September 2015 saya mendapat kesempatan berharga untuk ziarah ke tanah suci berkat kebaikan Pastor Paroki St. Philipus Rasul di Jakarta (P. Doni, CP) dan 28 umat paroki yang tergabung dalam grup ziarah saat itu. Sungguh merupakan sebuah pengalaman bernilai dan kenangan indah yang tersimpan rapih di hati dan jiwa saya. Ziarah di tempat-tempat suci di Mesir, Israel, Palestina dan Yordania membuat saya mengalami lebih dekat peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam Kitab Suci.
Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika kami diperkenankan untuk merayakan ekaristi di Gereja Segala Bangsa di Taman Getsemani. Sebuah Gereja indah yang didirikan di tempat di mana Yesus pernah berdoa dan mengalami sakrat maut seperti dikisahkan dalam Injil. Pada perayaan ekaristi yang penuh hikmat itu saya mengajak saudara-saudariku dalam grup untuk sejenak masuk dalam pengalaman Yesus di tempat itu pada malam sebelum Ia menderita sengsara dan wafat di kayu salib. Saya mengajak sudara-saudariku saat itu untuk merasakan apa yang Yesus rasakan dan masuk lebih dekat dalam pergumulan Yesus di keheningan malam, sendiri di taman itu. Pada waktu itu Roh Tuhan sungguh bekerja atas kami semua. Kami bisa merasakan beratnya pergumulan Yesus di taman itu dan tanpa terasa kami meneteskan air mata sebagai tanda haru, tanda mengerti, tanda syukur dan perasaan lainnya yang ada dalam diri kami saat itu.
Saat itu saya teringat akan sebuah artikel yang pernah saya baca waktu saya masih frater tentang istilah dalam dunia medis yang bisa melukiskan pergumulan Yesus sebagai manusia di taman Getsemani itu. Artikel itu menjelaskan bahwa dalam dunia medis situasi yang dialami Yesus dikenal dengan istilah ‘hematidrosis‘. Kondisi ini adalah peristiwa keluarnya darah melalui kelenjar keringat seseorang yang disebabkan oleh kondisi stres yang sangat besar. Lebih lanjut artikel itu menjelaskan bahwa penyebab utama hematridosis adalah rasa takut yang besar, pergumulan mental yang kuat dan pergulatan emosional yang mendalam terkait dengan sesuatu yang sudah, sedang dan akan terjadi. (*Bila ingin mengetahui lebih jelas tentang hematidrosis bisa dicari di google).
Penjelasan medis ini membawa kita pada pengertian mengapa Lukas yang adalah seorang tabib atau dokter mampu melukiskan secara lebih real pergumulan Yesus di taman Getsemani. “Yesus sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Lukas 22:44)”. Kita di sini menyaksikan sebuah kenyataan ‘titik terendah’ dari Yesus atau ketakutan yang paling dalam dari sisi “kemanusiaan” Yesus. Ketika berdoa, dalam dinginnya malam itu di Getsemani Yesus mengeluarkan keringat. Sebelumnya Yesus dengan terus terang menyampaikan perasaan-Nya kepada para murid : "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya (Matius 26:38)’. Ia yang biasa mengasingkan diri untuk berdoa seorang diri, malam itu meminta murid-murid-Nya menemaniNya : ‘Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku’(Matius 26:38).
Pergumulan Yesus tidak saja berkaitan dengan ketakutan bahwa Dia akan mati, tetapi lebih dari pada itu Yesus bergumul dengan kenyataan telah dikhianati oleh salah seorang dari murid-murid-Nya dan ditinggalkan seorang diri oleh murid-murid-Nya. Yesus bergumul dengan kenyataan yang akan terjadi bahwa Ia akan disangkal, ditolak, dicemooh, dihina dan disalibkan oleh orang-orang yang dikasihiNya dan bahkan oleh mereka yang pernah merasakan kasih dan kebaikan-Nya. Yesus bergumul sebagai manusia dalam ketakutan yang luarbiasa dan sulit digambarkan.
