KONTRADIKSI “PENGETAHUAN MANUSIA DAN TUHAN” Featured

Author FR. TINO, CP | Senin, 01 November 2021 18:09 | Dibaca : : 2229 | Last modified on : Jumat, 05 November 2021 14:47
KONTRADIKSI “PENGETAHUAN MANUSIA DAN TUHAN”

Abstrak

Dalam penulisan ini saya memfokuskan pada tema yang berjudul KONTRADIKSI; “Pengetahuan Manusia dan Tuhan”. Tulisan menggunakan metode pembacaan kritis di mana saya mengafirmasikan antara pemikiran-pemikiran seperti pemikiran Thomas Aquinas, Soren Kierkegaard, Emanuel Kant dengan tulisan-tulisan dari buku Armada Riyanto dan dari sumber yang lain. Saya menemukan bahwa Pengetahuan manusia dapat membawa suatu dampak yang besar, baik bagi dirinya, sesama, dunia dan Tuhan. Pengetahuan lantas memproduksi apa yang disebut dengan tingkah laku atau perilaku manusia. Dalam berprilaku, manusia tidak selalu mencerminkan yang baik, benar, indah namun juga jahat. Perilaku-perilaku di atas lantas menjadi kontradiksi dalam kehidupan manusia sebagai makhluk peziarah yang terus berproses untuk menjadi. Perilaku yang kontradiksi menjadi dasar terjadinya suatu kekacauan, kekerasan, perang, terorisme, bahkan Tuhan yang seharusnya dipuji, disembah, diagungkan, pun menjadi obyek kemarahan dan alasan munculnya perilaku yang bertentangan. Kontradiksi hanya dapat menjadi sesuatu yang indah apabila ada kesadaran dalam diri manusia.

 

Kata Kunci: pengetahuan, manusia, kejahatan, indah, Tuhan.

 

Pengantar

            Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib dari pada manusia. Demikian pernyataan seorang dermawan Yunani Sofkles. Manusia mampu dan bebas melakukan apa saja dengan pengetahuan yang ada padanya. Suatu pernyataan yang masih sangat aktual sampai pada saat ini. Pengetahuan manusia sudah meloncat mencapai ketinggian yang belum pernah dimimpikan dalam hidupnya. Pengetahuan itu, menyangkut peribadi manusia, alam semesta dan Tuhan. Salah satu hasil atau produk dari pengetahuan yang jelas nampak pada diri manusia adalah perilaku atau tingkah laku. Perilaku manusia kemudian menyodorkan berbagai hasil yang menyolok mata. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak tahu apakah perilakunya akan selalu baik atau jahat. Sebagai makhluk peziarah, manusia tidak terbatas pada ruang dan waktu. Manusia selalu berubah dalam tindakan dan perilakunya.

Perilaku dan tindakan manusia lantas memiliki dampak yang besar baik bagi dirinya, sesama, dunia dan Tuhan. Dalam kehidupan sehari-hari pada dasarnya, manusia selalu ingin berada dalam posisi yang disebut baik, benar dan indah. Dan seringkali dalam kenyataannya yang baik, yang benar, yang indah selalu dirusak oleh yang jahat. Yang jahat tak mengenal belaskasih dalam merusak. Perang, bom, pembunuhan menjadi bukti bahwa kejahatan memang kejam dan tidak memiliki tempat khusus dalam setiap hati manusia bahkan di hadapan Tuhan. Tindakan atau perilaku seperti ini terjadi, jelas karena pelaku kejahatan tidak memiliki kesadaran yang mendalam mengenai siapa “aku” di dunia. Dunia Seolah-olah menjadi ladang pelampiasan dari perilakunya, bahkan manusia mengatasnamakan Tuhan dalam berprilaku. Pandangan tentang Tuhan yang sekarang, tentu akan tidak sama dengan pandangan orang di masa depan tentang Tuhan. Tuhan pada saat ini masih diagung-agungkan oleh banyak orang, masih dipuji, disembah, dan banyak orang masih antusias pergi ke tempat ibadah. Tapi bagaimana dengan Tuhan di masa depan, apakah sama seperti pada saat ini, ataukah Tuhan di masa depan hanya sebuah nama dan simbol yang tidak pernah dihiraukan? Tuhan di masa depan adalah Tuhan yang masih dipertanyakan. Inilah suatu dampak dari pengetahuan manusia yang kontradiksi dari moderennya dunia.

