiani yang sadar akan imannya, pastilah selalu mengutamakan cinta kasih yang tulus kepada Tuhan dan sesama, sebagai perwujudan imannya akan Tuhan yang adalah kasih.

Cinta kasih Tuhan secara eksplisit sudah tercermin secara jelas dan nyata dalam kurban kudusYesus Kristus di kayu salib. Ia berkurban untuk mengangkat manusia yang telah jatuh dalam lumpur kedosaan akibat kelemahan yang manusia miliki. Akibat jatuhnya manusia ke dalam dosa, membuat relasi antara Allah dan manusia terputus. Manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling luhur telah jatuh kedalam dosa, oleh karena itu Allah mengutus Putera-Nya yang Tunggal ke dunia untuk menarik kembali manusia yang telah diperhambakan oleh dosa. Dosa yang dimaksudkan di sini adalah kelemahan manusia yang tidak mau mendengarkan dan bahkan mengabaikan perintah Tuhan.

Cinta kasih-Nya yang amat besar  telah dilimpahkan-Nya dalam kurban Ekaristi Kudus. Perayaan Ekaristi merupakan sebuah perayaan iman untuk mengenangkan misteri cinta kasih Tuhan yang amat agung. Kurban Ekaristi kudus juga, menjadi puncak dari perayaan iman umat kristiani. Pada kesempat inilah umat diajak untuk merayakan dan mengenangkan misteri penyelamatan Tuhan itu sendiri. Misteri penyelamatan yang tertuang dalam perayaan Ekaristi, haruslah benar-benar dihayati oleh semua pengikut Kristus dalam kurban Ekaristi kudus, Yesus Kristus menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus umat manusia dari belenggu dosa yang merusak hubungan antara Allah dan manusia.

Perayaan Ekaristi haruslah dihormati dan dihargai sebagai bagian integral dan utuh dalam kehidupan Kristiani. Perayaan Ekaristi haruslah diikuti dengan penuh hikmat dan sungguh-sungguh,karena perayaan tersebut merupakan puncak dari imannya kepada Tuhan,jadi perayaan Ekaristi harus dirayakan dengan hati dan pikiran yang selalu terarah  kepada Tuhan. Bagi seorang Religius perayaan Ekaristi merupakan sebuah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi dan dihayati dengan tulus. 

Kesadaran akan kebutuan rohani haruslah ditanamkan dalam hati seorang religius, disini dibutuhkan kesadaran yang tulus dari para religius untuk mengikuti perayaan Ekaristi secara sunggguh-sungguh dan bukan hanya memandang perayaan Ekaristi sebagai Formalitas belaka, demi mengikuti Jadwal komunitas yang telah ditetetapkan. Tetapi para religius harus memandang perayaan Ekaristi sebagai nafas hidup yang menjadi kebutuhan dasar dalam hidupnya.

Melalui perayaan Ekaristi para religius diajak untuk mengenangkan dan meghayati imannya akan Yesus kristus. Dalam kurban Ekaristi Allah telah menunjukan cinta-Nya yang amat besar kepada umat manusia. Ia rela menjadi “kurban kudus” untuk mendamaikan Allah dan manusia,oleh karena itu kita harus mampu mencintaiTuhan dalam segala keterbatasan yang kita miliki.

Pertanyaan refleksi: Sudahkah kita mencintai Allah melebihi segala sesuatu yang kita miliki?

 

SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU BERADA DALAM HATI KITA..

SALAM PASSIO....!

Sahabatku, pernahkah kalian mendengar salah satu ungkapan klasik mengenai Maria yang berbunyi; per Mariam ad Jesum? Syukurlah jika pernah! Namun jika belum, dalam artikel ini sahabat diajak untuk tidak hanya mendengar dan membaca ungkapan klasik itu, tetapi juga diajak untuk mengerti makna yang tersembunyi di baliknya. Banyak teolog dan para pemikir besar Gereja, baik pada abad pertama (seperti Yohanes Krisostomus[1], Origenes, Ignatius Antiokhia dan para bapa Kapadokia), abad pertengahan (seperti Agustinus dan Thomas Aquinas), maupun pada abad modern (seperti Karl Rahner, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI), mengakui bahwa berbicara tentang Bunda Maria, tidak pernah cukup, tidak pernah tuntas dan tidak pernah habis-habisnya (De Maria numquam satis). Peranan Maria dalam kehidupan Gereja tetap aktual untuk direfleksikan, guna menanggapi situasi zaman yang di nominasi oleh tawaran akan revolusi radikal di berbagai aspek kehidupan manusia. Sejak Sang Sabda menjelma menjadi manusia dalam rahim Perawan Maria (Luk

1:26-38), Misteri ilahi keselamatan itu diwahyukan kepada kita, yang oleh Tuhan dijadikan TubuhNya melalui Maria yang mulia dan tetap Perawan, Bunda Allah serta Tuhan kita Yesus Kristus. Mengenal sosok Bunda Maria dalam sejarah keselamatan, berarti “mengamini” keselamatan kita dalam Kristus.  Dari Maria kita sampai kepada Yesus (per Mariam ad Jesum). 

