Panggilanku Adalah Berkat Yang Menggembirakan

  • Oleh : P. Antonius Widodo, CP
Author | Kamis, 23 Agustus 2018 14:45 | Dibaca : : 6864
P. Antonius Widodo, CP P. Antonius Widodo, CP

Dalam rangka merayakan pesta 25 tahun Seminari Tinggi Pasionis Beato Pio Campidelli Malang, saya diminta mensharingkan pengalaman panggilan sebagai seorang anggota Kongregasi Pasionis (CP). Pengalaman panggilan sebagai seorang religius tentu tidak terlepas dari ajakan, undangan dan perintah untuk datang dan tinggal bersama Dia yang mengundang, yaitu Yesus Kristus, sahabat, guru dan Tuhan kita, bukan yang lain-lain.

Bagi saya sharing ini seperti rekoleksi atau retret pribadi, yang berhubungan dengan kata recolligo (legi/lectum; re: kembali, menengok, dan colligo: mengumpulkan, mendamaikan, menjadi muda, menerima, menyambut). Retret, retracto: memeriksa kembali, menarik kembali, memperbaiki, memikirkan lagi, dll.), ritare, ritiro, ritirato, ritirarsi (Italia): menyingkir, menyepi, mengundurkan diri.

Panggilan merupakan menghayatan hidup ini bersama Allah. Paus Yohanes Paulus, dalam Surat Apostolik: Novo Millennio Ineunte, pada awal millennium baru (6 Januari 2001), menyatakan: mengenangkan masa lalu dengan penuh syukur, menghayati masa sekarang dengan penuh entusiasme, dan menatap masa depan dengan penuh keyakinan. Tinggal bersama Tuhan menjadi pola hidup para terpanggil.

Secara sosial, sharing juga merupakan ajakan “geke gole”, (bhs. Sikka), duduk bersama-sama di sini untuk merenungkannya, berkisah bersama tentang pengalaman dan panggilan hidup kita. Di sini kita semua saling mengisi, meneguhkan dan mendewasakan. Pengalaman kita tidak sama, karena usia hidup dan panggilan berbeda. Dan yang lebih penting bahwa pengalaman hidup setiap orang bersama Tuhan yang diimaninya adalah unik. Keunikan ini akan memperkaya satu dengan yang lain untuk mengambil keputusan menuju masa depan yang lebih cerah (madecer).

Hal ini sangat penting karena mengingat profesi kita sebagai pribadi-pribadi yang bergelut dengan iman. Anggapan orang banyak, kita ini orang beriman. Beriman di sini dimengerti sebagai membangun sikap dalam hubungan manusia dengan Allah. Arti kata sendiri menunjukkan sikap bertumpu pada pengalaman Ilahi, atau menyerahkan diri pada Allah. Iman kepada Allah menuntun hidupnya sebagai orang beriman, dalam pergulatan dan perjuangan, membentuk karakter pribadi, mencari identitas diri, dan dalam berinteraksi dengan orang lain/masyarakat. Kalau dihubungkan dengan panggilan hidup sebagai religius, kita bisa menyontoh cara orang menangkap kehendak Allah, sehinga bisa mengambil keputusan bahwa pilihan hidupnyalah yang terbaik dan cocok untuk hidupnya. (*ST. DARMAWIJAYA, “Menangkap Kehendak Allah dalam Masyarakat Risiko”, dalam  Di Jalan Terjal. Mewartakan Kristus yang Tersalib di Tengah Masyarakat Risiko, Yogyakarta: Kanisius (20049, p. 85). Sebagai pendasaran refleksi marilah kita melihat panggilan Tuhan Yesus kepada para rasul.

 

  1. Yesus Rajin Mencari

Panggilan bermula dari peristiwa Yesus yang sebelum memulai karya-Nya, memanggil para murid. Injil Sinoptik (Mrk., Mat., Luk.) mengisahkan bahwa Yesus melihat dua pasang bersaudara, Simon dan Andreas, Yakobus dan Yohanes. Yesus memanggil mereka dan mereka pun segera mengikuti Yesus dan meninggalkan segala sesuatu yang menjadi miliknya: perahu, jala, matapencaharian, peran mereka sebagai nelayan (Mrk. 1:16-20). Sedangkan Injil keempat (Yoh.) mengisahkannya secara berbeda. Awal panggilan dimulai dari cerita Yohanes Pembaptis yang menunjukkan Yesus kepada kedua murid, salah satunya bernama Andreas. Mereka lalu mendekati Yesus dan bertanya, “Rabbi, di mana Engkau tinggal?” Yesus menjawab: “Datang dan lihatlah!” Mulai hari itu, mereka tinggal dengan-Nya. Kemudian Andreas memberitahu kepada Simon Petrus, akan pengalaman berjumpa dengan Yesus. Pada hari berikutnya, Yesus menemukan Filipus yang kemudian hari akan membawa Natanael (bdk. Yoh. 1:37-51). Mereka ini akan menjadi rasul-rasul Yesus, orang-orang utusan yang dekat dengan Dia.

Panggilan bermula dari inisiatif Yesus, bukan dari para murid. Sebagai nelayan, tentu para murid tidak mempunyai banyak pertimbangan untung rugi seperti biasa dilakukan oleh para pebisnis atau pejabat. Panggilan para murid ini mengandung risiko kemuridan, risiko atas panggilan, bukan risiko atas inisiatif. Panggilan kita, sebagai imam (tahbisan) dan kaul-kaul kita sebagai biarawan-wati, merupakan panggilan Tuhan bukan berkat inisiatif kita sendiri, meskipun kita menjawabnya “Ya” dengan sadar dan bertanggung jawab. Mungkin kita tidak mengerti dengan pasti kapan presisinya, ajakan itu dan dengan sangat antusias menjawab, panggilan itu terjadi. Namun perlu disadari bahwa inisitaif Allah terungkap dalam sabda Yesus pada perjamuan malam terakhir, ketika Ia menyatakan kepada para murid: “Bukan kamu yang memilih Aku, melainkan Akulah yang telah memilihmu” (bdk. Yoh. 15:16). (*Bdk. RODERICK STRANGE, The Risk of Discipleship. Imamat bukan sekedar Selibat, Kanisius, Yogyakarta, 2007, pp. 27-28).

Panggilan seperti ini berlaku bagi setiap pengikut Kristus. Panggilan ini bukan menjadi pilihan hidup, namun toh setiap orang yang sanggup menyatakan “Ya” terkena dampak atas komitmennya. Berani menanggung risiko sepanjang hayat atas kesanggupannya. John Dunne menggambarkan risiko panggilan itu sebagai hidup yang mendalam seperti kedahsyatan aliran air di dasar lautan yang mampu bergerak berlawanan arah dengan arus ombak di permukaannya yang bergulung, berbuih, bergemuruh menuju pantai dan pecah. Dalam kehidupan sehari-hari kedalaman hidup itu diungkapkan dengan: “Hidup dalam ritme kedalaman adalah meninggalkan kegembiraan semu; meninggalkan kesenangan, baik pada masa kanak-kanak, pada masa remaja dan pada masa tua. Hidup mendalam berarti memasukkan diri dalam kedalaman hidup dengan mengikuti terang yang ‘samar di kejauhan’ sebagai acuan.” (*Bdk. JOHN DUNNE, “Time and Mith”, dalam M. BASIL PENNINGTON, OCSO, Centering Prayer (New York, 2001), pp. 160-161).

Menarik bahwa karakter pribadi rasul misalnya Yakobus dan Yohanes yang impulsif, kasar, kaku meledak-ledak, tidak simpatik, cepet marah, “anak guru” menjadi rasul Yesus yang terkemuka. Boanerges (Mrk. 3: 17) itu hidup bersama dan mengalami rabbi Yesus dari Nazareth hanya sekitar 3 tahun, tetapi telah mengubah pribadi rasul lebih simpatik, tangguh, bahkan menjadi martir, suhada pertama dari keduabelas murid pada tahun 44 Masehi. Berdasarkan panggilan rasul 12 itu, ada keyakinan bahwa Allah berkuasa mengubah batu menjadi manusia beriman (bdk. Luk. 3:8). Panggilan itu suatu berkat luar biasa dari Tuhan.

 

  1. Kesadaran dipanggil oleh Yesus

Asal-usul seseorang bisa membuat pandangan orang bias terhadap seorang terpanggil. Mungkin ada yang mencibir dan menganggap terlalu subyektif, tetapi keautentikan panggilan adalah pengalaman pribadi seseorang dengan Tuhan. Penolakan sebagai seorang terpanggil juga dialami oleh Yesus, misalnya ketika Tuhan Yesus ditolak oleh orang Nazareth gara-gara mereka mengenal asal-usul keluarga. Atas sikap picik orang sekampung itu, Almasih “absen bermukjizat” (Mat 13: 54 – 58).

Bagaimana dengan saya? Terus terang, ortu kami, Dinu Kartotiyoso dan Kuwat, yang mendapat nama pelindung Yustinus dan Yustina ketika dibaptis dewasa dari pasutri islam “Abangan” / KTP menjadi katolik, adalah keluarga miskin baik secara jasmani maupun rohani. Mereka mengikuti katekumen selama 3 tahun. Mungkin karena tidak hafal doa “Kanjeng Romo”, Bapa Kami dan gemetar waktu berhadapan dengan pastor paroki Wedi, Rm. Tjokroatmodjo, Pr (alm.) yang mengujinya. Mereka orang kampung, yang tinggal di pedalaman Klaten Selatan, Jawa Tengah. Ortu saya termasuk generasi pertama menjadi Katolik di daerah itu dan tentu tetangga termasuk pak Lurah merasa heran kerena memeluk “agama Londo”. Meskipun demikian, bapak selalu ke gereja dengan sandal jepit peci dan sarung. Ibu saya pernah mengandung 12 bayi, tetapi hanya kami 5 orang yang bisa bertahan hidup. Iman orang Jawa miskin, pada umumnya memeluk faham “narima ing pandum” pasrah bahwa hidup ini adalah kehendak Allah. Tuhan sudah menggambar di tangan setiap insan. Garis tangan merupakan lukisan dari sebuah takdir ilahi. Meskipun orang-orang sederhana menganut faham “fatalisme” ini, biasanya juga disertai suatu harapan bahwa merasakan bahwa “Gusti iku Maha welas-asih”, Tuhan itu Maha belaskasih. Allah itu Maharahim. Maka Tuhan Yesus sangat mencintai orang-orang yang mempunyai iman yang tulus itu. Pesan ortu yang praktis sederhana tersimpan dalam hati saya sejak kecil sampai sekarang adalah “Anak – keturunanku, “aja serakah”, jangan serakah. Jadilah pribadi yang murah hati terhadap orang lain.” Suatu pesan yang tulus hati dari orang miskin.

Setelah saya membaca Kitab Suci, bahwa “welas asih, belas kasih” ternyata mengandung makna terdalam dari identitas Allah yang murah hati (God mercy). Itu berarti Allah yang memperhatikan semua makhluk, khususnya manusia dan kita yang terpanggil menjadi perpanjangan tangan ilahi untuk berbelarasa dan meringankan beban orang lain. Perjanjian Lama mengungkapkan sifat Alah itu dengan 3 kata: hesed (Ibr. ‘kebaikan’), yang berarti kasih setia dalam ikatan perjanjian / kaul (Kej. 20: 13) hubungan persaudaraan yang erat, seperti Daud dan Yonatan (1Sam. 20: 8.14 – 15). Rahamim / rehem, cinta kasih tulus seperti seorang ibu pada anakanya (Yes. 49: 15) dan hen / rahmat, kasih yang tanpa mengharapkan imbalan, seperti Allah mencurahkan anugerah secara gratis kepada kita (Kel. 33: 12-17). Perjanjian Baru menghubungkan kerahiman itu dengan cinta dan pengorbanan kepada Allah dan sesama (Yoh. 15: 12-17 par). Sehingga kemurahan hati adalah jalan utama menuju surga (Mat. 25: 31-46). Apakah ortu saya mempunyai harapan bahwa salah satu anaknya masuk biara? Kemungkinan mimpi saja tidak. Maka mereka menyekolahkan saya di sekolah guru agar menjadi guru, PNS bisa menjunjung derajat keluarga.

Saya mendengar kongregasi Pasionis pertama kali ketika bertemu saudara Marsianus Suparmo di Nganjuk Jawa Timur, yang sedang menjalani praktek pastoral katekese di paroki itu. Ia mengatakan bahwa setelah selesai kuliah di AKI Madiun akan masuk menjadi bruder Pasionis yang bermisi di Kalbar. Tuhan ternyata membawaku untuk menjadi guru SDK St. Maria Kediri. Di situ saya bertemu dengan frater Sabinus Lohin, CP yang sedang praktek pastoral di paroki St. Vinsentius de Paul. Dialah yang membuat saya lebih akrab dengan Kongregasi Pasionis karena sering kali diajak ke Novisiat St. Gabriel Batu atau Seminari Tinggi CP Jln. Simpang Tidar 1 Malang. Waktu itu, pastor paroki Rm. Rossi Emilio, CM, pastor tua yang rendah hati, sabar, suka bercanda, bahkan sering mengajak saya berdiskusi membuat khotbah dalam Bahasa Jawa. Sembari mengajar saya sangat aktif dalam kegiatan parokial seperti Legio Maria, PDKK, OMK dan bersama Frater Sabinus menjaring anak muda Katolik untuk mengenal hidup membiara. Sebenarnya saya masih menyimpan rasa untuk melanjutkan panggilan hidup membiara di salah satu tarekat atau romo deosesan di Sumatra karena pernah sekolah KPA di Seminari St. Paulus Palembang. Karena keasyikan bergumul dengan kegiatan di paroki, saya kurang fokus untuk mengajar padahal saya seorang wali kelas, sehingga Sr. Franca PK ketua Yayasan sering memarahi saya, tetapi setelah keluar dari Sekolah dan masuk biara, suster memberi uang saku dan mendoakan agar saya menjadi seorang religius Pasionis.

Kesan pertama yang begitu menggoda untuk menjadi CP adalah keramahan, keakraban, kekeluargaan para pastor dan frater yang saya jumpai. Selain Frater Sabinus Lohin ada Romo Carlo Marziali, Gabriele Ranocchiaro, dan Gabriele Antonelli adalah tiga pribadi yang mengesan peratama kali di hati kami para mudika Kediri yang sering ikut acara pesta CP di Malang. Kesan lain bahwa, minat masuk CP karena komunitas itu, terdiri dari berbagai suku yang baru saya kenal misalnya Dayak, Flores dan hanya 1 frater Jawa. Komunitas yang berbeda anggotanya bagi saya sesuatu yang indah. Saya teringat pesan sang “fundatore”, St. Paulus dari Salib: Dalam rumah Allah, kami berjalan bersama – sama, dan menjadi keharuman Kristus di setiap tempat (Reg. XXV, 5). Kesaksian hidup berkomunitas yang beriman, bersaudara dan berbela-rasa bagi saya merupakan nilai hidup yang sangat indah dan kudus. Dengan semangat berkobar pun saya memasuki Kongregasi Pasionis.

Tujuan panggilan yang terngiang dalam benak dan batin sampai sekarang, sebagaimana diajarkan oleh para pembina kita adalah: a). “imitatio Christi, imitation of Christ”, sebuah cita-cita orang Katolik purba (1Tes. 1:6). Dokumen kuno itu menjadi acuan bagi setiap panggilan atau setiap orang yang mengikuti Kristus. Seperti diterangkan oleh Rasul Paulus, bahwa setiap orang yang dipanggil, berarti: mempunyai “volunta”, kehendak baik untuk membebaskan diri dari “concupisenza”, kecenderungan jahat, yang disebabkan oleh dosa, ingin menyangkal diri dan hidup sesuai pola wafat dan kebangkitan Tuhan (bdk. Rom. 6: 1-6), b). siap dibentuk oleh Roh Kudus (Rom. 8: 4,11), c). siap sedia melayani dengan kasih bagi orang yang perlu bantuan (Luk. 10: 29-37), d). berani menderita untuk mencapai kemuliaan seperti Kristus. Spiritualitas panggilan ini dikembangkan oleh bapa Gereja Timur seperti Nikolas Cabalisas abad ke 14 dan John dari Constadt (1829 – 1908) dengan tema “Hidup (ku) dalam Kristus.”

 Para teolog Barat seperti Thomas A. Kempis (1380-1471) dengan tema “Mengikuti Jejak Kristus” sebagai “devotio moderna”, kebaktian modern: a) benar, “emet”, truth, menyangkut tiga hal yaitu pengetahuan, keadaan dan tindakan atau kegiatan dan keyakinan. (GERLD O’COLLINS, SJ & EDWARD G. FARRUGIA, SJ, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta, 1996, p. 172). Kita seharusnya berusaha belajar tentang banyak hal dengan rajin dan serius agar menjadi orang yang berpengetahuan, mengerti sehingga menjadi pribadi yang pintar. Namun, orang yang pintar seharusnya berusaha keras hidup secara jujur, setia dan beriman dengan teguh. Dalam Kitab Suci, ternyata banyak orang yang mempunyai banyak kelemahan bahkan berdosa yang siap dibentuk menjadi orang benar (Yoh. 3: 21, 8:32, 17:17, 1Yoh. 3: 19 dll.). b) kudus, sanctus, holiness, Yang paling kudus hanya Allah sendiri (bdk. Yes. 6: 3, 5), karena Ia adalah misteri yang menakjubkan dan menggetarkan setiap orang beriman yang ingin menjadi suci. Allah menjadi sumber kesempurnaan dan moral bagi para terpanggil. Namun dalam konteks panggilan manusia yang banyak kelemahan seperti saya, bisa diajar dan dididik agar menjadi pribadi yang dewasa, berkarakter kuat. Panggilan mengikuti Kristus merupakan bimbingan ilahi dan perjuangan seseorang untuk menjadi pribadi yang utuh bulat, seperti Yesus Kritus mengajak setiap nasrani untuk menjadi “sempurna” seperti Bapa Surgawi.

 

  1. Berkat

Berkat merupakan pernyataan, permohonan atau pemberian restu dan rahmat Tuhan. Berkat berasal dari Allah berupa “bene – dictio, eu-logia”, yang serentak berupa sabda dan anugerah (bdk. KGK. 1078). Bagi seorang Katolik berkat ditandai dengan tanda salib. Apakah panggilan itu berkat? Panggilan itu termasuk rencana Allah dalam karya keselamatan, sehingga seperti dikatakan di atas panggilan bukanlah suatu kebetulan, tetapi berupa berkat dan tanggung jawab (berkah dan amanah). Setiap kali saya merenungkan panggilan sebagai seorang Pasionis teringatlah dengan panggilan nabi Yeremia: “Sebelum Aku membentuk engkau dalam Rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau. Dan sebelum engkau dilahirkan, Aku telah menguduskan dikau, Aku telah menentukan dikau menjadi nabi untuk berbagai bangsa” (Yer. 1:5). Sekilas firman ini berisi suatu “takdir ilahi” bahwa panggilan hidup seseorang sudah ditentukan dari “sono” nya. Namun yang penting untuk dihayati ke depannya bahwa panggilan religius itu merupakan berkat melimpah yang harus disyukuri, dihidupi dan perjuangkan. Kita tahu bahwa sejarah panggilan Yeremia tidak mulus nyaman, tetapi mengalami penderitaan, stress karena penolakan oleh para nabi, imam dan bangsa Yehuda sezamannya. Khayalan hidup nyaman setiap pribadi, ternyata tidak pernah menjadi kenyataan, tetapi diperlukan kecerdasan baik otak maupun hati untuk meracik dan mengolah hal-hal yang dirasa tidak sedap dalam hidup ini, sehingga mampu merangsang selera kita untuk menikmatinya dengan lahap. Tuhan senantiasa memberikan pelajaran bahkan kesulitan untuk dipecahkan agar hidup kita sungguh berkembang semakin dewasa.

Kedewasaan itu berkembang dalam proses pembelajaran. Saya ingin mensharingkan secekak mungkin proses pembelajaran itu. Saya bersama saudara Agustinus Koko Budi berangkat dari Kediri ke Batu mulai awal Juli, karena mulai postulant tanggal 9 juli. Ternyata di sana sudah ada para calon dari Kalimanatan dan Flores. Setelah datang semua ada 22 postulan, adalah suatu kelompok calon terbanyak dalam sejarah Kongregasi. Karena kekurangan kamar, maka kami dibagi 1 kamar 4 – 6 orang. Masa postulan adalah masa orientasi yang seru seperti anak lembu yang liar dimasukkan ke kandang. Keliaran itu diungkapkan dengan berbagai kenakalan dan karakter masing-masing orang. Sesuatu yang paling indah, kalau salah satu teman mendapat surat dari teman cewek atau mantan pacar. Sebenarnya menurut Regula IV, para calon harus terlepas bebas dari dunia luar. Namun para Pembina mengambil kebijaksaan agak berbeda. Meskipun surat diterima oleh direktur atau superior biara, tetapi tidak pernah disensor. Biasanya saya membaca surat di kamar bersama teman dengan gaya deklamasi yang dibumbui kayalan-kayalan maut dan cara itu justru membuat teman sekamar ketawa terpingkal dan terhibur. Waktu postulan saya pernah dipanggil, dimarahi dan diancam keluar oleh P. Peter Gaugham, CP direktur kami, gara-gara saya merasa bosan mengikuti pelajaran Bahasa Inggris yang diulang-ulang. Tetapi pertemuan dengan direktur itu justru lebih merekatkan hubungan kami berdua.

Memasuki masa novisiat tentu orientasi panggilan lebih serius karena masa novisiat adalah masa pemurnian dalam mengambil keputusan. Mulai masa novisiat saya ditunjuk oleh komunitas untuk menjadi seksi liturgi dan tugas ini saya emban sampai tahbisan diakonat, jadi selama 7 tahun. Menjadi seksi liturgi berarti berhubungan dengan doa dan pengaruhnya bagi saya merasa dekat dengan Tuhan. Doa dan meditasi merupakan relaksasi dari kepenatan belajar dan dorongan-dorongan nafsu badani. Aura ilahi bisa saya rasakan memberi daya dorong begitu dahsyat. Sejak saat itu ada motivasi kuat yang mendorong hidup saya: ”aku harus berusaha hidup sebaik mungkin”, karena habitus / kebiasaan hidup baik merupakan dasar hidup di mana pun kita berada baik sebagai biarawan maupun sebagai awam. Kesabaran, kejujuran dan kerendahan hati perlu dikedepankan. Waktu 1 tahun, menikmati masa novisiat dengan menggeluti spiritualitas Pasionis, yang ketika itu buku-buku masih dalam Bahasa Italia, dan Romo Carlo Marziali CP sebagai magister giat mengajak para novis memperbaiki terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia.

Selesai masa novisiat yang disempurnakan dengan kaul pertama untuk menjadi Pasionis secara resmi, kami ungkapkan pada tahun 1990 dan dilanjutkan dengan kuliah di STFT Widya Sasana Malang, kami pun pindah komunitas dari Batu yang dingin ke Seminari Tinggi CP “Mater Spei”, Jl. Simpang Tidar 1 Malang. Masa kuliah adalah masa “pendadaran” masa memasuki “Kawah Candradimuka”, meminjam istilah epos Baratayuda. Ketika para kesatria Pandawa digembleng dengan ilmu “kanuragan dan kesempurnaan” agar menjadi pribadi-pribadi tangguh. Dewasa secara fisik, mental dan spiritual. Suatu sejarah yang membuat banyak Dosen Pembina STFT mengacungkan jempol karena 20 mahasiswa bisa lolos memasuki STFT tanpa ada yang menjadi mahasiswa pendengar seperti tahun-tahun sebelumnya. Setiap istirahat kuliah, bergurau bersama teman sekelas, ada juga yang bilang: “Kamu Wid muka kayak gini apa bisa jadi pastor?” Jawab: Panggilan Tuhan yang ngatur, kan Bro? Lagian Allah tidak memandang muka tetapi hati orang…. “Namun demikian secara pribadi saya belajar mati-matian agar mampu bersaing dengan mahasiswa yang lain. Ternyata usaha yang keras tidak sia-sia. Mulai semester pertama nilai di atas rata-rata 2,75, suatu hasil yang lumayan berhasil bagi IQ biasa dan terus naik meskipun dengan usaha yang tidak mudah. Cita-cita untuk lulus tepat waktu merupakan semangat yang gigih sebagaimana St. Vinsensius Strambi, CP nasihatkan bahwa saat belajar, meja kursi yang mengelilingi kita dibayangkan sebagai umat yang nenantikan pelayanan kita segera. Selain belajar, jiwa motivasi adalah doa kepada Sakramen Mahakudus dan sembah bakti kepada Bunda Maria, yang menurut St. Yohanes Bosco adalah kekuatan Gereja. Tertib mengatur hidup adalah pendidikan masa depan yang baik. “Ketertiban akan mendewasakan hidup kita” nasihat pengamsal.

 

  1. Kebahagiaan seorang terpanggil

Bahagia , beatitudes (latin), makarios (Yun.) tercatat dalam Injil Matius 5: 3-11 dan Lukas 6: 20-23, mengugkapkan suasana riang gembira hati seseorang. Makarios, tidak hanya sebuah harapan kebahagiaan kebakaan, tetapi juga menyangkut suasana keberuntungan saat ini, ketika kita masih hidup dalam kefanaan di dunia. Orang Yunani menggunakannya untuk orang yang dalam keadaan riang gembira seperti kita biasa mengatakan “selamat”, profisiat ya! Orang Yahudi mengungkapkannya dengan kata “syalom” untuk kesejahteraan jasmani dan rohani (bdk. Mzm. 1: 1; Ayb. 29: 11; Yes. 32: 20; Luk. 2:13-14). Orang Jawa mengatakan “bejo”. Orang merasa bejo itu bisa kita telusuri ketika orang-orang berdosa bertemu dengan Yesus dan mengubah seluruh hidup mereka, misalnya Zakeus pegawai pajak di Yerikho (Luk. 19: 1-10). Di bawah ini saya belajar dari kisah Matius yang hampir sama dengan apa yang dialami Zakeus.

Panggilan Matius (Mat. 9:9-13). Perikop Injil Matius ini bisa dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: a). Panggilan Matius: Kisah panggilan Matius berada disela-sela cerita mukjizat yang dibuat Yesus. Tentu penginjil mempunyai maksud tertentu dengan menceritakan peristiwa panggilan ini. Yesus memanggil orang yang bernama Matius, yang dalam Injil Markus 2: 14-16 disebut Lewi anak Alfeus dan Luk. 5: 27-29 menyebut Lewi, seorang pemungut pajak. Pada zaman itu, mereka ini tergolong orang yang dianggap berdosa oleh orang Yahudi, karena sering korupsi dan berkhianat terhadap bangsa sendiri dengan mengabdi kepada penjajah Roma. Yesus memanggilnya: Ikutlah Aku! Suatu ajakan singkat, namun ajakan ini ditanggapi oleh si pemungut cukai luar biasa. Ia bangkit, meninggalkan pekerjaan dan menjadi murid Yesus. Dalam lukisan-lukisan kuno, Matius digambarkan sebagai seorang yang berpakaian indah, orang kaya. Orang kaya ini tanpa pikir panjang akan kekayaannya untuk menjadi murid Yesus. Apakah Matius kena hipnotisnya Yesus. Tidak! Matius merasa bangga sebagai Murid Yesus, yang tentu saja sudah terkenal sebagai seorang guru Yahudi yang berkuasa membuat mukjizat misalnya: meredakan angin ribut (8:23-27), menyembuhkan orang kerasukan setan (8:28-34), menyembuhkan orang lumpuh (9:1-8). Oleh pengarang panggilan terhadap Matius, dianggap panggilan istimewa yang disejajarkan dengan panggilan para rasul Yesus yang pertama (Mat. 4:18-22). Selain panggilannya disejajarkan dengan para murid pertama, juga rasa bangganya diungkapkan lagi dalam daftar nama para rasul, “Thomas dan Matius, si pemungut cukai” (Mat. 10:3). Nama Matius juga mendapatkan penekanan. Dalam injilnya tidak disebut lagi dengan nama Lewi, (untuk menunjuk asal sukunya), seperti dalam injil sinoptik lainnya. Matius dalam bahasa Ibrani berarti “hadiah atau rahmat Yahweh”, jadi panggilannya sebagai rasul Yesus sebagai berkat Tuhan. Tuhan yang memanggil orang berdosa! Tuhan berkenan datang ke rumahnya dan makan bersama “mereka yang dianggap berdosa”. Injilnya yang panjang terdiri dari 18.278 kata, 1.070 ayat, dalam 28 bab dan banyak kutipan PL (63 X), (*Bdk. GIANFRANCO RAVASI, I Volti della Bibbia, San Paolo, Milano, 2006, pp. 94-95). mengindikasikan bahwa penulisnya adalah seorang yang terpelajar, berjasa bagi jemaatnya dan juga disebut Injil Matius, Injil berkat Tuhan. Namun demikian, panggilan dan kehadiran Yesus yang makan bersama dengan orang-orang berdosa membuahkan kritik pedas dari kalangan farisi. b). Yesus makan bersama orang berdosa. Dalam injil bahasa indonesia (LAI) disebutkan bahwa peristiwa makan itu di rumah Matius. Ini sudah merupakan tafsiran yang umum diikuti oleh banyak ahli kitab, meskipun dalam teks aslinya hanya disebut “di rumah itu”. Apa yang dilakukan Yesus ini berbeda dari para guru Yahudi, yang tidak mau dekat dengan mereka. Makan bersama, dalam konteks Yahudi mempunyai makna keagamaan yang mendalam, yaitu persekutuan orang yang tahir, maka orang najis dilarang ikut makan bersama mereka yang menganggap diri suci. Orang berdosa selain termasuk para pemungut cukai, teman-teman Matius, juga orang miskin, cacat, para pelacur. Orang Yahudi zaman dulu menganggap bahwa kemiskinan dan cacat sebagai tanda kutukan Allah. Orang farisi protes akan tindakan Yesus, tetapi hanya diungkapkan kepada para murid-Nya: “Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan para pemungut cukai dan orang berdosa?” Hal ini bisa ditafsirkan bahwa Injil ditulis pada zaman jemaat kristiani awal, dimana timbul perselisihan antara orang Yahudi fanatik dengan mereka yang bertobat menjadi Kristen. Yesus tahu cara menjawab dengan tepat terhadap pertanyaan kelompok farisi dan ahli taurat yang suka mengutib ayat-ayat KS. Dengan mengutip kitab nabi Hosea 6: 6, bahwa yang dikehendaki oleh Allah adalah kasih setia dan pengenalan akan Allah daripada kurban bakaran, Yesus akan memalukan bagi orang yang sok suci. (*Bdk. JAROT HADIANTO. 2008. “Panggilan Tak Terduga, dalam  Pendalaman Kitab Suci, (vol. 23, No. 3, Mei – Juni), Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, pp. 123-127).

Bagi orang-orang yang menganggap diri saleh, makan bersama orang berdosa menjadi tantangan berat. Tetapi tindakan Yesus mencari orang berdosa dan mendekatinya, menjadi tindakan profetis (kenabian), yaitu untuk mengajak bertobat, menawarkan pengampunan untuk kembali kepada Allah. Kalau kita setuju dianggap orang sakit (berdosa) kelompok Matiusyang dicari Yesus itu, maka kita pun akan disembuhkan dan diselamatkan. Apa yang dilakukan Yesus bukan hanya untuk menyembuhkan tetapi juga memberi tugas kita agar bertindak seperti Dia, mendekati mereka yang disingkiri oleh banyak orang karena miskin, cacat, kurang ajar, berdosa. Tugas kita adalah memberi penghiburan, bantuan dan mengajak kembali ke jalan yang benar. Jalan pertobatan bagi para pendosa selalu terbuka lebar, mungkin sapaan, perhatian dan ajakan kita yang paling sederhana sekalipun, akan membuat yang menderita bahagia, dan orang yang berdosa bertobat. Matius memberi contoh bagi yang terpanggil sebagai seorang pribadi yang rendah hati dan bahagia.

Akhirnya kita bisa belajar dari Terullianus, seorang filsuf dan teolog dari Karthago, yang pada 170 M, menerbitkan tulisan-tulisannya dalam hal moral, dogma, pemikiran filsafat. Yang dari padanya kita mewarisi “semen est sanguis christianorum, darah para martir adalah pupuk bagi Gereja, bahwa Roh Kudus adalah satu “substantia” dan tiga “persona” dalam dogma Tritunggal Mahakudus, dan Gereja sebagai “mater”, ibu, sifat seorang Kristiani yang “non violence”, tanpa kebrutalan, namun karena pemikiran yang individualis dan tanpa toleransi, pemikir besar Gereja perdana itu mengalami konfrontasi dengan Gereja. Kritik Paus Benedictus XVI terhadapnya, ciri khas seorang teolog dan filsuf Katolik hendaknya rendah hati, sederhana, setia kepada Gereja, menerima kelemahan Gereja, kelemahan diri sendiri, karena hanya Allah saja yang Mahakudus. (*BENEDICTUS XVI, The Fathers, Bapa – Bapa Gereja, (terj). Waskito, SJ, Dioma, 2010, pp. 62 – 68).

 

Salam Passion!!!

“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”

 


 

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment