Pius Campidelli menjawab “ya” bagi kehendak Allah dalam hidupnya, berusaha menempatkan Kabar Baik Yesus dalam praktek di mana ia berada dan di antara teman-temannya, memancarkan pengharapan terus-menerus dan kegembiraan dalam hidup, menghargai hubungan antara Gereja dan wakilnya, tanah air dan bangsanya yang tercinta.
Demikianlah alasan mengapa Gereja memutuskan untuk membeatifikasinya sekaligus menjadikannya model dalam Tahun Orang Muda Sedunia (International Year of Youth) 1985. St. Yohanes Paulus II, ketika masih menjadi paus waktu itu, menyatakan bahwa pencarian orang muda masa kini hampir tersembunyi di balik kehidupan yang sangat biasa dari Pius Campidelli.
Tidak ada yang luar biasa
Pius Campidelli merupakan orang termuda yang dibeatifikasi pada Tahun Orang Muda Sedunia (International Year of Youth) 1985. Dia telah meninggal pada tahun 1889 dalam usia 21 tahun. Sudah banyak orang kudus yang dikanonisasi dengan berbagai alasan, misalnya mati demi iman dan keyakinannya, pengabdian rasul cinta kasih dan pelayanan orang miskin, serta menjadi pemimpin-pemimpin terkemuka dalam kehidupan Gereja atau masyarakat. Namun, kebaikan seperti itu juga sering tersembunyi dalam kemasan yang sangat biasa.
Keluarga Campidelli merupakan keluarga petani miskin. Pasutri Giuseppe dan Filomena (Belpani) Campidelli tinggal di Trebbio, sekitar 18 km di sebelah timur pesisir Ramini, dan 20 km di sebelah barat Pegunungan Republic San Marino, di Italia Tengah. Mereka dikaruniai enam anak, dua laki-laki dan empat perempuan, tetapi salah satu putrinya meninggal saat masih bayi. Liugi adalah anak ke-4 yang lahir pada 29 April 1868.
Keluarga Campidelli adalah keluarga Katolik yang taat dan sungguh beriman. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa anak-anak mereka dididik dengan baik secara Katolik. Setiap pagi dan sore mereka berdoa, saat makan, dan pada berbagai kesempatan lainnya. Doa Rosario mereka lakukan setiap hari pula. Sementara Misa Hari Minggu adalah jadwal tetap mereka, meskipun harus berjalan jauh ke Gereja paroki. Keluarga Campidelli hidup dalam ketaatan iman, kehangatan cinta, dan semangat kerja keras.
Pada bulan Agsutus 1874 Giuseppe Campidelli mengalami demam tifoid dan akhirnya meninggal. Kini Filomena hanya bersama kelima anaknya sendirian, saat itu Liugi berusia enam tahun. Tetapi, masih beruntung karena Michael, paman Luigi bersedia mengambil alih pekerjaan pertanian yang ditinggalkan saudaranya. Ketika Liugi sudah cukup dewasa untuk melakukan pekerjaannya, Liugi (“Gigino”, begitulah dia disapa) tidak pernah mengeluh tentang panas, berjam-jam, tetap melakukannya. Hal ini membuatnya sakit demam dan wajahnya sangat pucat. Terpaksa ia harus beristirahat. Setelah sembuh ia tidak lagi melakukan pekerjaannya yang semula, melainkan menggembalakan ternak, membuat keju dan anggur. Tidak ada yang luar biasa darinya, hanyalah kebaikan dasar manusia.
Menemukan panggilan
St. Yohanes Paulus II, saat masih menjadi paus, dalam surat apostoliknya kepada orang muda sedunia, mengatakan bahwa masa muda adalah saat untuk menemukan, memilih, mengatur, dan membuat keputusan pribadi untuk pertama kali secara mendasar. Pengambilan keputusan dalam masa ini merupakan bentuk tanggapan atas pertanyaan, “Apa yang harus saya lakukan supaya hidup saya bermakna?” Keputusan ini tidak hanya penting bagi masa depan individu, tetapi juga mempengaruhi seluruh masyarakat. (Bdk. Surat Apostolik, International Year of Youth 1985, hlm. 8-10).