 

A. Pola Kepengantaraan Maria dalam Lumen Gentium Bab VIII

Melalui Lumen Gentium[2] bab VIII, Konsili Vatikan II secara khusus hendak menampilkan posisi

Maria dalam tata keselamatan manusia melalui peristiwa agung inkarnasi (Allah menjadi manusia). Allah telah mengaruniakan  kepada kita segala berkat rohani di surga dalam Kristus Yesus (Ef 1:3). Ia dikandung oleh seorang perawan dari Nazaret dan dengan kehadiran misteri agung ini, dimulailah sejarah baru yakni sejarah penyelamatan dan keselamatan manusia. Bagaimana Gereja melihat relasi inkarnasi dengan peran Maria dalam keselamatan? Gereja memandang posisi Maria dalam tata keselamatan melalui dua pandangan[3] (dalam diagram) berikut:

Gambar I menunjukkan pandangan kebanyakan orang Katolik pada tahun-tahun pra-Konsili Vatikan II atau setidak-tidaknya pandangan ini lebih banyak dianut oleh para teolog maksimalis. Maria secara penuh bersatu dengan Kristus Putranya. Kesatuan Maria dengan Gereja dalam ketergantungan dengan Kristus tidak menembus sungguh-sungguh atau tidak mencapai kepenuhan, meskipun itu dapat dan mungkin terjadi. Gelar Maria yang ditunjukkan dalam diagram I ialah; Mediatrix  omnis Gartiae (Maria Pengantara segala Rahmat). Sedangkan dalam gambar II, Maria dipandang sebagai anggota Gereja secara penuh. Karena ia bersatu dengan anggota Gereja lainnya, Maria pun membutuhkan rahmat penebusan Kristus. Maria ditampilkan sebagai manusia yang turut tersengat oleh kuasa dosa. Gelar yang digunakan untuk memperlihatkan situasi dan posisi Maria dalam gambar ini ialah; Mater Ecclesiae (Maria Bunda Gereja)[4]. Maria sungguh-sungguh hadir sebagai bunda dalam hidup dan peziarahannya Gereja di dunia ini menuju “tanah terjanji”.  

Dalam artikel 54 Bunda Maria ditampilkan sebagai seorang ibu yang unik dari semua ibu karena ia melahirkan seluruh Kristus secara jasmani maupun rohani melalui rahmat imannya. Karena itu tidak mengerankan jika Maria menduduki tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan saudara-saudari Putranya. Ia menjadi gambar sempurna umat manusia yang dilahirkan kembali, yakni Gereja dalam mencapai buah keselamatan yang menerima Hidup Ilahi melalui Roh Kudus.[5] Maria merupakan gambar seorang manusia yang juga ditebus dengan cara yang paling sempurna dan paling agung. Ia pun diikutsertakan dalam menyelamatkan umat manusia dengan corak penyelamatan yang sama dengan yang dilakukan oleh Gereja (kaum beriman). Gereja adalah perantara keselamatan yang digabungkan dengan satu-satunya Penyelamat yakni Yesus Kristus dalam melaksanakan rencana agung karya keselamatan Allah sejak permulaan waktu. Maria adalah pokok sempurna Gereja sebab di dalam dirinya terpenuhilah keibuan yang sempurna dan ia juga adalah “mempelai” Kristus yang sempurna, seperti dikatakan Konsili berikut: 

 

Dialah yang unggul di tengah umat Tuhan yang rendah dan miskin, yang penuh kepercayaan mendambakan serta menerima keselamatan dari pada-Nya. Akhirnya ketika muncullah ia, Puteri Sion yang amat mulia, sesudah pemenuhan janji lama dinanti-nantikan, genaplah masanya. Mulailah tata keselamatan yang baru, ketika Putera Allah mengenakan kodrat manusia dari padanya, untuk membebaskan manusia dari dosa melalui rahasia-rahasia hidup-Nya dalam daging.6

 