 

 

Pengetahuan Manusia

Apa itu pengetahuan? Pengetahuan ialah apa yang dikenal atau hasil pekerjaan tahu. Hasil dari pekerjaan tahu itu ialah hasil dari kenal, sadar, mengerti, pandai dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa semua milik atau isi pikiran adalah pengetahuan. Manusia melihat, meraba, mencium, merasa, mendengar merupakan proses pemikiran langsung menjadi pengetahuan yang diistilahkan dengan pengetahuan inderawi. Pengetahuan yang dimiliki manusia dibagi menjadi dua jenis yakni pengetahuan yang berasal dari manusia sendiri, dan pengetahuan yang berasal dari luar manusia. Pengetahuan dari luar manusia dianggap atau dipercaya berasal dari pencipta manusia dan alam, orang beragama biasa menyebutnya Tuhan.

 Golongan manusia yang beraliran materialisme tidak mempercayai adanya jenis pengetahuan yang berasal dari luar manusia karena mereka tidak percaya adanya Tuhan. Pengetahuan dari luar manusia dapat juga dikatakan sebagai pengetahuan yang berasal dari yang Ilahi, yang dasarnya adalah keyakinan dan iman. Di samping pengetahuan manusia dan Tuhan, sesungguhnya masih ada pengetahuan yang lain, yakni pengetahuan mengenai agama. Pengetahuan ini berisikan pengetahuan Tuhan dan ulasan, keterangan, tafsiran manusia, perincian yang berasal dari pengetahuan manusia terhadap wahyu.[1]

Mengenai Tuhan, manusia pada zaman dahulu yang hidupnya masih primitif, sama sekali belum mengenal Tuhan. Namun mereka memiliki agama atau kepercayaan tersendiri (animisme) yang menyembah pohon besar, batu besar, atau dewa-dewa lain. Seiring berjalannya waktu, secara perlahan-lahan mereka kemudian mulai memperoleh pengetahuan mengenai agama dan yang lainnya. Pengetahuan tentang Tuhan yang mereka miliki adalah pengetahuan yang berasal dari orang-orang yang dengan berani mewartakan tentang Tuhan. Manusia-manusia yang hidup pada zaman dahulu kala tentu hanya menggunakan pengetahuan inderawi.

Pengetahuan inderawi adalah pengetahuan yang bertumpuh pada panca indera, bertumpu atas kegiatan otak, dari otak kemudian dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan inderawi, lapangannya adalah segala sesuatu yang dapat ditentukan oleh panca indera secara langsung misalnya merasa, melihat, mendengar dan sebagainya. Batasnya sampai kepada segala sesuatu yang tidak terungkap oleh panca-indera. Pengetahuan meliputi sepanjang yang dapat dijangkau oleh manusia dengan mata, telinga, hidung, meraba, merasa, lidah secara langsung tanpa alat bantuan. Dengan demikian kedudukkan pengetahuan sangat penting sekali bagi manusia sebagai mahluk peziarah dan yang terus berproses untuk terus menjadi.

Manusia, tahu mengenai air, pohon, matahari, bulan, panas, gelap, matahari timbul di sebelah timur, tenggelam di sebelah barat, semua itu adalah pengetahuan dan pengetahuan itu adalah pengetahuan indera. Sebagian besar pengetahuan manusia berasal dari pengalaman panca-indera. Ilmu bertugas untuk menjangkau apa yang ada di balik pengetahuan indera. Ketika panca indera sampai pada batas kemampuannya, ia minta bantuan kepada budi dan tangan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Budi berpikir atas data yang digali oleh tangan. Selama tangan dapat melakukan penelitian, selama itu pula ilmu dapat berbicara. Apabila terhadap pertanyaan yang timbul, tangan tak mampu mencarikan data untuk budi, maka ia serahkan kepada budi wewenang untuk menjawabnya sendiri.[2]

Banyak benda yang mengelilingi manusia, banyak peristiwa yang diamati dan dialami manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Apakah sesungguhnya masing-masing benda dan peristiwa-peristiwa itu, apa hakikatnya, apa maksud dan tujuannya, apakah itu baik, benar, indah? Tiap laku perbuatan manusia, tiap tindakan manusia mengandung nilai. Tidak habis-habisnya pertanyaan yang manusia ketahui dan yang tidak diketahui justru seringkali muncul dalam pikiran. Apakah pengetahuan itu benar atau salah? Manusia bebas beralaku begini, begitu, berbuat itu, ini. Semuanya bebas, tergantung bagaimana manusia melakukannya. Tidak ada gunanya budi manusia harus membatasi dirinya pada fakta aktual yakni peristiwa dalam pengalaman manusia sehari-hari.

