Pengalaman yang dipicu oleh pandemi Coronavirus telah mengkondisikan kehidupan kita semua dalam beberapa bulan terakhir ini dan masih akan mempengaruhi kehidupan kita hingga waktu yang tidak pasti di masa mendatang.
Saya ingin mempersembahkan kepada kalian semua, para saudaraku sekongregasi dan kepada segenap keluarga besar Pasionis, suatu bahan renungan yang dengannya saya mengundang kalian semua untuk terlibat dalam doa refleksi – secara perorangan maupun kelompok.
Bahan doa-refleksif yang saya bagikan kepada kalian berjudul PEMERIKSAAN BATIN.
“Pemeriksaan batin” merupakan suatu teknik doa-refleksif yang sudah sejak lama dipraktikkan di dalam Gereja untuk membantu kita melihat karya tangan Allah dalam pengalaman pribadi kita.
Seperti yang kita ketahui, doa-refleksif ini dipopulerkon oleh St. Ignatius dari Loyola. Dia menyarankan teknik ini sebagai kunci untuk meriksa batin setiap hari; suatu permenungan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang hari guna menemukan jejak kehadiran Allah dan mengenal kehendak-Nya yang menuntun hidup kita. (Saya menyadari bahwa teknik ini lebih merupakan suatu tradisi Jesuit. Sedangkan St. Paulus dari Salib menganjurkan suatu teknik lain kepada para Pasionis, yakni meditasi).
Di saat kita sedang mengarungi periode yang luar biasa dari pengalaman COVID-19, saya menganjurkan metode “pemeriksaan batin” ini sebagai doa pribadi maupun bersama, dalam percakapan rohani, dalam sharing iman dan dalam bimbingan rohani: secara perorangan, secara berkelompok dalam komunitas lokal, bersama umat di paroki, dalam kelompok-kelompok pelayanan.
Seperti yang telah kita lihat, COVID-19 tidak memandang perbedaan dan memiliki dampak yang besar bagi kita semua (baik secara pribadi, dalam hal kerohanian, secara mental, sosial, ekonomis, juga pada tingkat keluarga).
Sementara menantikan kehidupan "normal" seperti yang pernah kita kenal, sebagai orang yang memiliki kesanggupan untuk berefleksi, kita juga menyadari bahwa kehidupan selanjutnya tidak akan sama seperti kehidupan sebelumnya karena kita telah ditantang dan diubah oleh pengalaman ini – dalam hal baik maupun buruk. Kendati demikian, kehidupan harus diselaraskan dan terus berlanjut dengan apa yang telah terjadi dan terbentuk sebagai suatu “kenormalan” yang baru.
Kita semua telah melalui banyak hal: lockdown (pembatasan sosial), isolasi diri, karantina, jaga jarak, praktik baru di bidang kebersihan dengan memakai masker, sarung tangan, cuci tangan dan sanifikasi lingkungan, di bawah kontrol pihak berwenang, kehilangan bisnis dan pekerjaan, banyak hal telah direncanakan dengan baik tetapi kemudian harus diubah, dengan komunikasi online belajar dan bekerja di rumah, mengikuti peribadatan secara vitual.
Mari meluangkan waktu untuk sejenak merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini:
- Apa tanggapan saya dalam situasi ini?
- Sudahkah saya berusaha mencari dan menemukan peluang-peluang baru dalam situasi krisis ini?
- Apa yang telah saya pelajari?
- Di mana saya merasakan dan menemukan kehadiran Allah yang menghibur, menopang dan penuh kasih?
- Bagaimana saya dapat merasa dikuatkan dalam iman?
- Apakah saya mengalami perasaan-perasaan kesedihan, kebingungan, keragu-raguan, penderitaan?
Ingatlah bahwa krisis ini mencuat selama Masa Prapaskah, Pekan Suci dan Paskah, ketika, seperti para murid yang berjalan bersama Yesus, kita para Pasionis ditantang dalam pengharapan untuk menjalin relasi yang semakin dalam dengan Dia dan memiliki komitmen yang semakin kuat dalam tugas perutusan-Nya.
Namun, seperti yang kita lihat, selama periode ini kita menjalani kehidupan menggeraja sebagai suatu keadaan yang tidak pernah dialami sebelumnya! Gereja-gereja kita ditutup; kita seakan-akan dibiarkan sendiri untuk bertanggung jawab atas kehidupan doa dan kehidupan rohani kita masing-masing dengan liturgi online.
