Hidup Dan Karya Pasionis Di Indonesia

  • (Sebuah Permenungan atas Kehadiaran dan Praksis Hidup)
    Oleh : Fr. Fransiskus Nong Budi, CP
Author | Kamis, 23 Agustus 2018 13:18 | Dibaca : : 6260
Hidup Dan Karya Pasionis Di Indonesia

Pengantar

70 tahun Pasionis di Indonesia dan 25 tahun rumah pembentukan Pasionis di Malang merupakan rentang dan isi yang kaya. Kaya akan aneka halnya. Keutuhan dari kenyataan sering kali luput dari daya cerap dan abstraksi manusia. Berhadapan dengannya saya hendak mengekspresikan dalam kata “Kehadiran”. Meskipun tak pernah cukup – dan senantiasa demikian – dalam mengungkapkan realitas, tetapi perlu dikerjakan demi suatu pemaknaan.

Tulisan ini dihadirkan dalam kerangka kesadaran akan saat ini. Mengungkapkan Kehadiran sekarang. Kehadiran yang mengalir. Cara kerja yang demikian hendak mengatakan bahwa pembagian terhadap Kehadiran tak pernah tegas dan total. Meskipun demikian, usaha ke arah itu tetap diupayakan demi suatu pemaknaan yang lebih baik. Inilah yang sering dinamakan tonggak-tonggak kehidupan.

Kehadiran yang mengalir akan diurai dalam lima sub tema. Pertama tentang makna kehadiran. Poin ini hendak menelusuri apa yang disebut hidup dan karya. Bagian ini dapat dikatakan sebagai rangkuman kecil atas hidup dan karya. Kedua mengenai identitas kehadiran. Bagian ini mendalami subjek, tentu Pasionis itu sendiri. Selanjutnya disajikan konteks kehadiran. Konteks berbicara mengenai ruang atau rumah kehadiran, yaitu itu yang dengannya memungkinkan kehadiran. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah tema kecil tentang praksis kehadiran. Sub tema ini memberikan dua kunci utamanya, yaitu apa dan di mana. Kunci tersebut adalah penentu pemahaman kita akan Kehadiran yang sedang dibicarakan. Bagian terakhir dari tulisan ini merenungkan Kehadiran. Sebuah pemaknaan akan arah Kehadiran.

 

Makna Kehadiran

Hidup dan karya adalah ungkapan sederhana dari Kehadiran. Apa itu Kehadiran? Kehadiran tak sekedar ada. Ia tak pernah semata-mata memperlihatkan atau menampilkan diri. Bahkan ia tidak cukup sebagai hidup dan karya. Sebaliknya, Kehadiran itu kaya, terutama penuh makna. Ia penuh makna bagi seluruh kehidupan. Kehadiran ialah yang-mengalir tiada henti sampai ke hilir.

Namun bagaimanapun juga, syarat dari Kehadiran ialah ada, hidup, dan diri. Tanpa semuanya itu, Kehadiran tak dapat dibayangkan, apalagi dimaknai. Semuanya itu menuntun kita pada kelimpahan aliran. Kelimpahan aliran bagi setiap subjek dengan seluruh khazanah dan pesonanya.

Syarat pertama dari kehadiran perlu ditempatkan dalam kesadaran bahwa ia tak pernah sepenuhnya dipahami. Ia dapat diartikulasikan secara sangat variatif. Yang dibicarakan di sini tentu termasuk salah satu dari kekayaan tersebut. Maksudnya ialah yang mengalir secara melimpah dalam aliran iman Katolik sebagai rahmat Allah. Hal ini perlu dipahami pada lingkup Gereja sebagai Misi dan Misionaris. Lebih khusus mengenai Kehadiran Pasionis di kepulauan Nusantara.

Berawal dari Passion untuk menghadirkan kenangan yang hidup akan sengsara dan wafat Yesus Kristuslah, para Pasionis Provinsi Mater Sancte Spei – yang sekitar belasan tahun telah otonom dari provinsi Belgia – akhirnya secara yuridis memiliki sebuah daerah misi di Indonesia, yakni Ketapang di Kalimantan Barat. Hal ini terjadi pada senja tahun 1939.

Tentu tak boleh dilupakan begitu saja perjumpaan dua provinsial ini, P. Clemens, C.P. dan P. Anacletus, OFM Cap. Momentum ini dialami di Den Bosch. Perjumpaan yang menandakan Kehadiran. Buah dari upaya ini terwujud ketika P. Dominikus, C.P. yang menjabat sebagai provinsial memilih trio misionaris pertama, yakni P. Canisius Pijnapples, P. Theophile Seesing, dan P. Bernardinus Knippenberg. Namun karena alasan kesehatan, P. Theophile digantikan oleh P. Plechelmus Dullaert. Keberangkatan mereka pada 18 Juni 1946, kemudian tiba di Pontianak pada 26 Juli 1946 setelah singgah di Jakarta. Saat itu P. Gabriel W. Sillekens telah menjabat sebagai provinsial, tentu menggantikan yang sebelumnya.

