Suatu ketika, seorang pria yang hendak pergi menunaikan kewajibannya sebagai seorang tentara, berpesan kepada kekasih hatinya, “Ade … Abang pergi dulu ya, Abang janji, Abang pasti kembali untuk Ade. Kita sama-sama berjuang ya, berjuang untuk saling setia.”
Setia, sebuah kata yang sering atau bahkan hampir setiap hari kita dengar. Apa sebenarnya setia itu? Apakah hanya sebuah kata-kata tanpa makna? Atau sekedar kata yang wajib diucapkan dalam sebuah hubungan? Tentu tidak.
Setia, bukanlah sebuah rangkaian kata yang tertulis di sepotong kertas, menggambarkan ungkapan hati yang tulus seakan-akan tidak ada lagi yang lebih baik dan lebih indah, dan karena itulah rela meninggalkan, melepaskan segalanya, bukanlah rangkuman sebuah ide atau pikiran yang dipaksakan untuk meyakinkan orang lain walaupun itu berlandaskan argumen ketuhanan.
Setia, bukanlah suatu perasaan yang tersimpan di bilik hati yang paling dalam dan diselimuti roh ilahi, bukan pula suatu keyakinan yang didapat dari pengalaman orang bijak, baik itu pengalaman pribadi, maupun pengalaman orang lain yang diceritakan. Setia, bukan sebuah kesimpulan yang diambil dari suatu cerita kuno atau mitos yang dipaparkan untuk mengenang kembali suatu kisah yang tidak mapan lagi di zaman ini. Lalu apa itu setia?
Adalah isi sebuah buku (tidak tahu apa judulnya dan halaman ke berapa) yang sementara dibaca oleh seorang cewek cantik, yang duduk disamping saya. Tampangnya seperti seorang mahasiswi dan kelihatan sopan. Kami berada dalam satu gerbong kereta api. Dalam hatiku aku bertanya: apakah kami satu tujuan? Tetapi tak berani aku menanyakan langsung kepadanya. Dia sedang konsentrasi membaca buku dan tidak merasa terganggu dengan ributnya bunyi kareta dan percakapan orang-orang di dalam kereta. Kadang hatiku bertanya: apakah dia pura-pura berkonsentrasi karena gugup berada disampingku? Ah aku menghayal berlebihan.
Aku sedang dalam perjalanan ke satu tempat untuk pelayanan seminggu sebelum pekan suci. Tempatnya lumayan jauh dari biaraku. Ketika berjalan jauh dan dengan transportasi umum, aku juga sering membawa buku untuk kubaca selama perjalanan. Kali ini yang aku pilih untuk membaca selama perjalanan adalah De Amicitia (persahabatan) karya Marco Tullio Cicerone.
Kata-kata indah dari Cicerone, menggambarkan sahabat sejati yang menjadi pendamping dalam suka dan duka. Hal itu tidak mencekam hatiku untuk bertanya: siapa yang bisa bertahan menjadi sahabat sejati kalau ia memiliki seorang yang cerewet, egois, atau juga yang selalu mengganggu dan menceritakan nama baik orang?
Aku tertidur dalam lamunan ini dan kaget sebelum kareta berhenti di stasiun di mana aku harus turun. Si gadis manis, hidung mancung tidak ada lagi di kursi di sampingku. Tidak ada pikiran yang mengganggu: turun di mana dia dan sebagainya, karena pikiranku terpusat pada bagaimana aku segera tiba di paroki tempat tujuanku.
Seminggu pelayananku lumayan menarik. Selain misa dan pengakuan, aku juga berkesempatan membawa komuni serta mengunjungi orang sakit. Yang terkesan dari pelayanan itu adalah pastor di paroki itu mengurus dapur sendiri: belanja, masak dan membersihkan dapur. Kalau pagi, sarapan selalu tepat waktu, tetapi siang atau malam, tergantung kesibukan, kadang terlambat masak dan makan sepuluh atau lima belas menit.
Di hari tertakhir pelayananku, pada saat misa penutup ada satu pasutri yang ingin memperbaharui janji setia pernikahan setelah dua puluh lima tahun. Jika ada kesempatan seperti ini, biasanya aku, selain berkotbah tentang bacaan-bacaan suci, berkomentar juga tentang sakralnya cinta dan kesetiaan yang dinamik.
Kesetiaan sebagai subyek harus dinamis karena harus berubah sesuai dengan larutnya waktu: seorang bapak yang sudah beranak tiga dan sudah berumur lima puluhan, tidak bisa ingin melihat istrinya seperti dua puluh lima tahun lalu yang selalu rapi setiap hari. Dia harus menerima kalau istrinya kadang lupa sisir rambut. Begitu juga sebaliknya.
Kita telah dan sedang merayakan Paskah. Kita bisa mengambil contoh Maria Magdalena. Ia tidak menjadi murid Yesus hanya ketika Yesus menyembuhkan orang sakit, atau seperti Petrus ketika mengatakan bahwa harus ada Sengsara, Wafat dan Bangkit, menegur Yesus: "Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau".
Maria Magdalena tidak mengikuti Yesus hanya ketika dielu-elukan di Yerusalem (dan mengharap menjadi penguasa dan pembebas, seperti kedua murid yang sedang berjalan menuju Emmaus: “Padahal kami dahulu mengharapkan”. Setia dengan harapan mereka), tetapi juga ketika saat diadili dan dihukum mati.
Maria Magdalena tidak seperti orang-orang yang mendambakan Yesus sebagai seorang raja yang berkuasa, dan ketika tidak terjadi demikian, mereka langsung menarik diri (kadang keluar dari mulut kita, ternyata saya salah selama ini, atau ternyata selama ini saya tidak mengenal siapa sesungguhnya dia).
Maria Magdalena tidak mengikuti Yesus hanya sampai di bawah Salib (seperti ibu anak-anak Zebedeus, dia tidak bersama Maria Magdalena ke kubur; mungkin juga kecewa karena ambisinya untuk melihat anak-anaknya duduk disamping kiri dan kanan Yesus tidak tercapai), tetapi tetap mengunjungi kubur dan membawa rempah-rempah.
Dan ini yang menarik, ketika menampakkan diri kepada para rasul-Nya, Yesus menguatkan mereka, tetapi tidak memanggil mereka dengan nama (kecuali ketika mengutus Petrus untuk manjaga domba-domba-Nya); hanya Maria Magdalena yang dipanggil Yesus ketika menampakan diri dengan nama: Maria.
Kesetiaan sebagai obyek adalah sesuatu yang mendasar dan harus tetap ada, akan tetapi sebagai subyek membutuhkan seni dan kreatif. Memerlukan proses perubahan diri untuk menerima, bukan setia pada prinsip pribadi dan menuntut orang lain yang berubah. Kreatif melihat perubahan (dulu dia seperti itu, sekarang dia begini) dan seni menyesuaikan diri agar tetap setia karena kalau tidak, adalah suatu dambaan atau harapan belaka.
Misa pun berlanjut dan ketika selesai misa datang seorang gadis ke sakristi dan berkata , “Pater, saya mau menganggu Pater untuk beberapa menit”. Aku langsung mengerti kalau dia minta pengakuan, tetapi sambil berkelakar aku menjawab, “Mengganggu, maksudnya mau mencoba kesetiaan saya pada imamat kah?” Sambarnya sederhana, “Ah tidak Pater, dia yang sudah dipilih Tuhan, tetap milik Tuhan selamanya (mmmm jawabannya ibarat, terpaksa aku rela).
Kami berjalan menuju tempat pengakuan, tetapi ketika tengah memasuki pintu pengakuan, ia berkata, “Aku bukan mau mengaku, Pater. Aku hanya mau mengatakan bahwa, akulah gadis yang berada di samping pater dalam kereta menuju tempat ini minggu lalu. Pada saat itu saya membaca satu buku tentang kesetiaan yang sepertinya sudah luntur di zaman ini. Saya tertarik dengan kotbah pater tadi dan itu adalah pesan Paskah terindah buatku dan oleh karena itu aku ingin mengucapkan Selamat Paskah untuk pater”.
“Terima kasih, Selamat Paskah juga buatmu dan seluruh keluargamu”, jawabku . “Sampai jumpa pater dan semoga bisa datang lagi ke sini di tahun-tahun yang akan datang”, sambarnya.
Ketika kembali ke sakristi, muncul rasa penyesalan, mengapa saya tidak minta nomor whatsapp-nya? …
Monte Argentario - Tuscany – Italy
Selamat Paskah 2019