Alih Bahasa: P. Adiantus, CP
Yesus mengarahkan pandangan-Nya (Yunani: mengeraskan wajah, membulatkan tekad) untuk pergi ke Yerusalem
(Luk 9:51; Yes 50:7)
- Di negara Italia bagian utara pada abad ke-10 terdapat sebuah kota bernama Gamondio; nama yang terbentuk dari dua bahasa latin: Gaudium dan Mundi, yang berarti sukacita dunia. Nama yang bersifat sugestif atau memiliki makna tersirat: tempat kegembiraan, kesenangan, kesejahteraan dan kedamaian. Pada abad ke-17 kota tersebut tidak lagi disebut Gamondio, melainkan Castellazzo yang artinya benteng, pertahanan. Gamondio dikelilingi dengan tembok untuk mempertahankan diri dari musuh. Dengan menara-menara dan bentengnya yang kokoh Castelazzo tampak menjadi seperti permukaan batu. Seiring perjalanan waktu, Castellazzo seakan-akan membuat Gamondio terlupakan.
Pada 1715 Paulus Danei, yang berasal dari Ovada, tempat ia dilahirkan pada 1694, pergi untuk tinggal bersama keluarganya di Castellazzo. Dalam semangat Paulus melebur aspek-aspek Gamondio dan Castellazzo, kegembiraan dunia dan benteng kokoh. Biasanya tempat dan lingkungan tempat kita tinggal memengaruhi struktur kepribadian kita: Padang gurun, pantai, pegunungan, pedesaan atau kota, dll ... memberikan karakter dan membentuk kepribadian orang-orang yang tinggal di sana. Castellazzo, dengan bentengnya yang keras dan kokoh, menempa hati Paulus, yang akan menempuh perjalan berat pembentukan diri dengan silih dan matiraga dalam usaha mencari Gamondio, sukacita sejati dunia.
Di Castellazzo, Paulus memperoleh wahyu dan inspirasi untuk mengumpulkan rekan-rekan guna mengikuti Yesus Tersalib. Konteks lingkungan seakan-akan berbicara kepadanya tentang kerasnya batu karang sejarah di mana dengan "tekad yang teguh" (Luk 9:51) Kristus telah masuk untuk menebusnya. Retret 40 hari (23 November - 1 Januari 1721) yang ia lakukan di ruangan kecil di gereja San Carlo segera setelah ia mengenakan jubah perkabungan, di bulan November dan Desember yang dingin, hanya dengan roti dan air sebagai makanan, memperkenalkan kepadanya suasana rohani yang dialami oleh Yesus di padang gurun dan di Kalvari.
Juga pertapaan Santo Stefano, di mana Paulus kemudian tinggal selama beberapa waktu, memberi Paulus kesempatan untuk berjumpa dengan batu-batu yang telah membunuh martir pertama Kristen (Kis 7:54-60) yang, sama seperti Yesus, mati seraya mengampuni. Pengalaman Castellazzo telah mengeraskan wajah Paulus Danei seperti batu karang, mengokohkan tekadnya seperti benteng. (Yes 50:7).
Gamondio, bersama dengan Castellazzo, selalu hadir dan membentuk kedalaman hati Paulus. Sukacita dunia, Paskah Kristus, kegembiraan dan sukacita Injil bagi dunia, telah dibangkitkan di Castellazzo oleh sosok Santo Fransiskus dari Assisi yang bebas, ramah dan penuh persaudaraan, yang dihormati di gereja Kapusin, tidak jauh dari tempat di mana Paulus menerima dan mendapatkan inspirasi untuk mendirikan Kongregasi. Figur lain juga mengilhami hati Paulus adalah Santo Martinus yang gambarnya terdapat di gereja dekat parokinya: tindakan orang kudus tersebut yang memotong jubahnya untuk berbagi dan menghangatkan orang miskin adalah tanda lain dari Gamondio, kegembiraan dunia yang bertemu kembali dengan kemanusiaan, persaudaraan dan solidaritas.
Seperti apa lingkungan tempat Anda tinggal dahulu dan bagaimana hal itu mempengaruhi hidup serta panggilan Anda?
