Sahabatku, pernahkah kalian mendengar salah satu ungkapan klasik mengenai Maria yang berbunyi; per Mariam ad Jesum? Syukurlah jika pernah! Namun jika belum, dalam artikel ini sahabat diajak untuk tidak hanya mendengar dan membaca ungkapan klasik itu, tetapi juga diajak untuk mengerti makna yang tersembunyi di baliknya. Banyak teolog dan para pemikir besar Gereja, baik pada abad pertama (seperti Yohanes Krisostomus[1], Origenes, Ignatius Antiokhia dan para bapa Kapadokia), abad pertengahan (seperti Agustinus dan Thomas Aquinas), maupun pada abad modern (seperti Karl Rahner, Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI), mengakui bahwa berbicara tentang Bunda Maria, tidak pernah cukup, tidak pernah tuntas dan tidak pernah habis-habisnya (De Maria numquam satis). Peranan Maria dalam kehidupan Gereja tetap aktual untuk direfleksikan, guna menanggapi situasi zaman yang di nominasi oleh tawaran akan revolusi radikal di berbagai aspek kehidupan manusia. Sejak Sang Sabda menjelma menjadi manusia dalam rahim Perawan Maria (Luk

1:26-38), Misteri ilahi keselamatan itu diwahyukan kepada kita, yang oleh Tuhan dijadikan TubuhNya melalui Maria yang mulia dan tetap Perawan, Bunda Allah serta Tuhan kita Yesus Kristus. Mengenal sosok Bunda Maria dalam sejarah keselamatan, berarti “mengamini” keselamatan kita dalam Kristus.  Dari Maria kita sampai kepada Yesus (per Mariam ad Jesum). 

 

A. Pola Kepengantaraan Maria dalam Lumen Gentium Bab VIII

Melalui Lumen Gentium[2] bab VIII, Konsili Vatikan II secara khusus hendak menampilkan posisi

Maria dalam tata keselamatan manusia melalui peristiwa agung inkarnasi (Allah menjadi manusia). Allah telah mengaruniakan  kepada kita segala berkat rohani di surga dalam Kristus Yesus (Ef 1:3). Ia dikandung oleh seorang perawan dari Nazaret dan dengan kehadiran misteri agung ini, dimulailah sejarah baru yakni sejarah penyelamatan dan keselamatan manusia. Bagaimana Gereja melihat relasi inkarnasi dengan peran Maria dalam keselamatan? Gereja memandang posisi Maria dalam tata keselamatan melalui dua pandangan[3] (dalam diagram) berikut:

Gambar I menunjukkan pandangan kebanyakan orang Katolik pada tahun-tahun pra-Konsili Vatikan II atau setidak-tidaknya pandangan ini lebih banyak dianut oleh para teolog maksimalis. Maria secara penuh bersatu dengan Kristus Putranya. Kesatuan Maria dengan Gereja dalam ketergantungan dengan Kristus tidak menembus sungguh-sungguh atau tidak mencapai kepenuhan, meskipun itu dapat dan mungkin terjadi. Gelar Maria yang ditunjukkan dalam diagram I ialah; Mediatrix  omnis Gartiae (Maria Pengantara segala Rahmat). Sedangkan dalam gambar II, Maria dipandang sebagai anggota Gereja secara penuh. Karena ia bersatu dengan anggota Gereja lainnya, Maria pun membutuhkan rahmat penebusan Kristus. Maria ditampilkan sebagai manusia yang turut tersengat oleh kuasa dosa. Gelar yang digunakan untuk memperlihatkan situasi dan posisi Maria dalam gambar ini ialah; Mater Ecclesiae (Maria Bunda Gereja)[4]. Maria sungguh-sungguh hadir sebagai bunda dalam hidup dan peziarahannya Gereja di dunia ini menuju “tanah terjanji”.  

Dalam artikel 54 Bunda Maria ditampilkan sebagai seorang ibu yang unik dari semua ibu karena ia melahirkan seluruh Kristus secara jasmani maupun rohani melalui rahmat imannya. Karena itu tidak mengerankan jika Maria menduduki tempat paling luhur sesudah Kristus dan paling dekat dengan saudara-saudari Putranya. Ia menjadi gambar sempurna umat manusia yang dilahirkan kembali, yakni Gereja dalam mencapai buah keselamatan yang menerima Hidup Ilahi melalui Roh Kudus.[5] Maria merupakan gambar seorang manusia yang juga ditebus dengan cara yang paling sempurna dan paling agung. Ia pun diikutsertakan dalam menyelamatkan umat manusia dengan corak penyelamatan yang sama dengan yang dilakukan oleh Gereja (kaum beriman). Gereja adalah perantara keselamatan yang digabungkan dengan satu-satunya Penyelamat yakni Yesus Kristus dalam melaksanakan rencana agung karya keselamatan Allah sejak permulaan waktu. Maria adalah pokok sempurna Gereja sebab di dalam dirinya terpenuhilah keibuan yang sempurna dan ia juga adalah “mempelai” Kristus yang sempurna, seperti dikatakan Konsili berikut: 

 

Dialah yang unggul di tengah umat Tuhan yang rendah dan miskin, yang penuh kepercayaan mendambakan serta menerima keselamatan dari pada-Nya. Akhirnya ketika muncullah ia, Puteri Sion yang amat mulia, sesudah pemenuhan janji lama dinanti-nantikan, genaplah masanya. Mulailah tata keselamatan yang baru, ketika Putera Allah mengenakan kodrat manusia dari padanya, untuk membebaskan manusia dari dosa melalui rahasia-rahasia hidup-Nya dalam daging.6

 

Lebih lanjut, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa esensi kepengantaraan Maria sama sekali tidak berlawanan, bersaing atau bahkan bertentangan dengan pengantaraan Kristus. Kepengantaraan Maria tergantung sepenuhnya pada kepengantaraan Kristus dan Maria sama sekali tidak menghalangi persatuan antara umat beriman dan Kristus malahan memajukan persatuan itu.[6] Allah telah menentukan Maria menjadi ibu bagi Sang Sabda. Meskipun begitu Maria menerima segala ketetapan Allah dengan ketaatan, iman, harapan dan kasih yang berkobar-kobar dalam karya Penyelamatan untuk mengembalikan hidup jiwa-jiwa kepada Allah. Inilah dasar mengapa Gereja menjadikan Maria sebagai ibu dalam tata rahmat.[7] Maria bekerja-sama dengan Roh Kudus. Ia bebas berkata; “terjadilah padaku” (Luk 1:38) terhadap pekabaran malaikat Allah. Jawaban ini bukan berarti Allah menghendaki agar pelaksanaan rencana keselamatan-Nya tergantung pada manusia, melainkan menurut rencana Allah, manusia pada gikirannyya mengembil penyelamatan yang diucapkan dengan penuh kepercaan seperti Maria demi keselamatannya. 

B. Kepengantaraan Maria pada Pesta Perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11)

Peran keselamatan memang didasarkan pada kenyataan bahwa Maria melahirkan juruselamat yang historis dan dalam kasih serta kepercayaannya, menemani karya Puteranya sampai wafat di kayu salib. Namun peran Maria tidak purna di situ. Keselamatan yang dibawa oleh Yesus tidak tinggal di dalam Dia sendiri, melainkan tertuju kepada manusia. Pada pesta perkawinan di Kana Galilea (Yoh 2:1-11), kepengantaraan Maria sebagai ibu ditampilkan dengan jelas. Yesus dan muridmurid-Nya diundang juga ke pesta itu karena kebetulan momen ini bertepatan dengan tiga hari setelah Yesus memilih murid-murid yang pertama (Yoh 1:35-51). Ketika tuan pesta kehabisan anggur ibu Yesus mengetahui kejadian itu dan langsung memberitahukannya kepada Yesus. Pada saat itu, sebenarnya belum waktu yang tepat bagi Yesus untuk berkarya di depan publik; “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saat-Ku belum tiba!”. Tetapi karena Maria berkata, “mereka kehabisan anggur” (ay.3), maka Yesus melakukan kehendak ibunya, yakni menjaga kehormatan tuan pesta di hadapan tamu undangan. Disinilah Yesus melakukan mukjizat-Nya yang pertama (ay.11) dimana air berubah menjadi anggur yang terbaik. Pemimpin pesta memanggil mempelai lakilaki dan berkata kepadanya: “Setiap orang menghidangkan anggur yang baik dahulu dan sesudah orang puas minum, barulah yang kurang baik. Tetapi engkau menyimpan anggur yang baik sampai sekarang” (ay. 10).   

Para bapa konsili sebenarnya sangat menghindari julukan “Maria Pengantara segala Rahmat” karena khawatir jika gelar itu akan mengaburkan pemahaman Gereja tentang kepengantaraan Kristus. Maka dengan sangat konsili menberi penegasan bahwa Gereja bertolak dari Maria menuju Kristus sebagai pengantara sejati setiap insan menuju Allah (per Mariam ad Jesum). Maria pun anggota kesatuan Gereja[8] yang ditebus bersama Gereja. Konsili Vatikan II ingin agar gelar “Maria pengantara segala rahmat” harus diwartakan dengan cara sedemikian rupa sehingga kepengantaraan Kristus-lah yang lebih ditekankan dan segala keaktifan Maria, hendaknya ditempatkan dalam pandangan Gereja terhadap Kristus.[9]

Penegasan konsili mirip dengan pandangan dua aliran besar Kristen Protestan dalam memandang kepengantaraan Maria dalam sejarah keselamatan. Dua aliran besar dalam Kristen Protestan, yakni: aliran Luther dan Kalvin. Aliran Luther mengakui eksistensi Maria dalam sejarah keselamatan. Karena itu prinsip aliran ini ialah: finitum capax infiniti (yang terbatas mampu merangkul, mengandung yang tak terbatas). Tetapi Maria bukan yang menghadirkan keselamatan karena menurut pandangan ini, hanya Kristuslah satu-satunya yang dapat menghadirkan keselamatan manusia. Sedangkan kelompok Kalvin, mereka tidak mengakui eksistensi Maria dalam panggung sejarah keselamatan. Karena itu prinsip yang digunakan ialah; finitum non capax infiniti (yang terbatas tidak mampu merangkul, mengandung yang tak terbatas). Maria hanya sebagai orang baik yang dipilih Allah untuk menjadi ibu Yesus. Meskipun demikian, dua aliran ini sama sekali tidak menolak keteladanan agung yang ada pada Maria sebagai seorang yang dipilih Allah seperti keteladanan Maria dalam beriman, kesetiaannya sebagai seorang ibu dan ketaatannya pada Allah.

Gereja Katolik meyakini bahwa kehidupan Maria di surga ditandai oleh penyerahan kepada Kristus dan oleh keprihatinanya akan para saudara dan saudari Anaknya yang sedang berziarah ke rumah Bapa. Oleh karena itu, hidup surgawi Maria pada hakekatnya bercorak kepengantaraan dalam arti, Maria di surga juga mendoakan manusia di bumi ini. Joseph Ratzinger (Paus Emiritus Benediktus XVI) memberikan refleksi teologis ajaran mengenai Maria, yakni; dalamnya Gereja senantiasa menemukan seorang ibu. Menurutnya, teologi dan Gereja membutuhkan seorang ibu.[10] Pada pesta perkawinan di Kana, Maria ibu Yesus juga ada di sana, melakukan peranannya sebagai sorang ibu. Mukjizat perdana yang dilakukan Yesus tak luput dari kepengantaraan Maria. Menurut Basil Pennington, kehabisan persediaan anggur oleh tuan pesta, merupakan jembatan bagi Allah untuk mengadakan mukjizat-Nya melalui Maria.[11] Keibuan Maria pada pesta perkawinan di Kana, jelas menunjukan bahwa ia adalah satu-satunya ibu yang penuh rahmat berkat pahala yang ia terima sendiri dari Allah. 