Sebagai syarat pertama bagi kehadiran, pembicaraan kita tak luput dari apa yang disebut kesepakatan. Konteks Gereja, terutama Vikariat Apostolik Pontianak, serta kondisi Kongregasi Pasionis Provinsi Mater Sancte Spei, menjadi poin penting bagi sebuah Kehadiran. Belum lagi antara provinsialnya dengan setiap pribadi yang hendak diutus sebagai misionaris. Banyak hal luput dari pengamatan, tetapi pengalaman tentu lebih kaya dari aneka ungkapan apa pun.

Kehadiran tak hanya menyatakan bahwa seseorang ada atau sekelompok orang hadir pada waktu tertentu dan tempat tertentu. Kehadiran juga tidak sekedar memperlihatkan aktivitas atau tindakan, misalnya seperti pelayanan untuk para tentara yang dilakukan oleh P. Plechelmus dan P. Bernardinus sewaktu mereka singgah di Jakarta. Atau pun aktivitas bermisi ketiga misionaris Pasionis pertama tersebut di Ketapang, Suka Dana, dan Teluk Melano. Bahkan kehadiran Pasionis di berbagai daerah lainnya di Indonesia sampai sekarang. Kehadiran tak cukup demikian karena ia mengalir, terus mengalir, dan terus mengalir lagi. Kehadiran itu adalah aliran yang penuh makna. Kehadiran itu kaya, melebihi apa yang dilakukan. Sekaligus luas dan bebas melampauinya.

Lebih lanjut, kehadiran merupakan hidup. Karakter ini memberi suatu sumbangsih yang baru bagi kehadiran. Karena kehadiran itu adalah hidup, tentu ia lebih dari ada. Atau dapat diungkapkan sebagai kehidupan. Model kehadiran ini memberi warna baru. Karena kehadiran itu hidup, tentu ia menghidupkan pula. Ia memberi roh bagi ada. Meskipun demikian, keduanya adalah satu. Sebuah kesatuan yang menandakan Kehadiran. Dari sanalah manusia dipahami. Di dalam dan melalui manusia, kehadiran yang demikian menjadi bagian dari kita dan diam di antara kita. Oleh sebab kehadiran itu merupakan hidup, dengan sendirinya keseharian menjadi bingkainya. Kehadiran adalah keseharian.

Akhirnya yang paling nyata dari kehadiran ialah diri. Diri pertama-tama mengungkapakan keutuhan manusia. Cara berkata ini memuat di dalamnya pribadi, subjek, sekaligus isi. Muatan ini dapat dimaknai dengan dua model, yakni keterpisahan dan keterpaduan. Keterpisahan dari subjek maksudnya ialah subjektivitas persona manusia. Subjek dengan demikian menampilkan karakter khasnya. Lantas isi dari keterpisahan memaksudkan daya atau kapasitas diri. Sementara itu, pribadi sebagai keterpaduan mengacu pada solidaritas komunal dari diri. Diri dalam kebersamaan yang melahirkan dan dihidupinya. Kemudian subjek keterpaduan menggambarkan ikatan jiwa yang mempersatukan sekaligus memberi kekuatan inspiratif bagi kehadiran. Isi keterpaduannya ditemukan pada kebenaran yang disampaikan dan diupayakan. Selain menampakkan intergritas persona, diri juga mengomunikasikan ikatan kebenaran bersama. Bahkan diri menghadirkan pesona Diri, yaitu gambaran kebaikan yang terpancar dari Kebaikan tertinggi, kebaikan Allah sendiri.

 

Identitas Kehadiran

Identitas merupakan DNA-Kehadiran. Identitas sebagai ciri khusus dari subjek-kehadiran. Subjek yang hendak ditampilkan di sini ialah itu yang lahir atau keluar dari sengsara dan salib Yesus Kristus sekaligus kebangkitan-Nya. Subjek dengan demikian dapat dinyatakan sebagai buah sengsara dan salib. Sengsara dan salib sebagai dimensi yang tampak dari misteri Kristus. Yang dimaksud ialah Pasionis.

Identitas tak lain sebagai sumber Kehadiran. Sumber yang darinya dan dengannya subjek menjadi-menuju. Identitas yang demikian menjadi seperti sebuah jembatan, yang dengannya sesuatu dapat menyeberang atau melintas. Karena sebagai sarana penyeberangan, subjek sudah barang tentu dapat mengatasi atau melampaui dirinya. Ia sendiri dapat menyeberang pada penyeberangan itu dan bersama dengan yang lain dalam Kehadiran.

Identitas tentu bukan sebuah heuristika. Ia tak mengancam dengan Kehadirannya. Ia juga tak menakut-nakuti, melainkan bersama entitas dalam Kehadiran untuk masuk, bertemu, dan bercakap-cakap tentang kedalaman mereka sendiri dan dengan kedalaman itu. Kedalaman yang sejatinya selalu bersama mereka sehari-hari. Kedalaman itu tinggal di balik keseharian. Sungguh dalam keseharian. Di hadapan keseharian identitas tampak secara jelas, tak ada yang tak kelihatan.