Seringkali, pengetahuan akal budi dan pengetahuan panca-indera dipertentangkan oleh berbagai macam sebab. Pengalaman yang berdasarkan panca-indera digambarkan sebagai pengetahuan yang tidak menentu, menyesatkan bahkan manusia kadang-kadang melakukan tindakan yang baik dan jahat. Sedangkan pengetahuan yang berdasarkan akal budi, dihormati sebagai pengetahuan yang sejati. Mengetahui segala sesuatu dengan akal budi masih dianggap salah satu cara konkrit yang menghubungkan manusia dengan dunia yakni lewat panca-indera. Manusia belum mempunyai pengetahuan yang umum, seragam bisa dikatakan masih abstrak. Tetapi dalam setiap situasi tertentu, manusia mengetahui dunia sekitarnya dengan suatu cara tertentu pula.

Dalam perkembangan refleksi manusia mengenai pengetahuannya, kebersamaan antara manusia yang mengetahui sesuatu dan barang yang diketahuinya, sering putus. Manusia ingin mencapai pengetahuan yang bersifat umum dan yang berlaku di mana-mana dan kapan saja. Pengalaman tersebut hanya terbatas pada situasi-situasi konkret tertentu dan tak pernah menjadi suatu kaidah umum maupun suatu pengertian universal yang berlaku di mana-mana. Akal budi harus menyaring pengertian universal sehingga tidak terjadi suatu kontradiksi atau pertentangan dalam diri manusia yang dapat merusak apa yang ada di sekitarnya. Pengetahuan akal budi dilawankan dengan pengetahuan panca-indera.

Panca-indera menyajikan pengalaman dan observasi (meneliti, melihat dll). Sebetulnya dalam pengamatam secara inderawi telah dirangkum juga semacam pengeertian dan pemahaman lewat akal budi. Bila manusia melihat sebatang pohon, maka pengalaman tadi sudah berdasarkan proses pengenalan. Manusia memberi nama kepada binatang dan harus maklum akan sifat-sifatnaya (ganas, jinak, sopan dll). Dalam hal ini pengetahuan praktis dan intelek turut berperan. Biasanya akal budi ditafsirkan sebagai bakat pengetahuan aktif (akal budi dapat membuat abstrak, melihat adanya hubungan antara ini dan itu, pokonya selalu aktif). Sedangkan panca indera dianggap pasif, menerima saja kesan-kesan dari luar.

Mengamati dan mencatat sesuatu dengan panca-indera, sudah menunjukan adanya aktivitas. Bila manusia hidup dengan sadar, maka manusia selalu sadar akan sesuatu. manusia, maklum akan sesuatu objek (tahu bahwa ada sesuatu, manusia tahu dari mana datangnya, apakah itu dekat atau jauh, manusia maklum bahwa terjadi sesuatu, dan sebagainya). Emanuel Kant pernah mengatakan “das gewuhl der empfindungen” artinya campur baurnya pengalaman-pengalaman yang samar-samar. Pengalaman serupa ini takkan pernah terjadi karena selalu diangkat dan diolah oleh kesadaran bahwa manusia maklum akan sesuatu.

 

Perilaku Manusia (Baik, Benar, Jahat), Produk dari Pengetahuan

Dalam arus kehidupan sehari-hari, manusia dilingkari oleh aneka macam peristiwa yang langsung dialaminya seperti bangun tidur, bekerja, beristirahat dan sebagainya. Atau juga yang tidak langsung pun sampai kepadanya, namun juga dianggap biasa saja seprti misalnya, berita dalam surat kabar, televisi, radio mengenai suatu perkembangan zaman. Itulah peristiwa-peristiwa yang dialami manusia secara pasif bersama-sama dengan banyak orang lain yang dikenal atau pun yang tidak dikenalnya. Hanya kadang-kadang manusia mengalami sebuah situasi sebagai sesuatu yang unik, yang hanya penuh makna bagi dirinya sendiri walaupun juga dialami bersama-sama dengan orang lain seperti kelahiran, kematian, penderitaan dan sebagainya. Hanya peristiwa seperti itulah yang dialami sungguh-sungguh sebagai suatu kejadian dalam eksistensi pribadinya, sehingga lalu timbul pertanyaan-pertanyaan yang lain dari pada lain maupun pengertian yang serba baru dan semuanya itu tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai pengetahuan. Pengetahuan selalu membuat manusia menghasilkan sesuatu yang baru, baik dalam berperilaku maupun dalam tindakannya.