C.     Refleksi  

Untuk mengenal dan memahami Misteri Allah dalam diri Maria, akal budi manusia tidak mungkin mencukupi (Thomas Aquinas). Tetapi tidak dapat disangkal bahwa untuk sungguhsungguh mengimani Kristus, iman itu selalu mencari pengertian melalui akal budi (fides quaerens intellectum). Theophilus Raynaud S.J (+ 1663) mengatakan bahwa opini atau pendapat yang serba saleh pun tidak cukup sempurna untuk dijadikan sumber utama dalam berbicara tentang peran Maria. Menurutnya, Bunda Maria merupakan “penyalur segala rahmat” kepada Yesus Kristus Sang “sumber dari segala sumber rahmat”.[12] Melalui Maria umat beriman akan sampai kepada Yesus satusatunya pengantara agung antara manusia dengan Allah. Mengimani Yesus sebagai penyelamat berarti menjawab bersama Maria “terjadilah” atas misteri agung Allah dalam kehidupan Gereja.  

“Dalam hidup Yesus di muka umum tampillah Bunda-Nya dengan penuh makna, pada permulaan, ketika pada pesta pernikahan di Kana yang di Galilea ia tergerak oleh belaskasihan, dan dengan perantaraannya mendorong Yesus Almasih untuk mengerjakan tanda-Nya yang pertama (lih. Yoh. 2:1-11)… Demikianlah Santa Perawan juga melangkah maju dalam peziarahan iman. Dengan setia ia mempertahankan persatuannya dengan Puteranya hingga di salib, ketika ia sesuai dengan rencana Allah berdiri di dekatnya (lih. Yoh. 19:25). Di situlah ia menanggung penderitaan yang dahsyat bersama dengan Puteranya yang tunggal. Dengan hati keibuannya ia menggabungkan diri dengan korban-Nya, dan penuh kasih menyetujui persembahan korban yang dilahirkannya.”[13]  

 

 

Referensi

Carol, Juniper B. (Ed). Mariology. (Mil Waukee: The Book Publishing Company, 1957), Vol. II.

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan. (Yogyakarta: Kanisius, 2004).

Hardawiryana, R. SJ. Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) Konstitusi Dogmatis Tentang

Gereja. (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, No. 7, 1990).

Kristiyanto, Eddy. Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja. (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Maloney, George A. Maria Rahim Allah. (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Pennington, M. Basil. Mary Today. (New York: An Image Book Doubleday, 1987).

Ratzinger, Joseph (dalam) Krispurwana Cahyadi. Benediktus XVI. (Yogyakarta: Kanisius, 2010).

[1] LG. Art. 65.

[2] Untuk selanjutnya Lumen Gentium menggunakan singkatan LG tanpa mengubah arti.

[3] A. Eddy Kristiyanto, Maria dalam Gereja: Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 124.

[4] Dalam sejarah Gereja Katolik, terdapat empat dogma tentang Maria yakni; 1) Maria Bunda Allah (Theotokos) dimaklumkan dalam Konsili Efesus pada tahun 431, 2) Maria Tetap Perawan (baik sebelum, saat maupun sesudah melahirkan Yesus), yang dimaklumkan dalam Sinode Lateran tahun 649, 3) Maria Dikandung Tanpa Dosa yang dimaklumkan oleh Paus Pius IX pada tanggal 8 Desember 1854, 4) Maria Diangkat ke Surga (dengan badan dan jiwanya) yang dimaklumkan oleh Paus Pius XII pada tanggal 1 November 1950. Paus Yohanes Paulus II menambahkan satu dogma Maria dalam refleksinya yakni; Maria Bunda Gereja. 

[5] George A. Maloney, Maria Rahim Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 143. 6 LG. Art. 55.

[6] LG. Art. 60.

[7] LG. Art. 61.

[8] Bdk. gambar bagan II.

[9] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika: Ekonomi Keselamatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 490.

[10] Joseph Ratzinger (dalam) Krispurwana Cahyadi, Benediktus XVI, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 67.

[11] M. Basil Pennington, Mary Today, (New York: An Image Book Doubleday, 1987), 92.

[12] Juniper B. Carol (Ed), Mariology, (Mil Waukee: The Book Publishing Company, 1957), Vol. II, 427.

[13] R. Hardawiryana, SJ, Lumen Gentium (Terang Bangsa-bangsa) Konstitusi Dogmatis Tentang Gereja, (Jakarta:

Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, No. 7, 1990).

 

 

SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU BERADA DALAM HATI KITA..

SALAM PASSIO...!!

Published in Lintas Perspektif