Identitas sejatinya didasarkan secara kokoh pada Kehadiran. Kehadiran yang dirujuk di sini ialah landasan berpijak. Landasan itu memiliki dua sudut, yakni kebebasan dan totalitas diri bagi Kehadiran. Kebebasan bukan yang bertipe anarkis, tetapi yang sejati. Kesejatiannya terdapat dalam dayanya, keberanian, ketakterikatan, kesungguhan, dan kekonsistenan untuk memasuki Keseharian. Sementara itu, totalitas diri ialah keseluruhan dari ada dihadirkan secara penuh dalam dan bagi Kehadiran. Pola Kehadiran tak bersyarat dan tanpa batas. Sebuah Kehadiran yang melimpahi karena ia senantiasa mengalir. Karena karakter inilah identitas dapat mengatasi diri, menyeberangi diri, menjembatani diri, dan memacarkan pesona Diri.

 

Konteks Kehadiran

Kehadiran meruang dalam rumah Kehadiran. Salah satu orientasi dari passion – sebagaimana dialami oleh para penggagas misi Pasionis di Indonesia – menandakan bahwa Indonesia menjadi ‘yang-terpilih’ dari antara yang lain. Keterpilihan ini menjadi potensi Kehadiran. Sekaligus juga ia menjadi arah bagi Kehadiran. Ia menjadi demikian karena dengannya dan di dalamnya Kehadiran berada. Secara nyata dapat diartikulasikan dalam manusia dan seluruh dinamika perwujudannya dalam hidup. Manusia dan cara adanya (peradaban) sebagai artikulasinya yang lain. Di sinilah locus perjumpaan Kehadiran.

Indonesia yang kaya akan manusia dan cara adanya menjadikan misi dan misionaris sebagai rekan elaborasi yang hebat. Elaborasi yang hebat bukan karena keberhasilannya semata, tetapi lebih karena keseharian yang mereka kerjakan dan upayaka bersama. Ada kemajuan, kegagalan, dan kekecewaan, namun semua itu menjadi upaya elaboratif dari Kehadiran. Tentu di banyak bidang dan aspek upaya itu terwujud atau paling kurang diterapkan.

Kekayaan manusia dan cara adanya terpatri dalam khazanah manusia Indonesia. Manusia yang terus bergelut dengan kehadiranya sendiri dalam tanah airnya. Kekayaan itu ditemukan dalam kenyataan karena memang kenyataan itu suatu kekayaan bagi setiap perjumpaan. Ia akan mengejutkan bagi sebagian orang, memesona bagi orang tertentu, menjadi tanda tanya bagi yang lain lagi, bahkan mengingatkan bagi sebagian orang akan apa yang menjadi karakter adanya pada momentum lain dan sebelumnya. Kekayaan inilah locus Kehadiran. Tempat yang dihidupi sekaligus digeluti dalam realitas Kehadiran.

Konteks Kehadiran tentu membawa kita pada sebuah pemahaman manusia (anthropos). Suatu wahana yang sangat kaya dan memesona bagi setiap perjumpaan dan tentu bagi Kehadiran itu sendiri. Pada momentum perjumpaanlah, setiap orang semakin mengenal dirinya, mengenal diri sebagai manusia dan yang terpenting bagi para misionaris ialah manusia di hadapan Allah. Perjumpaan memperkaya manusia, sekaligus merangsang daya abstraksi dan interpretasinya.

Selain kesadaran tersebut, kita juga sampai pada apa yang disebut usaha mendalami atau menyelami realitas perjumpaan. Di sana ada tuntutan untuk membiarkan diri larut atau tenggelam terlebih dahulu dalam realitas Kehadiran. Kemudian diharapkan pula upaya bersama untuk menggarami dan menerangi Kehadiran itu. Dari sebab itu, persahabatan yang akrab dengan realitas Kehadiran adalah tak terelakan karena subjek kehadiran adalah pembelajar dan pengajar kehidupan. Tuntutan ini sama sekali bukan penyudutan manusia, melainkan membawa anthropos pada manusia baru dalam Kristus.

 

Apa dan Di Mana: Praksis Kehadiran

Apa dan di mana merupakan pertanyaan penting dalam praksis kehadiran. Pertanyaan yang membawa kita pada pemahaman akan Kehadiran. Malah harus dikatakan sebagai pertanyaan yang menggiring kita secara lebih baik kepada pemaknaan terhadap Kehadiran. Sub tema ini hendak mengurai dua pertanyaan tersebut.

Pertanyaan pertama, yaitu ‘apa’, hendak menyatakan tanda Kehadiran. Kehadiran dengannya menjadi lebih jelas.