Bagaimana dengan pengalaman saya? Apakah saya merasakan keinginan dan kerinduan dalam diri saya untuk berdoa? Bagaimana saya merespon hal ini? Apakah saya benar-benar merasa kehilangan karena "tidak pergi ke gereja", mengambil bagian dalam Ekaristi bersama komunitas, merayakan sakramen-sakramen? Apakah rasa kehilangan membuat saya mengerti bahwa semua ini (pergi ke gereja, berpartisipasi pada perayaan sakramental) memiliki makna yang lebih berharga daripada sekadar “kewajiban”?
Dari tulisan-tulisan St. Paulus dari Salib:
- “Ketika kamu sendirian di dalam kamar, ambillah patung salib, ciumlah kelima luka dengan hormat, mintalah kepadanya agar menyampaikan renungan singkat kepadamu, dan kemudian dengarkanlah sabda kehidupan kekal yang akan dia suarakan di dalam hatimu ...”
- “Perjamuan Kudus adalah cara yang paling efektif untuk menyatukan diri dengan Tuhan ... biarkan hatimu menjadi tabernakel yang hidup bagi Yesus. Sering-seringlah mengunjungi Dia di tabernakel batin ini, seraya mempersembahkan pujian dan syukur yang dengannya cinta ilahi akan menginspirasi kamu.
- “Bangunlah ruang doa di dalam dirimu, dan tempatkanlah Yesus di altar hatimu. Sering-seringlah berbicara dengan Dia sementara kamu melakukan pekerjaanmu. Berbicaralah dengan Dia tentang kasih-Nya yang suci, tentang sengsara-Nya yang kudus dan tentang dukacita Bunda tersuci Maria.”
Selama masa “Pembatasan Sosial” setiap orang bereaksi dengan cara yang berbeda terhadap “suara-suara kesunyian” dan terhadap berkurangnya kesibukan-kesibukan yang rutin. Lebih jauh, bagi sebagian orang, ketiadaan kontak langsung dengan sesama manusia membuat kesendirian menjadi situasi yang berat untuk ditanggung. Bagi kita para Passionis, keheningan dan kesendirian adalah rahmat berharga yang harus direngkuh, bahkan ketika kita tidak sedang sendiri[1].
Keheningan membantu kita untuk mendengar secara lebih mendalam dan melihat dengan lebih jeli daripada biasanya; keheningan membantu kontemplasi kita. Sanggupkah Anda menemukan keutamaan-keutamaan dan mendengarkan kekhawatiran mendalam yang muncul dari pengalaman krisis ini, seperti solidaritas, persaudaraan, konsumerisme, ketidaksetaraan, ketidakadilan, pengorbanan diri, persahabatan, jalinan dengan ciptaan ...? Bagaimana hal ini mempengaruhi Anda?
Kesendirian, bukan soal merasa “ditinggalkan”, bukan pula tentang perasaan “kesepian”. Makna positif “kesendirian” berlaku ketika saya tinggal bersama Allah, bersemayam di dalam diriku dan tidak menutup diriku terhadap orang lain.
Bagaimanakah pengalaman Anda selama masa kehidupan kontemplatif yang “terpaksa” ini? Bagaimana Anda mengatasinya? Apa yang Anda temukan dalam refleksi tentang hubungan Anda dengan Tuhan, hubungan Anda dengan diri Anda sendiri dan hubungan Anda dengan sesama?
Dari tulisan-tulisan St. Paulus dari Salib:
- “Cintailah keheningan dan kesendirian bahkan ketika di tengah kerumunan orang atau ketika kamu terkurung dalam pekerjaanmu. Kesendirian lahiriah adalah hal yang baik, asalkan didukung dengan doa dan kehidupan yang Namun jauh lebih baik daripada itu adalah kesendirian di dalam hati, di gurun batin, di mana rohmu dapat tenggelam di dalam Allah."
- “Jagalah keheningan seperti satu kunci emas yang menjaga harta karun keutamaan lainnya yang telah Allah anugerahkan kepadamu.”
- “Cintailah keheningan, kesendirian batiniah dan lahiriah, di kapel dan di kamar pribadi. Bersikaplah lembut terhadap semua."
Mungkin Anda; mungkin anggota komunitas atau Provinsi Anda; mungkin saja seseorang yang Anda cintai atau sahabat Anda yang terpaksa berhadapan langsung dengan kerentanan dan kematian karena terbukti positif terjangkit virus dan harus dikarantina atau dirawat di rumah sakit.
Dapatkah Anda mengingat kembali bagaimana Anda mengatasi ketakutan dan kecemasan Anda saat itu? Siapa atau apa yang memberikan Anda harapan? Apa yang Anda lakukan agar dapat menjadi pembawa harapan dan peneguh bagi yang lain?
Dari tulisan-tulisan St. Paulus dari Salib:
- “Dalam masa-masa sulit lengkapi dirimu selalu dengan senjata iman, kepercayaan pada Allah, dan kerendahan hati yang mendalam.”
- “Bayangkanlah seseorang yang karam diterpa badai hebat dan yang sedang tenggelam ditelan ombak. Apa yang mesti dia lakukan? Satu-satunya pilihan terbuka adalah mengarahkan pandangan kepada Tuhan dan berseru kepada-Nya, memohon pertolongan."
- “Sedemikian banyakkah kekhawatiranmu? Belajarlah menjadi seperti Ayub dan katakanlah: “Sekalipun Tuhan menuntunku kepada kematian, aku akan terus berharap pada-Nya."
Tentu saja suatu refleksi yang jujur tentang krisis pandemi ini, betapapun menakutkan dan mengerikan, dapat memunculkan dalam diri saya beberapa tantangan dan peluang baru untuk menjalani kehidupan yang lebih tertata dan penuh kasih sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah.
Sebagai seorang Passionis, yang dipanggil untuk menghayati dan mewartakan kenangan akan Sengsara Yesus sebagai tanda kasih Allah, sisi-sisi manakah dalam kehidupan saya yang telah terbentuk dan ditantang oleh Roh untuk menjadi semakin tulus, berbela rasa, empatik, murah hati, pengertian, toleran, terbuka, beramal kasih? Sikap dan perbuatan apa saja yang dapat membawa kepada kematian dan yang harus ditinggalkan agar saya dapat mengadopsi dan mengambil cara-cara baru yang membawa kepada kehidupan?
Dari tulisan-tulisan St. Paulus dari Salib:
- “Cara untuk berkembang dalam hubungan dengan Allah ketika kita berada dalam pencobaan fisik maupun mental adalah dengan memperkuat diri kita sendiri dengan melakukan hal-hal yang sesuai dengan kehendak Allah.”
- “Cara yang paling sederhana untuk menjaga kedamaian hati adalah dengan menerima semua yang terjadi sebagai sesuatu yang datang secara langsung dari tangan Allah yang mengasihi kamu. Jika kamu dapat melakukan hal ini maka semua rasa sakit dan penganiayaan, segala sesuatu yang sukar untuk diterima akan berubah menjadi sumber kegembiraan, sukacita, dan kedamaian."
- “Allah menyucikan kamu seperti emas yang dimurnikan dalam bara api. Bagaimana Allah melakukannya? Dia menyucikan kamu dengan api kesakitan fisik dan kesedihan mental, dengan hal-hal yang menimbulkan perasaan getir. Allah membuat kamu menjalani kehidupan yang sangat berat; sesungguhnya suatu kehidupan yang kaya dengan segala hal yang baik meskipun kamu tidak mengerti bagaimana Allah melakukannya. Bersyukurlah kepada Allah, lambungkanlah kemualiaan dan hormat hanya kepada Dia."
Salam Passio!
“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”
---------------------
[1] Tidak ada padanan dalam bahasa Indonesia untuk menerjemahkan kata solitudo -ĭnis (Latin), solitude (Inggris), solitudine (Italia), soledad (Spanyol). Dalam konteks teologi spiritual kata ini mencakup makna “suasana sunyi” dan “hening”, tetapi juga mengindikasikan “keterpisahan” dan “jarak”; merujuk pada pola hidup St. Antonius, Abas yang menyepi di padang gurun. Dalam pengertian ini St. Paulus dari Salib menyebut biara pasionis dengan nama “ritiro” yang artinya “menarik diri”, “mengasingkan diri”, “menjauhkan diri” (dari keramaian), “menyepi”, “menyendiri” untuk tinggal bersemayam bersama Allah.