Dalam dunia yang semakin modern dan semakin memanjakan manusia ini, pengetahuan tak lepas dari kehidupan sehari-hari manusia. Pengetahuan membuat manusia seringkali memunculkan macam-macam perilaku baik perilaku jahat maupun perilaku baik. Misalnya manusia zaman ini benar-benar dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi. Relasi antara sesama dalam kehidupan sehari-hari mulai pudar, orang-orang sibuk sendiri dengan dirinya dan tak jarang orang mengalami kecanduan. Apakah generasi-generasi seperti dapat menjamin masa depan yang kokoh? Apakah dengan kecanggihan teknologi manusia masih memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan?

Pengetahuan, perlu diakui dapat mengubah perilaku manusia. Peristiwa yang diakibatkan oleh perilaku orang-orang tak bertanggung jawab selalu menghiasi setiap media. Perang, kekerasan, terorisme merupakan salah satu bukti nyata bahwa pengetahuan, sungguh dapat mengubah manusia dalam bertindak. Dunia dan kehidupan yang semulanya aman, damai dan tenteram tiba-tiba menjadi ladang pembantaian, pertumpahan darah. Pengetahuan mengenai siapa aku dan siapa sesamku benar-benar tidak dimiliki oleh para pelaku kejahatan.

Tidak semua orang dalam kehidupannya sehari-hari menerapkan pengetahuan terhadap sesuatu yang benar. Pada hakikatnya manusia tidak memiliki keinginan untuk berbuat jahat, semua ingin melakukan kebaikan. Akan tetapi barkat pengetahuan yang diterimanya, ditambah pengalaman, kemudian pikirannya bisa berubah dari yang awalnya baik, tiba-tiba menjadi radikal dalam melakukan kejahatan. Sebenarnya, apabila manusia selalu berada pada posisi yang benar maka keindahanlah yang diperolehnya. Tapi keindahan itu tak selalu bertahan lama, dan manusia seringkali ingin bertindak lebih dari itu. orang yang melakukan kejahatan, menurutnya memang baik. Dia berfikir apabila mebunuh orang atas nama Tuhan, maka ia benar dan jika mati ia akan masuk surga. Tetapi tidak dengan pandangan orang lain yang tidak sepaham dengan pandangan mereka.

Negara-negara Timur Tengah salah satu contoh Negara yang tidak pernah damai, Negara yang terus mengalami pertumpahan darah. Pertumpahan darah yang disebabkan karena orang-orangnya berbeda pandangan, mengklaim bahwa Tuhan yang paling benar adalah Tuhanku bukan Tuhnnya, menjadikan dirinya sebagai Tuhan dengan aliran-aliran yang menyimpang dari aliran sentralnya. Tindakan-tindakan seperti ini adalah tindakan yang benar-benar salah di hadapan Tuhan. Tuhan tidak pernah menjadikan dunia untuk dijadikan medan pertumpahan darah, tetapi medan untuk hidup yang dipenuhi dengan kedamaian,dan toleransi.

Negara-negara yang tingkat konfliknya tinggi, selalu merindukan kedamaian. Namun kedamaian itu bagaikan sebuah mimpi yang tidak pernah terwujud. Mereka pun bingung, Tuhan mana yang harus dipuji dan disembah dimanakah Tuhanku berada. Kekerasan seolah-olah telah menjadi kultur yang tidak bisa  hilang. Kekerasan tidak lagi dianggap sebagai itu yang buruk. kekerasan tidak sama dengan keburukan, demikian keyakinan para provokator kekerasan. Hidup seolah-olah merupakan kekerasan itu sendiri. Dari mana asal usul kekerasan? Ada yang berkata dari kehendak bebas. Ada yang berkata dari ideologi dan agama (akhir-akhir ini). ada lagi, itu berasal dari kegilaan manusia dan ketidaktahuan akan kebenaran.[3] Kurangmya pengetahuan mengenai kebenaran, kebaikan, keindahan, Tuhan. salah satu penyebab munculnya kekerasan.