Kebersamaan dalam Kehadiran. Ini merupakan praksis yang senantiasa diupayakan dan akan terus diupayakan karena sebagai fondasi Kehadiran. Kehadiran berwarna dan bermakna karena kebersamaan. Kebersamaan ini sama sekali tak ditempatkan pada lingkaran terluar kesenangan, melainkan berada pada inti Kehadiran itu sendiri, yakni manusia sebagai entitas kebersamaan dan kakarakter unik imannya sebagai persekutuan orang-rang percaya. Kebersamaan ini memuat banyak aspek di dalamnya, seperti spiritualitas keakraban dan kesederhanaan, kerja keras, keheningan dan doa, serta revisi kebersamaan dalam Kehadiran.

Oase rohani. Praksis Kehadiran ini menjembatani umat beriman menuju suatu kesadaran akan perjalanan hidup mereka. Praksis yang mengondisikan seseorang dalam dirinya sendiri di hadapan Allah. Upaya ini dikerjakan secara pribadi atau sebagai kelompok. Upaya yang membuat seseorang menarik diri dari aktivitas hariannya, lalu memasuki suatu ‘rutinitas baru’ yang unik dan kaya baginya.

Bersama menjadi umat Allah. Praksis kehadiran ini merupakan momentum bagi umat Allah merenungkan iman dan hidupnya. Suasana yang dikondisikan untuk umat beriman mengalami ‘tanah terjanji’ yang kelimpahan susu dan madu rohaninya. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai ret-ret umat atau yang lebih umum dikenal sebagai Misi Umat (Misio Populis). Inilah waktu pendalaman iman dan pendalaman kehidupan. Pada kesempatan ini umat tak hanya dihantar pada kekayaan rohani Gereja, tetapi juga menikmati panorama kehidupan. Upaya ‘memberanikan’ kesadaran akan dialektika keseharian dan praksis Kehadiran.

Keberpihakan pada kaum tersalib. Praksis ini menjadi salah satu dari kekayaan Kehadiran juga. Pewartaan dengan segala isinya menjadi lebih nyata pada usaha ini. Praksis ini umumnya diartikulasikan sebagai Karya Kasih. Jalan yang telah diupayakan dan senantiasa dikaji dalam Kehadiran. Aneka bantuan diperjuangkan dalam Kehadiran bagi kaum tersalib. Salah satu yang nyata seperti menghantar orang keluar dari kegelapan gua melalui tangga pendidikan. Kemudian di tempat lain terdapat pula bantuan pada bidang kesehatan. Juga pada kesempatan lain menyelamatkan kehidupan kaum tersalib. Upaya yang kiranya bermakna dalam Kehadiran dan senantiasa harus selalu ‘diperjuangkan’ secara lebih baik dan lebih luas pada yang kritis dan nyaris tak berdaya.

Edukasi Kehadiran. Praksis ini merupakan aspek yang terpadu dan terus dikembangkan menuju dua arah. Edukasi ke dalam dan ke luar. Edukasi ke dalam memaksudkan formasi religius, sementara edukasi ke luar mengacu pada upaya mendidik yang lain – terutama generasi muda – berdiri dalam kehidupan dan berjalan dalam Kehadiran demi cita-cita sejati yang dirindukan dan dikejar oleh setiap insan.

Terlibat dalam promosi Kehadiran bersama. Praksis ini sebagai perwujudan dari upaya menjadi komunitas dunia, kita dalam dunia. Praksis yang tentu lahir dari permenungan dan pemaknaan akan “penderitaan Kristus, penderitaan manusia, dan penderitaan dunia.” Inilah yang juga diupayakan bersama oleh banyak pihak di berbagai belahan bumi, yaitu keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Berziarah bersama Gereja lokal. Praksis terakhir ini bukan sebagai karakter utama, melainkan sebagai bagian dari kehadiran sekarang dan di sini. Sebuah praksis Kehadiran yang aktual-kontekstual. Kehadiran tak boleh menegasi kebersamaan kita saat ini dan di sini. Upaya ini dinyatakan dalam perwujudan Kehadiran bersama Gereja lokal, Gereja Katolik di Indonesia. Sengsara dan penderitaan Kristus di Indonesia.

Selanjutnya kita tiba pada pertanyaan kedua, yakni ‘di mana’. Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan simbolis bagi Kehadiran. Pertanyaan yang dengannya membuat pemaknaan kita akan Kehadiran lebih aktual. Kehadiran itu sendiri sangat kaya, ia tak dapat dirangkum oleh kata lain, selain pertanyaan kedua tersebut. Kekayaan Kehadiran paling kurang disimbolkan dalam pertanyaan ‘di mana’. Pertanyaan ini akan diurai dalam tonggak Kehadiran, meskipun tak begitu tepat, tetapi demikianlah cara terbaik bagi pemaknaan kita. Pertanyaan kedua ini akan dijawab dalam kerangka panorama Kehadiran Pasionis di Indonesia.

