Marah Itu Baik Atau Buruk?
(Oleh: Fr. Hermanus Ndode, CP)
Marah itu ekspresi. Dan pada awal pembahasan ini, saya tidak dapat memutuskan marah itu baik atau marah menandakan kita berkualitas. Saya juga tidak dapat membuat jawaban pasti bahwa marah dapat berbahaya karena bisa melukai, atau marah beresiko merenggangkan dan merusak hubungan. Karena marah terkadang membingungkan. Dan memang membuat kita bingung sendiri.
Lalu marah itu baik atau buruk?
Tetapi saya dapat memastikan dari pengalaman marah saya dan saudara saya yang lain bahwa ada yang harus menanggung luka dan sakit akibat marah. Kata Gimmy, Kepala Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, “Dalam psikologi, marah itu adalah perilaku. Jadi, semua yang berkaitan dengan perilaku bisa dilihat latar belakangnya.”
Menuju ke latar belakang marah, mengutip dari tulisan Eka Febri Nugraheni Soesilo dalam artikel singkatnya berjudul “Bolehkah Saya Marah?[1]” memberikan alasan mengapa kita marah dan apa saja penyebab kita bisa marah. Pertama, mengapa kita bisa marah? Marah merupakan kombinasi dari kualitas diri yang dipicu oleh suatu peristiwa dan cara menilai diri terhadap situasi yang terjadi (Deffenbacher). Kualitas diri yang dimaksud adalah rendahnya toleransi terhadap frustasi, kelelahan, tidak mahir melatih keterampilan coping (mengatasi stres). Kualitas diri tersebut mendekatkan seseorang pada kondisi mudah tersulut amarahnya. Selain itu, kebiasaan merasa selalu benar, senang menyalahkan orang lain, kurang melihat keberhasilan orang sebagai hal baik, dan lebih menyukai “menghukum” diri sendiri akan mendekatkan seseorang pada kondisi mudah frustasi yang mengakibatkan mudah tersulut. Kedua, apa saja penyebab kita bisa marah? Marah dapat disebabkan oleh beberapa hal. Terdapat lima hal yang paling umum bisa menyulut amarah, antara lain: Ekspektasi tidak tercapai ,diperlakukan tidak adil, merasa tidak dihormati, merasa terancam, dan merasa tidak berdaya. Dan tentunya ada hal-hal lain yang tidak dituliskan di sini.
Kemudian saya mengajak saudara yang membaca untuk melihat dan mengenali seorang tokoh idola yang saya dan teman-teman saya banggakan. Dia yang kami teladani. Dia yang pelan-pelan kami pahami. Dia, yang mungkin bagi saudara terlalu menuntut banyak. Dan Dia, Yesus yang akan saya bicarakan dan tampilkan di dalam tulisan ini. Pertanyaannya, mengapa saya membicarakan Yesus. Alasannya karena beberapa dari kita sering mengatakan ini, “Yesus saja marah kok, apalagi saya yang hanya manusia biasa.”
Apa benar Yesus mengalami pengalaman marah? Afirmasinya adalah benar bahwa Yesus juga berada pada situasi marah. Kemarahan Yesus diceritakan secara singkat oleh Yohanes pada saat Yesus menyucikan Bait Allah (Yoh. 2:13-23). Yang mau saya maksudkan dari pengalaman marah Yesus ialah bahwa Ia melakukan dan menghadapi itu (marah) secara bijaksana. Kemarahan Yesus adalah murni dan sepenuhnya dibenarkan karena berakar pada dipentingkannya kekudusan Allah dan penyembahan pada Allah, yakni Ia mau menyucikan Bait Allah.
Dari hasil nukilan[2] saya, ada enam hal dan catatan fakta-fakta tentang kemarahan Yesus yang perlu kita perhatikan:
- Kemarahan Yesus memiliki motivasi yang tepat. Dengan kata lain, ia marah untuk alasan yang tepat. Kemarahan Yesus tidak muncul dari argumentasi remeh atau karena adanya penghinaan terhadap pribadi-Nya. Tidak ada keegoisan yang terlibat.
- Kemarahan Yesus memiliki fokus yang tepat. Dia tidak marah pada Tuhan atau pada "kelemahan-kelemahan" orang-orang lain. Kemarahan itu ditargetkan hanya pada perbuatan dosa dan pada ketidakadilan.
- Kemarahan Yesus memiliki suplemen yang tepat. Markus 3:5 mengatakan bahwa kemarahan-Nya disertai kesedihan atas tidak adanya iman dalam diri orang-orang Farisi itu. Kemarahan Yesus berasal dari kasih terhadap orang-orang Farisi dan kepedulianNya terhadap kondisi rohani mereka. KemarahanNya itu tidak ada hubungannya dengan kebencian atau niat jahat.