 

Dewasa ini, kekerasan tidak lagi disimak sebagai perbuatan orang perorang kepada orang lain. kekerasan telah menjadi kebudayaan baru. Karena kekerasan sebuah kultur, terdapat semacam kesadarn komunal dari societas kekerasan merupakan sesuatu yang wajar dan biasa. Atau yang lebih runyam lagi, kekerasan konon mulai menjadi seolah “keharusan” atau condition sine quo non (syarat yang tidak bisa tidak) bagi tatanan hidup bersama. Kultur kekerasan merebak secara mudah. Damai jauh lebih sulit ketimbang menyiram kahidupan dengan bensin lantas menyalutnya menjadi kobaran kekerasan. Manusia memang lebih mudah melakukan kekerasan daripada merajut damai.[4]

 

Manusia, bukan hanya sebagai pelaku tindakkan tapi harus memiliki kesadaran akan pencarian kebenaran. Dalam bahasa Thomas Aquinas “manusia adalah pencarian kebenaran. Dia adalah pengembara di dunia untuk menggapai apa yang paling dirindukannya, yaitu kebenaran”.[5] Dari kesadaran sebagai pengembara pada wilayah kebenaran tanpa batas, dapat disimpulkan bahwa manusia bukanlah makhluk manipulatif, koruptif, berperilaku yang bukan-bukan. Manusia selalu berusaha untuk baik terkadang pengetahuan yang diterimanya yang kadang-kadang membuat ia menyimpang dari kebenaran atau kebaikan

 

Manusia Peziarah Manusia yang Menjadi

Apakah manusia itu? manusia ialah makhluk yang dibedakan dari makhluk yang lain. Perbedaannya terletak sangat jelas bahwa manusia memiliki akal budi dibandingkan dengaan makhluk lainnya. Akal budi yang ada pada manusia termasuk daya bagi manusia untuk mengaktualisasikan hidupnya sebagai peziarah. Dalam peziarahannya kemudian ia berpotensi menjadi, misalnya saya berptensi menjadi pastor, ketua DPR, guru, mahasiswa, pemain sepak bila dll. Manusia selalu merindukan yang lebih bahkan yang berada di luar jangkauannya sekali pun. Manusia adalah dia yang mencari, mengejar, menyerahkan diri, bermimpi dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri.[6]

Di dalam kehidupannya sehari-hari adanya manusia seringkali menimbulkan masalah. Manusia kurang memiliki kesadaran bahwa di luar dirinya masih terdapat manusia-manusia yang lain yang tidak merupakan hasil khayalannya, abstark tapi realitas. Adanya sesama manusia berarti, bahwa aku sebetulnya belum mengenal aku sendiri secara tepat, aku harus selalu mencari sikap hidup yang tepat agar dalam pertemuan dengan sesame, aku dapat bertanya-tanya dengan lebih mendalam, siapakah aku sendiri, dan apakah tujuan hidupku sebagai makhluk peziarah.

 

Aku sebagai makhluk peziarah, bukan berarti aku menyangkal secara total adanya sesama manusia. Tetapi aku mengadakan komunikasi yang intens, mau mengadakan kontak yang mengandaikan aku peduli dan aku ada dengan sesama manusia yang lain. sehingga aku tidak perlu bertanya-tanya apakah sesamaku hanya khayalanku, sehingga aku seolah hidup sendiri, dan bebas menguasai segalanya? Berbicara mengenai manusia berarti berbicara mengenai hidup dan peranan eksistensinya yang selalu aktual. Sebab selain manusia itu sendiri selalu menjadi pokok permasalahan, seperti yang sudah disinggung di atas, dapat juga dilihat bahwa peristiwa besar apa pun yang terjadi di dunia, masalah apa pun yang harus dipecahkan di bumi, pada intinya dan akhirnya bertautan juga dengan manusia sebagai makhluk peziarah.

Sebagai makhluk peziarah manusia terus berhadapan dengan realitas yang selalu baru dalam kehidupan yang kemudian menuntut manusia agar bersikap bijaksana. Misalnya, keluarga berencana berusaha membatasi lajunya pertambahan manusia, kemajuan teknologi, tersedianya berbagai macam alat canggih yang dapat mempermudah manusia, bahkan perang pun dengan persenjataan mutakhir pada dasarnya adalah perwujudan pergaulan konfrontatif antara manusia yang ingin menang dan menjadi penguasa. Benar-benar sebuah kontradiksi antara kehadiran dan tujuannya manusia di dunia ini. Hal ini menurut Karl Jasper dalam ceramahnya wahrheit und wissenchaft menimbulkan bahaya fragmentasi, di mana manusia bukan l;agi diterima sebagai pribadi seperti adanya, melainkan dipreteli menjadi salah satu bagian dari padanya. Suatu reduksi kepada suatu elemen yang taktis belaka.[7]