Liugi Campidelli menemukan nilai hidupnya dalam keluarga, sahabat, dan sekolah. Itulah ketiga elemen penting yang membantu Liugi di masa remajanya. Liugi bukanlah anak yang memiliki bakat alam, tetapi ketekunan, ketatannya, dan semangat belajarnya membuat ia dipercayakan sebagai ketua kelas. Pergaulan dengan teman sebayanya membuat dia mengerti banyak hal, seperti baik dan buruk, olah raga dan permainan, serta keterbukan yang lebih luas dalam hal kemiskinan, kebahagiaan, dan persoalan orang lain.
Liugi juga menjadi misdinar, kemudian menerima komuni pertama pada usia 10 tahun. Hal ini yang membuatnya aktif di Gereja. Sebelum melakukan aktivitas hariannya bersama teman-teman sebayanya, ia selalu mengikuti misa dan menjadi misdinar. Pesan ibu yang selalu diingatnya ialah bahwa apa yang dia lakukan itu tidak hanya untuk kotanya saja, tetapi harus menjadi prioritas pribadinya. Di antara banyak pilihan masa muda, Liugi menjawab “ya” bagi kehendak Allah dalam hidupnya.
Mewartakan Injil dalam hidup sehari-hari
Liugi mempraktekkan nilai Injil dalam rutinitas hidupnya di kampung halamannya, Trebbio. Teman-teman sebayanya memiliki kebiasaan bersumpah palsu dan berkelahi, tetapi ia terkenal sebagai orang yang tidak pernah bersumpah palsu, lagi pula seorang pendamai. Dalam pengakuannya sebelum komuni pertama, ia mengenang bahwa ia pernah mencuri melon dari petani tetangga. Ia pergi menghadap petani itu, berlutut, dan memohon maaf atas perbuatannya. Ia diampuni. Petani itu kagum dengan kejujurannya dan kemudian mengizinkan dia untuk memetik melon lagi.
Sementara itu, di rumahnya, ia menjadi lebih taat, lemah lembut, dan bekerja sama dengan baik. Sampai saat itu, ia masih memanjat pohon, tetapi untuk membunyikan lonceng penanda bagi teman-temannya bahwa jam belajar segera dimulai. Ia juga menjadi katekis bagi teman-teman sebayanya. Bahkan ia sering berdiskusi dengan teman-temannya mengenai ketegangan antardaerah. Hal ini yang membuatnya sangat mencintai daerahnya. Oleh sebab itu, sebagai orang Katolik, dia mewartakan perlunya persatuan dan kesatuan antara Gereja pusat dan lokal.
Perjumpaan pertama dengan misionaris Pasionis
Para Pasionis mengadakan Misi Umat di Poggio Berni, pusat pemerintahan daerah. Keluarga Campidelli bersama dengan umat dari daerah terdekat turut mengikuti Misi Umat itu. Pasionis telah berkarya kurang lebih 15 tahun selama pergolakan sipil di Italia. Selama pergolakan itu anggota religius Pasionis berkurang. Setelah situasi tenang merekea kembali mendirikan komunitas, kali ini sebuah kapel tua dipersembahkan untuk Maria dari Casale (Madonna dela Casale). Meskipun tidak terkenal sampai ke daerah Romagna, tetapi kebiasaan khas, cara hidup asketik, pelayanan umat dan pewartaan mereka diterima oleh umat di Romagna.
Pewartaan misionaris Pasionis membuat Liugi Campidelli tertarik. Liugi menyatakan bahwa ia ingin menjadi Pasionis. Setelah menyampaikan hal ini kepada ibunya, akhirnya suatu hari mereka pergi ke biara Pasionis. Mereka disambut dengan ramah oleh para religius. Melihat usianya yang masih sangat muda, yaitu 12 tahun, ia disarankan oleh para religius untuk melanjutkan studi, singkatnya ia disuruh menunggu.
Optimis dan sukacita dalam hidup
Liugi tumbuh sebagai seorang pemuda yang tampan. Dia selalu menjadi orang yang bahagia, dengan mata berbinar-binar dan murah senyum. Tibalah waktunya bagi Liugi untuk memasuki kehidupan monastik. Ia diundang untuk memasuki novisiat Pasionis, yang baru dibuka di Madonna dela Casale. Liugi menerima busana religius pada 27 Mei 1882, namanya menjadi Pius Liugi Campidelli dari St. Aloysius Gonzaga.