- Kemarahan Yesus memiliki kendali yang tepat. Yesus tidak pernah keluar dari kendali, bahkan ketika Ia sedang dalam keadaan marah. Para pemimpin agama tidak senang ketika Yesus membersihkan Bait Allah (Lukas 19:47), tetapi Dia tidak melakukan apa pun yang berdosa. Ia yang mengendalikan/menguasai emosiNya; emosi tidak menguasai-Nya.
- Kemarahan Yesus terjadi pada waktu yang tepat. Dia tidak membiarkan kemarahan-Nya berubah menjadi kepahitan; Dia tidak menyimpan dendam. Ia berurusan dengan setiap situasi dengan benar, dan menangani kemarahan dalam waktu yang tepat.
- Kemarahan Yesus memiliki hasil yang tepat. Kemarahan Yesus memiliki konsekuensi tak terelakkan dari tindakan IlahiNya yang suci. Kemarahan Yesus ini, sebagaimana semua emosi-Nya, berada di dalam kesesuaian dengan Firman Allah; dengan demikian, respon Yesus selalu untuk mencapai kehendak Allah.
Tentu pesannya ialah bahwa kemarahan yang asal-asalan, yang tidak dipertimbangkan dengan matang seperti dijelaskan dalam keenam poin di atas, hanyalah akan memperburuk suasana. Dan sering kali kita didoktrin bahwa marah itu dapat meningkatkan risiko serangan jantung, akan memicu stres, meningkatkan tekanan darah tinggi, mengalami gangguan tidur.
Namun saya akan membagikan penemuan baru bahwa orang yang paling bahagia ternyata bukanlah orang yang tak pernah menunjukkan rasa marahnya. Dan kata Tamir,[3] “orang yang lebih bahagia adalah mereka yang menjalani emosi secara alami dan positif. Saat marah disalurkan dengan baik, maka pemulihannya akan menjadi lebih cepat, tak ada dendam, tak ada penyesalan, dan itu menyehatkan mental, yang akhirnya membuat hidup lebih bahagia secara keseluruhan. Karena kebahagiaan juga tentang merasakan emosi lain, seperti kecewa atau marah, yang sama-sama berharga bagi kesehatan mental.
Pada posisi Yesus sangat marah dengan para pedagang yang berjualan di halaman Bait Allah, kita bisa masuk sejenak dan memainkan peran sebagai seorang pedagang. Sebagai seorang pedagang yang dimarahi Yesus, maka saat ini pula kesempatan yang baik bagi kita untuk melakukan koreksi diri. Mengapa Yesus itu marah? Mungkin menjadi sebuah nasihat dan bertujuan baik sehingga marah itu boleh jadi sebagai tanda kasih sayang. Marah itu berupa nasihat yang akan menimbulkan pemikiran untuk mengubah perilaku yang salah. Misalnya, orangtua terhadap anaknya, marah seorang guru terhadap siswa, dan seterusnya.
Akhirnya, supaya marah kita menjadi marah yang berkualitas, maka dapat diterapkan dan mengikuti tips mengelola emosi oleh Galuh Novi Wulandari[4], yakni: Pertama, Tenangkan diri, Kedua, Pertimbangkan dampak yang terjadi jika marah tidak terkontrol. Hubungan dengan keluarga, saudara, relasi dan yang lainnya dapat merenggang bahkan hancur ketika amarah tidak terkontrol. Ketiga, jangan bereaksi berlebihan ketika sedang marah. Marah boleh namun dengan wajar, sesuaikan dengan permasalahan yang terjadi. Keempat, Berdoa dapat membantu dalam mengontrol emosi. Kepercayaan terhadap Tuhan dapat membuat diri kuat menghadapi suatu masalah, dan berserah diri terhadap hasilnya akan membuat hati senantiasa ikhlas. Dan yang Kelima, Waktu yang tepat. Pahamilah bahwa berteriak dan menangis adalah hal yang wajar ketika sedang marah. Namun ada kalanya untuk kita dapat mengetahui pula waktu yang tepat untuk mengeluarkannya. Jangan asal melampiaskan emosi sesaat yang akhirnya akan disesali di kemudian hari.
Sekian.
[1] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pangkalanbun/baca-artikel/15965/BOLEHKAH-SAYA-MARAH.html
[2] Link nukilan: https://pesankasihdarisurga.blogspot.com/2016/02/tentang-yesus-marah.html
[3] Untuk mempelajari dampak berbagai emosi terhadap keseluruhan kebahagiaan, peneliti Maya Tamir PhD dan rekan-rekannya di Hebrew University of Jerusalem, melakukan wawancara dengan 2.324 mahasiswa di delapan negara, termasuk Amerika Serikat.
- [4] Dokter RS Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang, dalam https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/643/tips-sederhana-mengelola-emosi-saat-marah