Manusia dalam peziarahan yang terus berusaha menjadi, bukan hanya soal material yang membentuk badan manusia, melainkan mengungkapkan keseluruhan hidupnya, arti dan dan makna eksistensinya sebagai seorang pribadi. Manusia mempunyai kehidupan biologis. Jadi bukan bagaimana manusia terjadi, tetapi apakah dan siapakah ia sebenarnya. Masalah yang dihadapi mengenai manusia dalam kehidupan sehari-hari ialah mencari wajah yang sebenarnya dan seutuhnya tentang manusia. Oleh karena itu titik tolak yang harus diambil bukanlah hasil suatu interpretasi seseorang tentang manusia, tetapi manusia dalam kewajaran serta keaslian hidupnya, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil.

 

Soren Kierkegaard dalam karyanya yang berjudul Either/or, di mana pandangan bahwa baginya manusia wajar adalah manusia konkret, seprti yang kita saksikan dalam kehidupan sehhari-hari. Oleh karena itu manusia yang demikian harus disaksikan dan dihayati.: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, semakin bermaknalah kejidupannya. Demikian dalam konteks kehidupan yang rill, akan terungkap pula  kenyataan manusia individual yang tidak dapat dipukul rata begitu saja dalam rumusan-rumusan umum, atau pun kenyataan manusia subjektif yang memiliki harkat dan martabatnya yang tinggi dan oleh karena itu menunjukkan dan mempertahankan otensitas pribadinya.[8]

 

Sebagai makhluk alamiah, manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu. Manusia membutuhkan apa yang disebut sandang, pangan, papan. Semua kebutuhan yang diperlukan manusia semata-mata hanya untuk menunjang kehidupannya. Bila kebutuhan di atas tidak terpenuhi, maka manusia tidak bisa apa-apa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk yang serba butuh fisik dan rohani. Kebutuhan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang belum selesai. Artinya untuk memenuhi segala kebutuhan itu, manusia harus bekerja dan bekerja. Namun perlu diketahui bahwa kebutuhan dan kerja sebagai usaha pemenuhan kebutuhan itu tidak hanya terarah kepada hal-hal yang materil belaka. Kenyataan menunjukan bahwa manusia membutuhkan dan berkarya secara rohani pula seperti belajar, berdoa, merenung dll.

 

Soren Kierkegaard menyatakan bahwa hidup manusia tiga taraf yaitu estetis, etis dan religius. Dengan kehidupan estetis, manusia mampu menangkap dunia sekitarnya sebagai dunia yang mengagumkannya dan mengungkapkan kembali dalam lukisan yang indah. Dengan kehidupan etis, manusia meningkatkan kehidupan estetis ke dalam tingkatan manusiawi dalam bentuk-bentuk keputusan yang bebas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian hidup manusia mendapatkan kwalitasnya. Hidup manusia bukanlah sekedar menarik beban dari waktu ke waktu, tetapi dengan sadar diusahakan mengarah kepada tujuan. Dengan kehidupan religius, manusia menghayati pertemuannya dengan Tuhan dan dialog yang sejati. Kepercayaan terhadap Tuhan merupakan suatu tindakan  transcendental di mana manusia menyadari dirinya sebagai peribadi yang integral. Semakin dekat seseorang demgam Tuhan, semakin dekat ia menuju kesempurnaan dan berarti semakin jauh ia dilepaskan dari rasa kekuatiran.[9]

 

Tuhan di masa depan

Apakah Tuhan masih memiliki masa depan dalam kehidupan manusia? Apakah Tuhan akan mati dalam kehidupan manusia di masa depan? Tuhan yang ada dalam pandangan manusia saat ini tentu akan berbeda dengan pandangan orang tentang Tuhan di masa depan. Kepintaran manusia, moderennya dunia, kejahatan, perang merupakan salah satu penyebabnya. Seiring berkembangnya zaman, dimana dunia seolah-olah dikuasai oleh berbagai model kecanggihan teknologi yang membuat manusia semakin dipermanja dalam kehidupannya sehari-hari, maka perilaku-perilaku dan cara pandang manusia mengenai sesuatu pun ikut berubah. Kecanggihan dunia teknologi bukan saja membuat manusia manja, hidup serba instan, melainkan juga membuat manusia kehilangan identitas dirinya, pekerjaan, dan relasi. relasi antara manusia dan Tuhan pun semakin surut. Tuhan hanya sebatas nama, Tuhan tidak memberikan apa-apa terhadap manusia, begitulah cara pandang-orang-orang yang sudah menyimpang dari Tuhan maka Tuhan pun dipertanyakan.

Dunia tidak dijadikan Tuhan dengan niscaya atau keharusan, dengan tak dapat tidak. Seandainya alam semesta mengalir keluar dari hakikat Allah dengan tak dapat tidak, maka tiada perbedaan hakiki antara Allah dan dunia. Akan tetapi dengan istilah transendensi Allah, justru mau ditekankan bahwa keaktifan pencipta itu bebas, sehingga terdapat semacam jarak antara pencipta dan alam ciptaan. Akan tetapi jarak ini bukanlah jarak material atau jasmani melainkan rohani yang berarti bahwa antara Tuhan dan makhluk terdapat perbedaan, dan perbedaan itu bersifat hakiki, namun ada relasi.

Sejumlah ahli filsafat maupun teologi khususnya di Amerika, pada abad enampuluhan, memberi julukkan “God is dead”-movement. Pengaruh mereka paling terasa. Tokoh-tokonya ialah ALTIZER, HAMILTON, VAN BUREN, VAUGHANIAN dan karangan uskup anglikan John A.T. ROBINSON. Mereka dipengaruhi oleh gerakan “Allah telah mati”[10]. Tuhan dalam pandangan manusia selalu tidak tetap atau berubah-ubah. Ada yang mengatakan, Tuhan itu baik, ada yang mengatakan Tuhan itu Jahat dan masi banyak lagi. Tidak semua manusia memperlakukan Tuhan sebagai Tuhan, bahkan tidak percaya Tuhan (ateis). Semua manusia tentu tidak ingin menjadi orang ateis. Tapi kenyataanya, bahwa banyak manusia di negara-negara di dunia ini yang tidak lagi mengakui adanya Tuhan, terlihat seperti ateis. Tempat-tempat ibadah yang seharusnya digunakan untuk memuji Tuhan, justru dialihfungsikan menjadi hotel, museum, rumah sakit dsb. Tuhan seringkali sulit dipahami oleh manusia karena Allah atau Tuhan bersifat transendental.

Altizer berpendapat bahwa ide tentang Allah yang transenden itu harus kita lepaskan seluruhnya. Pendirian ini dipertanggungjawabkannya dengan mengatakan bahwa karena penjelmaan Firman Allah menjadi manusia, maka Allah sendiri telah melepaskan transendensi-Nya. Pada hemat Altizer terdapat perbedaan fundamental antara Allah pernjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. Yang pertama itu jauh dari manusia, jauh mengatasinya, maka “transcendent” tetapi yang terakhir itu tidak lagi demikian. Ia sudah memasuki sejarah umat manusia. Justru demi untuk memasuki sejarah dan untuk menjadi manusia bersama dengan manusia, maka Allah telah meninggalkan kejauhan serta transendensi-Nya. Menurut Altizer, orang baru sungguh-sungguh menerima penjelmaan apabila memandangnya begitu. Akan tetapi argument teologis ini mempunyai latar belakang filosofis, yaitu keprihatinan supaya kepada eksistensi manusia diberi nilainya yuang penuh. Dalam kepenuhannya, keberadaan manusiawi tak dapat diperdamaikan dengan transendensi Allah[11]

Apakah Allah telah mati? Jawabannya bisa ya, bisa tidak, tergantung bagaimana seseorang itu beriman. Melawan gerakan Allah telah mati, perlu dipertahankan bahwa Allah sekaligus transenden dan imanen. Setiap saat Allah menjadikan seluruh tata-ada. Maka ia tidak berada di luar “apa-yang-ada”, melainkan ia berada di dalam. Caranya Allah berada di dalam “apa-yang-ada” yaitu dengan setiap saat meng-alas-inya karena kausalitas-Nya yang transcendental. Dalam seluruh keberadaanku, aku tergantung pada kausalitas kreatif itu. Allah adalah dasar atau alasan kemungkinan tingkah laku dan pengetahuanku. Allah lebih menjadi diriku sendiri dari pada aku menjadi diriku sendiri, sebab Ia membuat pada setiap saat, bahwa aku menjadi diriku sendiri.

Lantas bagaimana dengan Tuhan di masa depan? Apakah Tuhan akan mati di masa depan? Tuhan di masa depan adalah Tuhan yang masih dipertanyakan. Manusia saat ini tidak tahu bagaimana orang-orang di masa depan memperlakukan dan menafsirkan Tuhan. Bisa jadi orang memperlakukan Tuhan di masa depan lebih radikal (pujian, sembah, hormat) dibandingkan sekarang atau bisa juga sebaliknya mungkin juga manusia masa depan berpendapat yang lebih radikal yakni “Allah telah mati”. Allah telah mati artinya Allah yang tidak pernah terlibat dalam kehidupan manusia, Allah yang tidak berbelaskasih. Misalnya bencana Alam. Tak jarang manusia menganggap itu sebagai ganjaran dari Allah, dan manusia memohon, mengeluh agar bencana tidak terjadi. Berbeda halnya dalam pandangan ilmu pengetahuan, bencana dilihat sebagai fenomena alam. Jadi tidak ada hubungannya dengan Tuhan. Antara iman dan pengetahuan kadang-kadang terjadi suatu kontradiksi, misalnya konsep manusia dalam Kitab Suci dan pandangan Darwin, atau pandangan Gereja dan pandangan Copenikus mengenai bumi dan matahari.

Peristiwa perang di negara-negara Timur Tengah saat ini, tak lain adalah karena orang-orangnya kurang menyadari mengenai siapakah dia sebagai ciptaan, dan siapakah yang menciptakan dia.  Orang mungkin berpendapat bahwa itu adalah ganjaran dari Tuhan, ada yang lain lagi, itu penyebab dari perkembangan ilmu pengetahuan yang menciptakan perilaku manusia yang bukan-bukan. Dan yang paling radikal, justru para pelaku kejahatan mengatasnamakn Tuhan dalam berperang.

Mereka melakukan dengan dalil, bahwa dengan membunuh orang, mereka akan masuk surga, sudah berada pada jalan yang benar. Apakah memang Tuhan yang sesungguhnya itu jahat? Bukankah Tuhan itu baik? Suatu kesadaran harus diperlukan dalam setiap diri manusia, agar apa yang dipandangnya tidak selalu kontradiksi dengan pandangan orang lain. Dunia akan terasa aman, damai, indah apabila manusia juga paham, mengerti, mengenai siapa sebenarnya yang mengadakan semuanya. Bukan mengadakan perang, terorisme. Jika pandangan manusia selalu jahat, lantas bagaimana pandangan terhadap Tuhan, dan bagaimana menempatkon Tuhan yang benar dalam kehidupannya, kembali ke setiap pribadi manusia, itulah salah satu jalan yang bisa menyelesaikan persolan, dan bersikap bijak terhadap setiap perubahan zaman.

 

DaftarPustaka

RiyantoArmada, MENJADI MENCINTAI BerfilsafatTeologisSehari-hari, Yogyakarta: PT KANISISUS, 2013

-------Diktat Metafisika, Sekolah Tinggi F.T.W.S. Malang

Bertens K. danSoejantoPoespowardojo, SEKITAR MANUSIA BUNGA RAMPAI TENTANG FILSAFAT MANUSIA, Jakarta: PtGramedia, 1977

GazalbaSidi, SISTEMATIKA FILSAFAT PengantarKepadaDuniaFilsafat, Jakarta: P.T BulanBintang, 1973

SyukurDisterNico, FILSAFAT KEBEBASAN, Yogyakarta: PenerbitKanisius, 1988

 

 

[1] Sidi Gazalba, SISTEMATIKA FILSAFAT Pengantar Kepada Dunia Filsafat, Jakarta: P.T Bulan Bintang, 1973, Hlm 4-5

[2] Ibid., hlm 5

[3] Armada Riyanto, MENJADI MENCINTAI Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: PT KANISISUS, 2013, hlm, 99

[4] Ibid ., hlm 94

[5], Armada Riyanto, Diktat Metafisika, Sekolah Tinggi F.T.W.S. Malang, hlm.2

[6] MENJADI MENCINTAI, Op. Cit., hlm.9

[7] Soejanto Poespowardojo dan K. Bertens, SEKITAR MANUSIA BUNGA RAMPAI TENTANG FILSAFAT MANUSIA, Jakarta: Pt Gramedia, 1977, hlm 2

[8] Ibid.,hlm 3

[9] Ibid., hlm 6

[10] Nico Syukur Dister, FILSAFAT KEBEBASAN, Yogyakarta: Penerbit  Kanisius, 1988, hlm, 26

[11] Ibid., hlm 26


Leave a comment