Lebih lanjut, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa esensi kepengantaraan Maria sama sekali tidak berlawanan, bersaing atau bahkan bertentangan dengan pengantaraan Kristus. Kepengantaraan Maria tergantung sepenuhnya pada kepengantaraan Kristus dan Maria sama sekali tidak menghalangi persatuan antara umat beriman dan Kristus malahan memajukan persatuan itu.[6] Allah telah menentukan Maria menjadi ibu bagi Sang Sabda. Meskipun begitu Maria menerima segala ketetapan Allah dengan ketaatan, iman, harapan dan kasih yang berkobar-kobar dalam karya Penyelamatan untuk mengembalikan hidup jiwa-jiwa kepada Allah. Inilah dasar mengapa Gereja menjadikan Maria sebagai ibu dalam tata rahmat.[7] Maria bekerja-sama dengan Roh Kudus. Ia bebas berkata; “terjadilah padaku” (Luk 1:38) terhadap pekabaran malaikat Allah. Jawaban ini bukan berarti Allah menghendaki agar pelaksanaan rencana keselamatan-Nya tergantung pada manusia, melainkan menurut rencana Allah, manusia pada gikirannyya mengembil penyelamatan yang diucapkan dengan penuh kepercaan seperti Maria demi keselamatannya. 

B. Kepengantaraan Maria pada Pesta Perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11)

Peran keselamatan memang didasarkan pada kenyataan bahwa Maria melahirkan juruselamat yang historis dan dalam kasih serta kepercayaannya, menemani karya Puteranya sampai wafat di kayu salib. Namun peran Maria tidak purna di situ. Keselamatan yang dibawa oleh Yesus tidak tinggal di dalam Dia sendiri, melainkan tertuju kepada manusia. Pada pesta perkawinan di Kana Galilea (Yoh 2:1-11), kepengantaraan Maria sebagai ibu ditampilkan dengan jelas. Yesus dan muridmurid-Nya diundang juga ke pesta itu karena kebetulan momen ini bertepatan dengan tiga hari setelah Yesus memilih murid-murid yang pertama (Yoh 1:35-51). Ketika tuan pesta kehabisan anggur ibu Yesus mengetahui kejadian itu dan langsung memberitahukannya kepada Yesus. Pada saat itu, sebenarnya belum waktu yang tepat bagi Yesus untuk berkarya di depan publik; “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba!”. Tetapi karena Maria berkata, “mereka kehabisan anggur” (ay.3), maka Yesus melakukan kehendak ibunya, yakni menjaga kehormatan tuan pesta di hadapan tamu undangan. Disinilah Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama (ay.11) dimana air berubah menjadi anggur yang terbaik. Pemimpin pesta memanggil mempelai lakilaki dan berkata kepadanya: “Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik. Tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang” (ay. 10).   

Para bapa konsili sebenarnya sangat menghindari julukan “Maria Pengantara segala Rahmat” karena khawatir jika gelar itu akan mengaburkan pemahaman Gereja tentang kepengantaraan Kristus. Maka dengan sangat konsili menberi penegasan bahwa Gereja bertolak dari Maria menuju Kristus sebagai pengantara sejati setiap insan menuju Allah (per Mariam ad Jesum). Maria pun anggota kesatuan Gereja[8] yang ditebus bersama Gereja. Konsili Vatikan II ingin agar gelar “Maria pengantara segala rahmat” harus diwartakan dengan cara sedemikian rupa sehingga kepengantaraan Kristus-lah yang lebih ditekankan dan segala keaktifan Maria, hendaknya ditempatkan dalam pandangan Gereja terhadap Kristus.[9]

Penegasan konsili mirip dengan pandangan dua aliran besar Kristen Protestan dalam memandang kepengantaraan Maria dalam sejarah keselamatan. Dua aliran besar dalam Kristen Protestan, yakni: aliran Luther dan Kalvin. Aliran Luther mengakui eksistensi Maria dalam sejarah keselamatan. Karena itu prinsip aliran ini ialah: finitum capax infiniti (yang terbatas mampu merangkul, mengandung yang tak terbatas). Tetapi Maria bukan yang menghadirkan keselamatan karena menurut pandangan ini, hanya Kristuslah satu-satunya yang dapat menghadirkan keselamatan manusia. Sedangkan kelompok Kalvin, mereka tidak mengakui eksistensi Maria dalam panggung sejarah keselamatan. Karena itu prinsip yang digunakan ialah; finitum non capax infiniti (yang terbatas tidak mampu merangkul, mengandung yang tak terbatas). Maria hanya sebagai orang baik yang dipilih Allah untuk menjadi ibu Yesus. Meskipun demikian, dua aliran ini sama sekali tidak menolak keteladanan agung yang ada pada Maria sebagai seorang yang dipilih Allah seperti keteladanan Maria dalam beriman, kesetiaannya sebagai seorang ibu dan ketaatannya pada Allah.

