Setetes keringat membasahi lembaran surat cinta. Yohanes terpaku dan bergetar memaknai juga mendikte kata-kata secara perlahan dalam hatinya. Ia tak percaya akan isi surat yang dibaca. Soal tampan, Yohanes orangnya. Soal hati wanita, Yohanes jago menaklukannya. Tetapi kali ini berbeda. Getarannya pun baru pertama dirasakannya. Pada saat hati berbunga-bunga seperti ini, hanyalah omong kosong jika Yohanes tak memeluk kalau si pengirim surat berada di dekatnya. Dia pun memeluk bantal peluk untuk mengekspresikan kegirangannya. Detakan jarum jam terus menemani Yohanes dalam keheningan. Ia membaca lagi dan lagi sampai lima atau enam kali. Ia melihat terus dan terus kertas foto yang sengaja diikutsertakan si penulis dalam suratnya.
Satu kalimat dari surat cinta itu, “Aku mencintaimu, Yohanes. Tetapi aku sadar dan pastinya engkau tahu bahwa cinta tak harus memiliki.” Mungkin terdengar basi kata cinta dari si wanita. Namun kekuatan cinta dari si wanita adalah cinta yang tulus, dewasa, dan jujur bagi Yohanes. Sebagai seorang frater, Yohanes tahu cara menetralkan cinta si wanita. Yohanes diam sambil melepaskan senyum, memamerkan keluguannya. Kemudian ada bisikan dari suara hati Yohanes, “Ah…. Wanita, terima kasih karena dari cintamu aku sedikit belajar untuk tidak sombong, tidak cuek, dan tidak angkuh dalam hal cinta. Aku pun mencintaimu. Aku ingin cinta kita harus benar, tepat, dan punya tujuan. Aku sebagai seorang frater dan kamu sebagai seorang suster harus berbagi cinta untuk siapa saja, bukan untuk saya saja.” Ada kejujuran cinta. Cinta yang menguatkan. Cinta yang saling mendukung dalam panggilan. Panggilan yang sedang dijalankan Yohanes dan si wanita. Yohanes berhenti menatap gambar si wanita. Di balik gambar wanita berkerudung ia tuliskan, “Saudari, cintaku, cintamu, cinta kita, cinta untuk Tuhan.” Lalu Yohanes melipat dengan rapih surat beramplop putih. Ia memasukannya ke dalam tas sebagai aset cinta yang tak ternilai harganya. Akhirnya Yohanes duduk, mengambil kertas dan mulai menulis balasan surat cinta.
Untuk Sisil, Saudariku tercinta….
Cinta terkadang membingungkan. Cinta terkadang berlalu tanpa dimaknai dan diartikan. Lewat suratku ini, akan kucoba menulis makna dan arti cinta. Akan aku bagikan rasa yang telah kusembunyikan kepadamu. Sebelum mempelajari cinta darimu, aku pernah terjebak dalam cinta yang kurang ajar. Tetapi saat kutuliskan surat ini, aku memiliki cinta untuk tidak berbuat kurang ajar. Pada saat aku melihat ayam terus mencakar untuk mencari makanan aku pun bertanya, “Apakah aku terus-terusan mencabik cinta dari Sang Pemberi cinta?” Aku ingin merajut. Aku ingin menyulam. Rajutan dan sulaman cinta yang membuat kita kuat menggandeng tangan Dia. Gandengan tangan mesrah membuat aku memiliki tujuan. Aku belajar dari cinta masa lalu, aku mendidik cintaku di masa sekarang, dan aku akan tertawa bangga pada cinta di masa depan. Saudariku tercinta, tujuan cinta adalah kebaikan. Persoalannya ialah ketika cinta menggosongkan kebaikan. Kebaikan yang berwarna hitam, gelap gulita, samar-samar dan akhirnya setan memanfaatkannya. Cinta bukan tentang diri kita sendiri. Cinta adalah tentang orang lain dan kita. Aku bukan seorang ahli cinta atau profesor cinta. Aku berkata serta berbicara soal cinta karena diriku telah menjalani dan merasakannya. Cinta memang tidak pantas diteorikan. Cinta juga tidak pantas untuk ditertawakan. Yang pantas adalah cinta yang memampukan orang berteori dan tertawa dengan sebebas-bebasnya. Berlebihan kata-kataku soal cinta. Namun aku memang tidak pernah puas akan cinta, sebab aku ingin mencintai dan dicintai. Cinta itu membantu. Cinta itu mengatakan ‘tidak’ saat salah dan ‘ya’ pada kebenaran. Cinta itu ketika diriku berani berbagi senyum kepadamu, dan kamu membagikannya kepada sesama. Aku sadar bahwa cintaku tidak harus dibalas dengan cinta. Cintaku tidak harus diberi penghargaan dan pujian. Cinta yang benar selalu memilih jalan kebenaran. Terima kasih untuk kebenaran yang kamu katakana. Aku pun akan mengatakan kebenaran bahwa aku mencintaimu. Meskipun kita tidak mengikat jari. Meskipun kita berbeda pulau. Aku mau kita mengikat perbedaan rasa cinta kita dalam kalimat suratmu yaitu, “Cinta tidak harus memiliki.” Sekali lagi aku mencintaimu, tetapi aku dan kamu harus berkomitmen untuk tidak egois dalam cinta dan tidak menjadi budak cinta. Dan kebenaran cinta yang paling benar untuk kita berdua ialah berjanji serta berkata, “Tuhan asal segala cinta, aku mencintaimu dengan segenap hati dan dengan kekuatanku, sebab Engkaulah yang mahabaik dan pantas untuk dicintai. Karena cinta akan Dikau, maka aku pun cinta kepada orang lain sebagaimana aku cinta pada diriku sendiri. Tuhan tambahlah selalu cintaku. (Doa cinta)”
Aku akhiri surat cintaku untukmu dalam kebahagian karena aku dan kamu berani jujur. Semoga kita terus bertumbuh dalam cinta yang benar. Semoga kita secara tahu, mau, dan sadar membagi cinta. Semoga kita mencintai Dia yang mencintai kita dengan segala kekuatan, kedewasaan, dan keseriusan. Semoga kita berdua selalu mampu menjaga kejujuran dan kebijaksanan cinta. Sekian dari tulisan cintaku. Sekian atas perasaan cintaku padamu. Ingin aku menulis lebih banyak. Tetapi aku benar-benar berusaha membatasinya, karena aku takut nantinya kata-kata gombalanku mulai bermunculan pada suratku ini.
Dari saudara tercintamu, Yohanes ……
Pena terlepas dari jemari Yohanes. Ia terpukau akan kata-katanya sendiri. Ia sadar bahwa cinta itu mendatangkan kasih. Ia ingin cepat-cepat memberi surat cintanya. Ia ingin si wanita membacanya. Ia ingin si wanita mengerti akan pandangannya tentang cinta. Namun keinginannya tentu terhalang oleh jarak dan waktu. Terhalang oleh tembok dan pagar berduri. Dan kemudian biarlah surat cintanya terlipat kotor dan kusut di bawah bantal dan kepala.
Cerita ini hanya fiktif belaka. Nama dan waktu adalah unsur kesengajaan. Sekian
hermaNdode