Pada malam itu Yesus mempunyai peluang untuk lari dari semuanya itu. Yesus punya kekuatan untuk mengumpulkan masa dan menghindari hukuman mati itu. Tetapi Ia dalam kerendahan hati menyerahkan semua yang akan terjadi kepada kehendak Bapa : ‘Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang akan terjadi’ (Luk 22:42). Yesus, seperti mengulangi apa yang pernah ibu-Nya, Maria ucapkan dalam pergumulannya ketika mendengar perkataan malaikat Gabriel : ‘Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu ‘ (Luk 1:38). Yesus juga mengulangi apa yang pernah Ia ajarkan dalam Doa Bapa Kami : ‘…datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu…’ (Mat 6:10). Ya, kehendak Bapa harus terjadi dan perkataan Yesus ini mengungkapkan kesediaan-Nya untuk menerima kehendak Bapa. Kesediaan untuk melaksanakan kehendak Bapa dengan memberikan hidup-Nya demi keselamatan umat manusia.
Refleksi kita sampai pada kenyataan bahwa kita mungkin pernah, sedang atau akan mengalami apa yang Yesus alami: dikhianati dan ditinggalkan seorang diri oleh orang-orang yang kita kasihi. Mereka yang mengkhianati dan meninggalkan kita bisa jadi adalah orang-orang yang sangat dekat dengan kita: keluarga, orangtua, anak-anak, suami, isteri, saudara, sahabat, teman, dan orang-orang yang kita percayai. Sekarang apa yang akan kita lakukan bila kita mengalami pengalaman kesendirian seperti Yesus di Getsemani? Apa yang kita lakukan ketika kesendirian itu menjadi semakin berat karena ditinggalkan oleh orang-orang yang kita kasihi dan tidak ada tempat bagi kita untuk berbagi beban?
Berhadapan dengan situasi demikian, sebagian orang mungkin memilih untuk mengeluh dan protes kepada Tuhan. Mereka mempertanyakan keberadaan, kuasa dan kasih Tuhan. Lalu mulai menghitung jasa-jasanya di hadapan Tuhan. Saya selalu berdoa setiap hari. Saya selalu ke Gereja pada hari Minggu. Saya memberi kolekte dalam jumlah besar. Saya membantu orang miskin. Saya memberi sumbangan untuk pembangunan Gereja. Saya sudah melakukan kehendak Allah dengan baik. Tetapi, mengapa semua ini menimpa hidup saya.
Di lain pihak dunia tempat di mana kita hidup menawarkan berbagai konsep menarik untuk menghadapi masalah. ‘Jika engkau mempunyai masalah lupakanlah!’ Caranya gampang : datanglah ke diskotik, minumlah minuman keras, nikmatilah narkoba maka engkau mampu melupakan masalah. ‘Jika seseorang menyakiti, mengkhinati, meninggalkan dan mengabaikanmu, buatlah perhitungan dengan sebuah balas dendam yang setimpal!’ Itu akan meringankan bebanmu. Atau ‘jika masalahmu terasa begitu berat dan kau tak dapat menanggungnya lebih lama, bunulah dirimu, habisi nyawamu!’ Itu akan mengakhiri masalahmu dan membuat dirimu terbebas dari kesendirian dan keterasingan.
Pertanyaannya adalah ‘apakah dengan mempertanyakan keberadaan Tuhan, meninggalkan, mengabaikan dan menyangkal-Nya masalah kita akan berakhir? Apakah dengan minum minuman keras dan menikmati narkoba masalah dapat diatasi? Apakah dengan balas dendam atau bunuh diri masalah selesai? Pada kenyataannya tidak demikian. Masalah tetap ada dan bahkan bertambah besar.
Getsemani mengajarkan kita bagaimana mengatasi masalah dalam hidup ini. Di Getsemani Yesus memberikan contoh bagaimana menghadapi kenyataan ketika kita ditolak, dikhinati, disangkal, diasingkan, diabaikan, dicemooh, dihina dan dilecehkan, bahkan ketika kita tidak bersalah. Getsemani adalah sekolah kehidupan yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam kesulitan, datanglah kepada Tuhan, ucapakan seuntai kata doa di hadapan-Nya, pasrahkan seluruh hidup kepada kehendak-Nya dan katakan pada-Nya: jadilah kehendak-Mu, Tuhan, bukan kehendaku! Tuhan akan melakukan bagian-Nya. Ia akan menetukan yang terbaik bagi kita menurut kehendak-Nya.
Marilah kita memberikan diri dan kehidupan kita seutuhnya kepada Tuhan agar menjadi persembahan yang hidup dan yang selalu berkenan kepada-Nya.
Salam Persaudaraan Pasionis…!!!
‘SEMOGA SENGSARA YESUS KRISTUS SELALU HIDUP DI HATI KITA’