Kehidupan barunya bukan cara hidup yang mudah. Semua religius bangun jam dua pagi untuk ibadat pertama di kapel, kemudian dilanjutkan dengan doa batin. Setelah istirahat sebentar, jam 6 dimulai lagi doa dan Ekaristi. Lima kali sehari ada nyanyian puji-pujian kepada Tuhan, ditambah dua jam meditasi. Studi spiritualitas dan kaul-kaul diberikan juga. Kehidupan sehari-hari selalu diisi dengan kesunyian dan ‘padang gurun’, kerja taman dan kebun, serta perawatan rumah. Terlepas dari kesulitan, disiplin, dan koreksi, Campidelli berkembang dalam cara hidup barunya. Ia menghayati hidup religiusnya dengan segala kemampuan dan kesungguhan. Kebaktiannya kepada Ekaristi Kudus, Yesus Tersalib, dan Bunda Maria, sangat mengesankan semua orang yang melihatnya. Ia hanya jauh dari daerah asalnya, Romagna, selama beberapa bulan, ketika novisiat dipindahkan untuk sementara ke Soriano, dekat Viterbo.
Setia sampai mati sebagai seorang Pasionis
Liugi tidak bisa mengikrarkan kaul kebiaraannya bersama tiga orang teman angkatanya karena usianya masih terlalu muda. Meskipun demikian, seluruh anggota komunitas sudah menerimanya dengan suara bulat dan ia diperkenankan melanjutkan studi filsafat dan teologi bersama teman-temannya. Dia baru mengucapkan kaul pada 30 april 1884 dalam sebuah perayaan sederhana yang sangat mengesankan. Di hadapan rekan-rekan sekongregasi, ibu, keluarga, dan sahabat kenalan, ia mengucapkan kaul religiusnya.
Rutinitas student dilalui dengan kesibukan dan ketelitian, tetapi membahagiakan. Pius dikarunia suara yang merdu. Pada suatu hari saudaranya, yakni Attilio, hendak merayu Pius katanya, “Jika kamu tidak sungguh bahagia di sini, Gigino, mengapa tidak pulang ke rumah bersama kami?” Jawabnya dengan tertawa, “Saya tidak akan pulang demi semua emas di dunia.”
Pius dan teman-teman sekelasnya bergabung bersama frater-frater projo di katedral Ramini pada 17 Desember 1887 untuk menerima tahbisan rendah. Dengan tahbisan rendah ini ia hanya menunggu beberapa waktu untuk ditahbiskan imam. Namun sebelum mencapai tahbisan imamat, ia terserang TBC. Pada saat itu, penyakit ini adalah penyakit yang sangat berbahaya dan tak terobati.
Badan Pius semakin lemah dan sulit untuk bernafas. Dengan bantuan para religius lainnya, ia menemui ibu dan saudara-saudaranya di ruang tamu. Meskipun dalam kondisi yang demikian, ia tetap memancarkan wajah yang ceria dengan senyumnya yang manis. Ia memeluk ibunya dan berkata, “Teguhkanlah hatimu, mama, kita akan berjumpa lagi di surga.”
Pada tanggal 2 November 1889 Pius terbaring di tempat tidur. Sambil memegang salib kecil di tangan ia menyampaikan pesan terakhirnya mengenai “Hubungan Gereja Universal dan Partikular”. Berulang kali dia mempersembahkan hidupnya bagi Gereja dan bapa suci, bagi kongregasi, bagi pertobatan para pendosa, dan bagi tanah airnya tercinta, Romagna. Kemudian, ketika dia mencoba untuk bangun dari tempat tidur, matanya terkatup dan ia berseru dangan kebahagiaan yang tak terlukiskan, “Lihat, Bunda Maria datang!” Ia meninggal dalam usia 21 tahun.
Pius Campedelli digelari beato oleh Paus Yohanes Paulus II pada 17 November 1985 dan dalam liturgi Gereja diperingati setiap tanggal 3 November.
Salam Passion!!!
“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”