Valentine (Valentinus), pria yang sering dihubungkan dengan Hari Valentine, hidup pada abad ketiga, ketika Kaisar Romawi Claudius II menganiaya orang Kristen.
Santo Bede, seorang biarawan dan sejarawan di Inggris utara yang hidup pada abad ke-8 yang menulis Legenda Aurea atau Golden Legend banyak menceritakan kisah kehidupan orang-orang kudus, termasuk Santo Valentinus.
Menurut versi ini, Pastor Valentine ditangkap karena menentang dekrit Kaisar Claudius yang memerintahkan para pemuda untuk ikut wajib militer dan melarang diadakan upacara pernikahan bagi pasangan muda. Namun, banyak pemuda yang menolak ikut wajib militer karena tidak mau meninggalkan kekasih yang mereka cintai. Pastor Valentine dengan berani tetap menerimakan sakramen perkawinan bagi pasangan yang sudah siap untuk menikah. Claudius menginterogasi Pastor Valentine tentang tindakan dan keyakinan Kristennya. Claudius kemudian terkesan dengan keberanian Pastor Valentine dan menawarkan untuk mengampuni dan membebaskannya jika ia mau menghentikan perbuatannya dan berkompromi dengan Kaisar serta menyembah dewa Romawi. Pastor Valentine menolak ajakan itu dan malah menasihati Claudius untuk bertobat dan menjadi Kristen. Akibatnya, Claudius sangat marah dan memerintahkan eksekusi mati serta memasukan Pastor Valentine ke dalam penjara yang paling buruk sambil menunggu hukuman mati.
Di dalam penjara Pastor Valentine diperlakukan dengan sangat tidak adil dan kejam oleh kepala penjara. Beberapa saat kemudian atas perintah kaisar, kepala penjara mengumumkan bahwa Pastor Valentine akan segera dieksekusi. Pastor Valentine menanggapi penyampaian itu dengan berdoa kepada Tuhan di hadapan kepala penjara itu. Ia memohon agar terang Tuhan menerangi penjara itu sehingga semua orang yang menyaksikan percaya akan kehadiran ilahi-Nya.
Cerita itu selanjutnya mengatakan bahwa kepala penjara itu kagum pada Pastor Valentine dan menyaksikan cahaya bersinar di sekitar tempat Pastor Valentine berdoa. Kepala penjara itu kemudian meminta maaf dan memohon dengan sangat agar Pastor Valentine berdoa memohon kekuatan Tuhan agar penglihatan anaknya yang buta dipulihkan.
Pastor Valentine merasa kasihan dan berdoa bagi anak kepala penjara itu. Ia juga memohon pengampunan atas kejahatan kepala penjara itu. Doa penuh kasih sayang Pastor Valentine dijawab Tuhan. Anak kepala penjara itu dipulihkan penglihatannya. Anak itu tidak pernah melihat Valentine, namun dalam versi legenda, Valentine menulis surat kepada anak itu dan menandatanganinya "dari Valentine-mu." Ketika tiba saatnya ia dihukum mati, Pastor Valentine berdoa: ‘Ya Tuhan, biarkan aku mati dengan kata-kata Yesus Putera-Mu di bibirku, "Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Ini adalah salah satu versi dari beberapa cerita yang kita ketahui tentang Santo Valentinus yang dihubungkan dengan Hari Valentine. Tidak begitu penting bagi kita untuk mencaritahu kisah mana yang paling tepat mengenai Santo Valentinus dan Hari Valentine. Hal yang paling penting bagi kita adalah mengambil hikmah dan memetik makna dari Hari Valentine.
Pelajaran berharga yang kita dapatkan dari Santo Valentinus yang harus menjadi refleksi kita di Hari Valentine adalah belas kasih dan pengampunan tanpa syarat kepada kepala penjara yang telah menyiksanya dengan sangat kejam. Ketika mengalami hukuman penjara yang tidak adil, diperlakukan dengan kejam dan akan menghadapi eksekusi mati, Santo Valentinus tidak berdoa agar Tuhan membebaskannya dan menghukum kaisar dan kepala penjara yang kejam itu. Sebaliknya, Santo Valentinus mengampuni kepala penjara itu dan memenuhi permintaan kepala penjara itu untuk berdoa memohon rahmat kesembuhan bagi anaknya tanpa pamrih.
Cerita Valentine mengilhami kita untuk menumbuhkan pohon cinta dan pengampunan tanpa syarat di dalam hati kita, di dalam pikiran kita, di dalam hidup kita. Bagi kita orang kristen mengampuni atau memaafkan adalah bentuk nyata dari cinta kasih kristiani, seperti yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri ketika Ia menderita di kayu salib akibat kejahatan dan kekejian manusia, "Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."
Selama dua dekade terakhir, penelitian menunjukkan bahwa mengampuni sangat bermanfaat bagi orang yang terluka, sakit hati, patah hati dan kecewa. Robert Enright, seorang profesor psikologi di University of Wisconsin, Madison, United State dan pendiri Institut Pengampunan Internasional (The International Forgiveness Institute), telah meneliti efek pengampunan bagi manusia sejak tahun 1985. Enright menemukan bahwa mereka yang bisa memaafkan orang lain mengalami peningkatan kesehatan fisik, kesejahteraan hidup, harga diri dan harapan. Mengampuni ata memaafkan juga dapat mengurangi kecemasan, depresi dan kemarahan.
Pada tahun 1998 John Templeton Foundation menyumbang hampir $ 5 juta dolar untuk 29 proyek penelitian yang berhubungan dengan pengampunan untuk kesehatan fisik dan mental. Salah satu penerima dana adalah Frederic Luskin, Direktur Proyek Pengampunan Stanford pada Pusat Penelitian dan Pencegahan Penyakit di Stanford. Luskin telah menemukan bahwa proses memaafkan dapat melindungi seseorang dari penyakit dan meningkatkan kesehatan emosional. Pengampunan yang membawa efek positif ini mengacu pada perubahan hati, bukan tindakan formal.
Ketika mereka bekerja dengan orang-orang yang telah melakukan kesalahan, mereka melaporkan bahwa semakin mereka mencoba untuk memaafkan dengan cara formal, semakin sulit dan lebih banyak kebencian yang mereka rasakan. Cara yang efektif berdasarkan penelitian adalah berhenti bekerja keras utuk memaafkan dan mulailah berusaha secara bertahap, dengan cara yang lembut melepaskan keluhan-keluhan.
Kisah Santo Valentinus dan beberapa data ilmiah di atas menunjukkan kepada kita hasil yang luar biasa dari pengampunan. Kita menyaksikan bahwa pengampunan atau memaafkan tidak hanya membebaskan kita dari beban keinginan membalas dendam, tetapi juga mendorong orang yang melakukan kesalahan pada kita untuk mengubah perilaku mereka.
Akhirnya, marilah kita memberikan cinta dan hadiah terindah di hari valentine kepada saudara-saudari kita dengan saling mengampuni dan bersama Rasul Paulus, dengan hati gembira kita menyanyikan madah kasih, ‘"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (1 Korintus 13:4-8).