Tonggak-tonggak Kehadiran menjadi cara yang kita pilih. Pertanyaan ‘apa’ menggiring kita untuk melihat panorama Kehadiran. Panorama ini dapat dikatakan sebagai perjalanan yang menjadi tonggak-tonggak Kehadiran. Berikut akan diuraikan secara singkat gambaran Kehadiran Kongregasi Pasionis di Indonesia.

 

Pasionis hadir di wilayah Prefektur Apostolik Borneo

Wilayah prefektur ini mencakup seluruh Pulau Kalimantan. Pontianak menjadi pusat prefekturnya. Prefek pertamanya ialah Mgr. Pacifikus Bos, OFM Cap. Pada 12 Mei 1938 Pontianak berubah status menjadi Vikariat Apostolik (mencakup Kalbar). Pada saat yang sama pula dibentuk Prefektur Apostolik Banjarmasin (mencakup Kaltim dan Kalsel). Prefektur Apostolik terakhir ini kemudian menjadi Vikariat Apostolik Samarinda pada 10 Maret 1949. Sementara itu, Sintang menjadi Prefektur Apostolik pada 11 Maret 1948 dan kemudian menjadi Prefektur Apostolik pada 23 April 1956.

Karena Kalimantan Barat itu sendiri masih sangat luas untuk dilayani oleh Misionaris Kapusin, makan Pasionis diundang juga berkarya di sana. Saat itu Mgr. Tarcisius van Valenberg, OFM Cap. menjadi prefek apostoliknya. Bagian Selatan dari daerah Kalimantan Barat belum mendapat pelayanan yang maksimal, yakni daerah Ketapang. Tempat inilah yang kemudian menjadi daerah misi Pasionis. Secara yuridis, wilayah ini menjadi tempat misi bagi Kongregasi Pasionis Provinsi Mater Sancte Spei (Belanda) sejak akhir 1939. Namun kehadiran yang nyata baru terjadi sesudah Perang Dunia II, tepatnya pada 26 Juli 1946. Tiga misionaris Kongregasi Pasionis hadir dan siap bermisi di wilayah Vikariat Apostolik Pontianak.

P.Plechelmus Dullaert, CP bermisi di Ketapang dan P. Canisius Pijnapples, CP bermisi di Nyarumkop. Sementara P. Bernardinus Knippenberg, CP – yang saat itu telah ditunjuk sebagai superior misi – untuk sementara tinggal di Pontianak demi aneka hal terkait urusan misi sekaligus pendalaman bahasa Hak Lo (Bahasa Tionghoa). Beliau baru tiba di Ketapang pada 1 Oktober 1946. Kedua misionaris Pasionis yang pertama tiba di Ketapang kemudian bertugas di Tumbang Titi, sementara superior misi menetap di Ketapang (pusat kota) untuk melayani umat Tionghoa. Ketiga misionaris ini tetap dibantu oleh dua misionaris Kapusin dalam pelayanan umat, yakni P. Martinus dan P. Leo de Jong.

Tahun 1948 dibuka daerah misi baru di Randau dan pada awal tahun berikutnya di Tanjung. Kemudian tahun 1953 dibuka daerah misi baru di Sepotong (Sungai Laur). Namun sebelum itu, P. Raphael Kleyne, CP telah diangkat menjadi Vikarius Delegatus untuk daerah misi Ketapang. Namun karena beliau meninggal pada kecelakaan kapal “Bintang Timur” di Sungai Udang, di Teluk Nangka, maka jabatan ini digantikan oleh P. Gabriel Wilhelmus Sillekens, CP – sebelumnya adalah provinsial. P. Raphael tiba di Ketapang pada 11 Juli 1947.

Para bruder Pasionis juga turut berkarya, antara lain Br. Gaspard de van der Schuren, Br. Florentius Zwanenburg, dan empat bruder lainnya. Para bruder berkarya di bidang pertukangan, perkebunan, perbengkelan, elektronik, pendidikan (asrama), dan aneka pembangunan lainnya.

Singkat kata para misionaris Pasionis terus bermisi. Dalam rentang waktu tiga tahun (1948-1951) sejak kedatangan P. Raphael, telah hadir 9 misionaris baru, yakni 8 orang imam dan seorang bruder. Kemudian dua tahun berikutnya masih ditambah 6 misionaris (1952-1953), yakni 5 orang imam dan seorang bruder. Selanjutnya dari tahun 1964-1968 datang lagi 8 misionaris, yakni 5 orang bruder dan 3 orang imam. Akhirnya 2 misionaris terakhir datang pula ke Ketapang pada tahun 1970. Mereka adalah P. Abel Tinga dan P. Johan Verbeek. Jadi, dapat disimpulkan di sini bahwa sejak 1946-1970 telah hadir dan bermisi 29 orang misionaris, yang terdiri dari 22 orang imam dan 7 bruder. Aneka buah dari misi telah dirasakan hingga sekarang. Buah yang tak dapat dilupakan ialah Ketapang. Dari daerah misi, kemudian vikaris misi, menuju Prefektur Apostolik (14 Januari 1955) – bersama P. Raphael Kleyne, CP dan juga P. Gabriel Wilhelmus Sillekens, CP, dan akhirnya menjadi Keuskupan Ketapang. Mgr. Gabriel Wilhelmus Sillekens, CP adalah uskup pertamanya (ditahbiskan pada 17 Juni 1962).

Bahkan di wilayah Prefektur Apostolik Pontianak, oleh para Misionaris Pasionis Provinsi Mater Sancte Spei (Belanda) dan kemudian diteruskan serta dikembangkan dengan sangat baik oleh para misionaris Pasionis dari Provinsi Maria Sancti Sima della Pieta/PIET (Italia), dikembangkan juga sebuah wilayah Prefektur Apostolik lain, yakni Sekadau (24 Agustus 1968). Kemudian wilayah ini – karena Hierarki Gereja Katolik Indonesia ditegakkan pada 3 Januari 1961, maka Vikariat Apostolik Borneo menjadi satu Propinsi Gerejawi – menjadi Keuskupan Sanggau. Sanggau diangkat menjadi keuskupan sejak 10 Juli 1982, dengan seorang Administrator Apostolik – sekaligus uskup agung Pontianak, yakni Mgr. Hieronymus Bumbun, OFM Cap. Mgr. Giulio Mencuccini, CP menjadi uskupnya hingga sekarang (ditahbiskan pada 3 Juni 1990).

“Keuskupan Sanggau” adalah kata yang tepat – meskipun tak sempurna – untuk meringkas Kehadiran Pasionis di wilayah Prefektur Apostolik (sekarang Keuskupan Agung) Pontianak. Pasionis Provinsi Maria Sancti Sima della Pieta (Italia) telah mengirimkan para misionarisnya ke tanah misi Borneo. Sejak 15 April 1961 P. Cornelio Serafini, CP dan P. Marcello Di Pietro, CP hadir di Ketapang. Kemudian melanjutkan tugas mereka di Sekadau pada 19 Oktober 1961. Bahkan 25 misionaris mereka yang lain terus berdatangan dari tahun 1963-1984. Dari para misionaris itu (27 orang), 2 orang di antaranya adalah bruder, sisanya imam. Seorang dari para imam itu kemudian terpilih menjadi uskup keuskupan Sanggau. Tentu telah banyak hal yang dilakukan oleh para misionaris untuk tanah misi Sekadau dan bagian selatan Sungai Kapuas.

Perlu dicatat di sini bahwa para misionaris dari Belanda ditengah kesibukan bermisinya telah ‘melahirkan’ juga seorang imam Pasionis pertama dari Indonesia. Dialah P. Canisio (Kanisius) Setiardjo, CP. Beliau berasal dari Jogja (Jawa Barat), menjalankan masa Novisiatnya di Belanda tepatnya di Maria Hoof. Ia mengikrarkan profesi pertamanya pada tahun 1953 dan ditahbiskan imam pada tahun 1959 di Mook, Belanda. Ia kembali ke Indonesia dan bertugas di Sekadau, Lintang, dan Sepotong. Beliau juga pernah menjabat sebagai sekretaris Duta Vatikan di Jakarta. P. Canisio juga merupakan misiolog lulusan Roma. Sangat disayangkan bahwa ia meninggal dunia pada 30 September 1973 pada usia yang muda, yakni 41 tahun.

Sementara itu, misionaris dari Italia juga berhasil ‘melahirkan’ imam dari daerah setempat, yakni P. Benediktus F. Bitus, CP. Ia termasuk salah satu dari keempat orang yang dikirim ke Italia untuk menjalani masa Novisiat. Ketiga temannya yang dikirim ke Italia ialah Albertus Ajung, Agus Suwabyono, dan Kristoforus Warsito. P. Bitus ditahbiskan imam di Sekadau oleh Mgr. Hieronymus Bumbun, OFM Cap pada 20 Maret 1982. Juga dua tahun kemudian dua orang bruder mengikrarkan kaul kekalnya dalam Kongregasi Pasionis, yakni Br. Yosep Taban, CP dan Br. Paulus Aloanto, CP (26 Februari 1984).

 

Pasionis Membentuk Vikariat Regional Jenderal “Maria Ratu Damai” Indonesia

Setelah sekian lama bermisi, para misionaris pun membentuk diri sebagai implikasi internalnya. Para misionaris Pasionis dari Provinsi Maria Bunda Pengharapan Suci/SPEI (Belanda) telah membentuk Vikariat Regional “Sang Penebus”. Para misionaris juga mendirikan Biara Pasionis “St. Yosep” di Ketapang. Biara ini diresmikan pada 27 Ferbruari 1968. Sementara itu, para misionaris dari Provinsi Maria dari Bunda Berbelaskasih/PIET (Italia) juga berhasil membentuk Vikariat Regional “Sakramen Mahakudus”. Para misionaris juga telah mendirikan biara Pasionis “St. Paulus dari Salib” di Sekadau. Biara ini diresmikan pada Mei 1974. Vikariat Regional Jenderal kemudian menaruh perhatian pada formasi religius Pasionis. Dipilih dan didirikanlah rumah formasi di Jawa Timur. Biara Pasionis “St. Gabriel dari Bunda Berdukacita” Batu. Biara ini diresmikan pada 9 Oktober 1981. Seminari Tinggi Pasionis Mater Sancte Spei Tidar – Malang. Biara ini didirikan tahun 1985 (kemudian dijual kepada Susteran ALMA). Seminari Tinggi Pasionis “Bt. Pius Campidelli” Bandulan – Malang. Biara ini diberkati pada 18 November 1991. Sebagai pusat vikariatnya, didirikan sebuah biara di Tomang Barat – Jakarta pada tahun 1993.

Buah-buah formasi religius mulai tampak, tahun 1985 dua orang imam ditahbiskan, yakni P. Lukas Ahon, CP dan P. Nikodemus Sandong, CP (23 Maret 1985). Tahun berikutnya bertambah seorang imam, yakni P. Yulius Jumaeri, CP (26 Juli 1986). Tahun berikutnya seorang bruder mengikrarkan kaul kekal, yaitu Br. Yovinianus Abui, CP (9 Agustus 1987). Kemudian tiga orang imam ditahbiskan pada 16 September 1989, yaitu P. Kanisius Pius, P. Pius Barces, dan P. Sabinus Lohin. Pada tahun yang sama seorang bruder terlebih dahulu mengikrarkan kauk kekalnya, yaitu Br. Ambrosius Lugim (2 Juli 1989).

Begitulah seterusnya dari tahun ke tahun selalu ada kaum muda yang menggabungkan diri dengan lembaga religius ini. Tercatat bahwa dalam rentang waktu 1990-1999 sebanyak 36 imam yang ditahbiskan. Satu dari antaranya kemudian keluar. Juga 11 bruder yang bergabung, tetapi 3 dari antaranya kemudian mundur. Jadi, dalam rentang waktu tersebut telah menghasilkan 61 religius, karena dari 109 yang bergabung terdapat 48 yang menempuh jalan lain. Kemudian dari tahun 2000-2009 tercatat 20 religius yang bergabung. Dari 75 yang bergabung, kemudian 55 mundur. Dari antaranya terdapat 35 imam yang ditahbiskan. 2 dari antaranya keluar. Juga 35 bruder yang bergabung, namun 10 dari antaranya mundur. Dari tahun 2010-2016 terdapat 19 imam yang ditahbiskan, tiga di antaranya keluar. 9 Orang bruder, namun 2 yang masih bertahan.

 

Vice Provinsi Maria Ratu Damai Indonesia

Dalam perjalanan waktu status Vikariat Regional dinaikkan menjadi Vice Provinsi Maria Ratu Damai Indonesia. Hal ini dinyatakan dengan jelas pada surat-surat terkait pengangkatannya. Misalnya pada surat permohonan kepada superior jenderal untuk pengangkatan Vikariat ke Vice Provinvinsi Ratu Damai Indonesia (No 202/IX/2002), dinyatakan dengan jelas bahwa berdasarkan empat aspek, yakni personal dan rumah religius, karya apostolik, ekonomi, dan prospektif ke depannya, para religius dari Vikariat mengajukan permohonan untuk dinaikkan statusnya. Demikian juga dalam surat pengangkatan status Vice Provinsi kepada Vikariat Jenderal Maria Ratu Damai Indonesia (4 November 2002), P. Ottaviano D’Egidio, CP – selaku Superior Jenderal Kongregasi Pasionis – mengangkat status Vikariat Jenderal Ratu Damai Indonesia menjadi Vice Provinsi.

Dalam periode Vice Provinsi didirikan juga biara Pasionis Skolastik “St. Vinsensius Maria Strambi” di Tajung Hulu – Pontianak. Biara ini didirikan tahun 2002 untuk pembinaan para frater post-pastoral. Didirikan juga pusat Vice Provinsi yang baru di Jakarta, di Tomang. Di samping itu, para Pasionis juga berkarya di beberapa paroki baru, seperti St. Hieronimus Tanjung Hulu dan St. Fidelis Sungai Ambawang, keduanya di Keuskupan Agung Pontianak. Lalu di paroki Santa Maria Magdalena Nangahure, Keuskupan Maumere. Paroki Kota Baru, Keuskupan Banjarmasin (sejak 2015 tidak lagi berkarya di sana). Paroki Bandar Sakti, Lampung, Keuskupan Tanjung Karang.

Setelah pengangkatan itu Kongregasi mengalami pertumbuhan yang bagus secara kualitas dan kuantitas, dalam keanggotaan dan karya. Pasionis hadir pula di Keuskupan Sintang, yakni di Paroki St. Fransiskus Xaverius (Semitau) dan Paroki St. Fidelis (Sejiram). Dibangun pula rumah ret-ret, yakni Pusat Spiritualitas Pasionis (PSP) “Paulus VI” di Bandulan Malang dan Pusat Spiritualitas Pasionis (PSP) Mater Sancte Spei di Nilo, Maumere, Flores, NTT. Juga sebuah rumah ret-ret di Arca Gadog, Puncak, Bogor.

 

Provinsi Maria Ratu Damai (REPAC) Indonesia

Melihat aneka perkembangan dalam Vice Provinsi, maka pada 12 Mei 2006 mewakili seluruh religius, P. Sabinus Lohin, CP – sebagai Vice Provinsial – bersama dewannya mengajukan permohonan pengangkatan status yuridis menjadi provinsi kepada superior jenderal. Jawaban ini diberikan dalam Kapitel Jenderal Kongregasi Pasionis ke-45 (1-22 Oktober 2006 di Roma). Pada saat itu juga vice provinsi diangkat menjadi Provinsi Maria Ratu Damai (REPAC). Hal ini dinyatakan dalam dekrit pengangkatan yuridis Provinsi Mari Ratu Damai, yang bertepatan dengan Hari Raya Pendiri Kongregasi Pasionis, St.Paulus dari Salib, tanggal 19 Oktober 2006.

Sebagai provinsi baru dan termuda dalam Kongregasi Pasionis (Prov. Ke-25 dalam Kongregasi Pasionis), Provinsi Maria Ratu Damai (REPAC) – yang pada 19 Oktober 2016 genap berusia 10 tahun – mengalami berbagai perkembangan. Provinsi Maria Ratu Damai juga menaruh perhatian untuk Wilayah Timur Indonesia. Pada 2011 Pasionis berkarya juga di wilayah Keuskupan Agung Ende, tepatnya di Paroki Jawa Kisa – Rendu. Terakhir, Pasionis berkarya juga di Keuskupan Larantuka, tepatnya di Tanjung Bunga, ujung timur Pulau Flores (2016).

Selama 10 tahun, Provinsi Maria Ratu Damai melahirkan 22 orang imam. Seluruhnya 27, tetapi 5 keluar selama periode itu. Sementara itu, para bruder yang bergabung ke dalam Kongregasi sebanyak 14 orang, 9 dari antaranya mundur dalam rentang waktu tersebut. Jadi, selama 10 tahun, terdapat tambahan 27 religius Pasionis. Berdasarkan data terakhir provinsi (Des 2015), terdapat 172 religius Pasionis Provinsi Maria Ratu Damai. Berkarya di 12 Keuskupan di Indonesia, di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa, Flores, dan Sumatra Selatan. Pasionis Provinsi Maria Ratu Damai juga telah mengirimkan misionarisnya ke Vietnam, Papua New Guinea, Argentina, Peru, dan Italia.

 

Orientasi Kehadiran

Passio Christi Urget Nos – Sengsara Kristus Mendesak Kami – menjadi spirit atau roh pewartaan Verbum Crucis (Sabda Salib) dalam rangkaian Passio Domini Nostri Iesu Christi (Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus). Para Pasionis tak hanya mewartakan Kristus Tersalib, tetapi lebih dari itu harus sungguh-sungguh masuk terlebih dahulu dalam pengalam “Disalibkan Bersama Yesus” sebagaimana Paulus dari Salib berseru, “... solo che desidero d’esser crocifisso con Gesu.” (... satu-satunya hasratku ialah disalibkan bersama Yesus). Hal ini sesuai dengan persyaratan kemuridan yang diberikan oleh Yesus sendiri. “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mat. 16:24). Atau dalam bentuknya yang lain, “Barang siapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat. 10:38, Bdk. Luk. 14:27).

Generasi yang satu datang, generasi yang lain pergi. Memoria Pasionis terus diwartakan. Namun setiap generasi tentu memiliki makna dan pemaknaannya sendiri, entah untuk mereka atau yang lain. Pertanyaan yang harus kita ajukan di sini ialah “Quo vadis?” Arah dari pertanyaan ini tak pernah dapat ditegaskan secara pasti. Kita tak seperti serigala yang mempunyai liang atau burung yang mempunyai sarang. Kita berjalan semata-mata dalam perjalanan iman. Perjalanan yang seperti diperintahkan Allah kepada Abraham. Namun kita tetap percaya, bahwa keadaan kita sekarang adalah bukti terbaik yang kita miliki. Bukti bahwa kita dibimbing dan diberkati oleh Tuhan.

Arah Kehadiran ditemukan selalu dalam terang iman. Demikian pun dengan maknanya. Makna terbaik Kehadiran ialah bahwa kita di hadapan Allah, berziarah bersama menuju Allah dengan terang Kristus.

 

Salam Passion!!!

“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”

 

 

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment