Manusia terlahir sebagai makhluk spiritual, individual sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk spiritual barang tentu ia hidup dan bertindak sesuai dengan tata aturan hidup yang sudah ditentukan oleh pihak yang berwenang dalam hidup keagamaannya. Ke-spiritualan-nya itu, mau menegaskan bahwa dalam pembaruan hidupnya secara khusus dalam bidang iman ia selalu berusaha berorientasi pada kesempurnaan hidup. Sebagai makhluk individual, ia mempunyai hak untuk menentukan hidupnya sendiri tanpa harus selalu ada intervensi (campur tangan) orang lain atau sesamanya manusia. Namun, sebagai makhluk sosial ia juga membutuhkan orang lain atau sesama agar ia mampu membangun relasi dan berinteraksi dengan sesama sebagai makhluk ciptaan yang berakal budi. Ke-sosial-annya membuat ia mampu mengenal, memahami, dan menemukan jati dirinya dari perspektif yang lain (karena pengaruh lingkungannya).
Mewartakan kabar sukacita dalam pengharapan mau menekankan bahwa dari setiap pewartaan iman yang kita wartakan seharusnya mampu membawa sebuah pengharapan bagi subjek yang menerima pewartaan kita. Relasi yang kita gunakan dalam pewartaan ini ialah relasi subjek-subjek, ( Bdk Riyanto,...) bukan subjek-objek. Mengapa? Sebab apabila relasi yang terjalin adalah relasi subjek-objek maka, apa pun bentuk pewartaan yang kita kerjakan akan menjadi sesuatu yang nihil.
Pengalaman (experience) hidupnya selalu berorientasi pada kepenuhan hidup sebagai makhluk spiritual atau makhluk ber-tuhan. Orang disebut memiliki pengalaman, ketika dia mengalami banyak peristiwa di dalam hidupnya (Riyanto, 2013, 144). Artinya, dari pengalaman hidup yang dialami tersebut dapat membantu dia dalam meng-implementasikan segala sesuatu yang akan menjadi inti pewartaannya.
Mewartakan kabar sukacita dalam pengharapan, mau menegaskan juga bahwa apa yang diwartakan itu benar-benar mampu membawa seseorang kepada pembaruan hidup rohani yang bersifat batiniah dan menghantar ia untuk menemukan makna hidup yang sempurna atau sejati.
Dalam konteks ini pembaruan hidup yang dimaksud ialah dalam ranah pembaruan hidup dalam menyampaikan kabar sukacita yang membawa sebuah harapan bagi umat manusia tanpa terkecuali. Semangat yang dituntut dari setiap pribadi manusia ialah keterbukaan dalam menerima segala sesuatu, baik yang bersifat abstrak maupun realistis. Sebagai makhluk sosial, setiap orang dituntut agar mampu menjadi sesama bagi sesamanya dan tidak menonjolkan salah satu dari sifat atau karakter ke-relegius-annya dalam hidup bersama. Artinya, antara insan manusia yang satu dengan yang lain harus saling menghargai. Mengapa? Tidak lain ialah agar Ke-kristen-an yang melekat dalam semangat Kristus tersalib yang kita hidupi sebagai umat kristiani tidak menjadi batu sandungan bagi banyak orang (orang beriman lain).
Setiap pengalaman hidup dapat menjadi sebuah pengetahuan fundamental bagi setiap individu untuk bertindak. Pengalamanku memberi nuansa kehadiranku (Riyanto, 2013, 145). Dengan sendirinya pengalaman itu memampukan seseorang untuk memahami, mengerti dan sekaligus memberikan nuansa atau warna baru dalam pewartaannya sehingga apa pun bentuk pewartaan yang dilakukan itu tidak menjadi sesuatu yang seolah-oleh tak bermakna sama sekali. Hal ini tak terlepas dari konteks kabar sukacita yang membawa pengharapan bagi setiap insan yang mau menerimanya.
Pengalaman, apa pun nuansanya mau mengajarkan seseorang agar bertindak lebih bijaksana dalam mencari dan menemukan makna hidup sehingga setiap pengalaman hidup yang dilalui itu tidak terasa hampa atau berlalu begitu saja. Setiap pengalaman pasti selalu memberi sesuatu yang bermakna dalam peziarahan hidup. Walaupun terkadang dalam peziarahan hidup, kita sulit melihat sebuah pengalaman itu sebagai guru dalam hidup kita. Peziarahan hidup yang dimaksud dalam konteks ini tidak lain ialah keseluruhan hidup manusia. Bahwa dari keseluruhan hidup itu sebenarnya mau menegaskan juga apa yang diwartakan dalam hidup itu mampu membawa suatu pengharapan entah bagi individu itu atau bagi sesamanya.
Sebagai makhluk sosial juga, kita diharapkan agar senantiasa memelihara kesatuan dalam ikatan cinta kasih yang tak terbatas. Dengan kata lain ketika kita mengasihi sesama, kita tidak hanya mengasihi dan mencitai orang yang mengasihi atau mencintai kita. Sebab jika demikian apa bedanya kita dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah? (Bdk, Tentang ajaran iman Kristiani mengenai hukum cinta kasih. (Lih juga dalam Yoh. 15: 12-13) hampir sebagian besar isi kitab suci berbicara tentang pembaruan hidup khususnya berkaitan dengan hukum cinta kasih seperti yang dipraktikkan oleh Sang Guru Ilahi).
Apabila cara kita dalam mengasihi atau mencintai sesama demikian, maka sia-sialah kabar sukacita dalam pengharapan yang kita wartakan itu. Sang Guru ilahi mengajarkan kepada kita agar tidak hanya memberikan cinta kepada insan yang mencintai kita saja, tetapi Dia mengajarkan agar kita mampu mencintai siapa pun tanpa pilih kasih. Fondasi cinta kepada sesama adalah cinta kepada Tuhan (Riyanto, 2014, 62). Sebab, tugas mewartakan kabar sukacita merupakan tugas untuk menghadirkan cinta Allah (Bdk, Riyanto, 2014, 62).
Mewartakan kabar sukacita memang tidak mudah apalagi di tengah situasi seperti yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini. Setiap insan kadang-kadang harus menghadapi situasi yang sangat sulit dalam hidupnya. Hal semacam ini terjadi bukan semata-mata karena Tuhan ingin mencobai umatnya. Tetapi, sebaliknya ketika setiap kesulitan hidup itu mampu dihadapi maka iman seseorang akan semakin tangguh dalam menghadapi persoalan hidupnya. Sehingga ia tak mudah putus asa dan menyerah begitu saja ketika menghadapi badai kehidupan.
Kepustakaan
Alkitab Deuterokanonika. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2012.
Riyanto, Armada. Menjadi Mencintai Berfilsafat Teologis Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
---------------------. Katolisitas Dialogal Ajaran Sosial Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Salam Passio!
“SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU HIDUP DI HATI KITA”