Gereja Katolik meyakini bahwa kehidupan Maria di surga ditandai oleh penyerahan kepada Kristus dan oleh keprihatinanya akan para saudara dan saudari Anaknya yang sedang berziarah ke rumah Bapa. Oleh karena itu, hidup surgawi Maria pada hakekatnya bercorak kepengantaraan dalam arti, Maria di surga juga mendoakan manusia di bumi ini. Joseph Ratzinger (Paus Emiritus Benediktus XVI) memberikan refleksi teologis ajaran mengenai Maria, yakni; dalamnya Gereja senantiasa menemukan seorang ibu. Menurutnya, teologi dan Gereja membutuhkan seorang ibu.[10] Pada pesta perkawinan di Kana, Maria ibu Yesus juga ada di sana, melakukan peranannya sebagai sorang ibu. Mukjizat perdana yang dilakukan Yesus tak luput dari kepengantaraan Maria. Menurut Basil Pennington, kehabisan persediaan anggur oleh tuan pesta, merupakan jembatan bagi Allah untuk mengadakan mukjizat-Nya melalui Maria.[11] Keibuan Maria pada pesta perkawinan di Kana, jelas menunjukan bahwa ia adalah satu-satunya ibu yang penuh rahmat berkat pahala yang ia terima sendiri dari Allah. 

C.     Refleksi  

Untuk mengenal dan memahami Misteri Allah dalam diri Maria, akal budi manusia tidak mungkin mencukupi (Thomas Aquinas). Tetapi tidak dapat disangkal bahwa untuk sungguhsungguh mengimani Kristus, iman itu selalu mencari pengertian melalui akal budi (fides quaerens intellectum). Theophilus Raynaud S.J (+ 1663) mengatakan bahwa opini atau pendapat yang serba saleh pun tidak cukup sempurna untuk dijadikan sumber utama dalam berbicara tentang peran Maria. Menurutnya, Bunda Maria merupakan “penyalur segala rahmat” kepada Yesus Kristus Sang “sumber dari segala sumber rahmat”.[12] Melalui Maria umat beriman akan sampai kepada Yesus satusatunya pengantara agung antara manusia dengan Allah. Mengimani Yesus sebagai penyelamat berarti menjawab bersama Maria “terjadilah” atas misteri agung Allah dalam kehidupan Gereja.  

“Dalam hidup Yesus di muka umum tampillah Bunda-Nya dengan penuh makna, pada permulaan, ketika pada pesta pernikahan di Kana yang di Galilea ia tergerak oleh belaskasihan, dan dengan perantaraannya mendorong Yesus Almasih untuk mengerjakan tanda-Nya yang pertama (lih. Yoh. 2:1-11)… Demikianlah Santa Perawan juga melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya (lih. Yoh. 19:25). Di situlah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, dan penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya.”[13]  

 

 

Referensi

Carol, Juniper B. (Ed). Mariology. (Mil Waukee: The Book Publishing Company, 1957), Vol. II.

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan. (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

Hardawiryana, R. SJ. Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) Konstitusi Dogmatis Tentang

Gereja. (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, No. 7, 1990).

Kristiyanto, Eddy. Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja. (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Maloney, George A. Maria Rahim Allah. (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Pennington, M. Basil. Mary Today. (New York: An Image Book Doubleday, 1987).

Ratzinger, Joseph (dalam) Krispurwana Cahyadi. Benediktus XVI. (Yogyakarta: Kanisius, 2010).

[1] LG. Art. 65.

[2] Untuk selanjutnya Lumen Gentium menggunakan singkatan LG tanpa mengubah arti.

[3] A. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 124.

[4] Dalam sejarah Gereja Katolik, terdapat empat dogma tentang Maria yakni; 1) Maria Bunda Allah (Theotokos) dimaklumkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431, 2) Maria Tetap Perawan (baik sebelum, saat maupun sesudah melahirkan Yesus), yang dimaklumkan dalam Sinode Lateran tahun 649, 3) Maria Dikandung Tanpa Dosa yang dimaklumkan oleh Paus Pius IX pada tanggal 8 Desember 1854, 4) Maria Diangkat ke Surga (dengan badan dan jiwanya) yang dimaklumkan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950. Paus Yohanes Paulus II menambahkan satu dogma Maria dalam refleksinya yakni; Maria Bunda Gereja. 

[5] George A. Maloney, Maria Rahim Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 143. 6 LG. Art. 55.

[6] LG. Art. 60.

[7] LG. Art. 61.

[8] Bdk. gambar bagan II.

[9] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 490.

[10] Joseph Ratzinger (dalam) Krispurwana Cahyadi, Benediktus XVI, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 67.

[11] M. Basil Pennington, Mary Today, (New York: An Image Book Doubleday, 1987), 92.

[12] Juniper B. Carol (Ed), Mariology, (Mil Waukee: The Book Publishing Company, 1957), Vol. II, 427.

[13] R. Hardawiryana, SJ, Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, (Jakarta:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, No. 7, 1990).

 

 

SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU BERADA DALAM HATI KITA..

SALAM PASSIO...!!