- Pengalaman retret 40 hari di Castellazzo bagi Paulus Danei merupakan suatu pengalaman pribadi yang orisinal dan mendasar yang menyokong perkembangan kepribadiannya, di mana panggilannya menemukan nilai-nilai dan pedoman mendasar yang harus dia ikuti. Suatu pengalaman–akar yang akan memunculkan pohon, ranting dan buah. Pengalaman tersebut menjadi dasar kehidupan Paulus dan kehidupan Kongregasi yang akan didirikannya, termasuk Regula yang ia tulis selama retret tersebut (2 - 7 Desember), yang kelak pada waktunya, akan disahkan Gereja.
Dalam Catatan Rohani (CR) yang ditulis oleh Paulus selama retret – yang bagi kita memiliki nilai kesaksian dan inspiratif – kita dapat menemukan ciri-ciri utama dari pengalaman rohaninya:
- Di Castellazzo Paulus ingin menjalani pengalaman kesendirian, keheningan dan “padang gurun”, seperti pengalaman Musa dan orang-orang Israel, Elia dan Yesus. Dia menjauhkan diri agar dapat mengalami perjumpaan yang otentik dan merenungkan di dalam hatinya realita yang terjadi, untuk bertemu dengan Tuhan, sesama, dunia dan sejarah dalam dimensi mereka yang sesungguhnya (CR, 23 November).
- Paulus memiliki pengalaman doa yang kuat dalam perjumpaan dengan Allah Bapa-Ibu dan dengan Sabda-Nya, yang memberinya rasa percaya seperti seorang anak, kedamaian batin, pengangkatan dan penyatuan diri dengan Allah; suatu doa yang diwarnai oleh penderitaan dan pemurnian, kekeringan dan pencerahan. Paulus melakukan seluruh peziarahan spiritual, melewati kegelapan rohani menuju pembaruan total dalam roh. (Catatan Rohani, 24 November, 1 Januari).
- Paulus mengalami perjumpaan secara utuh dan menyeluruh dengan dirinya sendiri dan sejarah pribadinya, mengenal dirinya sendiri sebagaimana Allah memandangnya, dengan segala kesanggupan dan kesempatan, dan dia harus terus berusaha dalam pencarian dan penerimaan identitas dirinya. Paulus menegaskan: “Saya memiliki pengetahuan khusus tentang diri saya sendiri… mengenal bahwa saya adalah seseorang yang tidak tahu berterima kasih… Saya berkata kepada Penyelamatku bahwa saya bukanlah siapa-siapa selain keajaiban dari belas kasihan-Nya yang tak terbatas” (CR, 28 December).
- Paulus mengalami perjumpaan yang mendalam dengan Yesus, Tuhan Tersalib, dengan menghayati perasaan-perasaan Tuhan, dalam Sakramen Ekaristi... Yesus yang disalibkan merupakan alasan utama, prinsip dan dasar hidupnya, dan di dalam Dia Paulus ingin mengubah dirinya; suatu hasrat untuk menyalibkan dirinya sendiri karena cinta demi mencapai keserupaan yang sempurna dengan orang yang dicintai; suatu keinginan yang dicapai hanya dengan melakukan kehendak Allah “Saya tidak ingin mengetahui hal lain atau merasakan penghiburan apa pun. Saya hanya ingin disalibkan bersama Yesus” (CR, 23 November, 27 Desember).
- Seluruh proses retret selama 40 hari tersebut Paulus jalani dengan semangat kemiskinan: dia berbicara tentang dingin, salju, embun beku, pakaian kasar, tanpa sandal atau sepatu, kekurangan makanan (CR, 27 November). Juga dalam semangat penitensi atau silih atas dosa; tidak hanya secara lahiriah tetapi juga secara batiniah yang mendorong pada pertobatan sejati: mencari dan melakukan kehendak Allah, memiliki rencana dalam hidup, membuat keputusan-keputusan, pilihan-pilihan serta membuka jalan. Setelah menyelesaikan retret Paulus memiliki suatu rencana dalam hidupnya dimana dia mendedikasikan seluruh dirinya.
- Sepanjang peziarahan rohani tersebut muncul juga keprihatinan Paulus terhadap Gereja dan kebutuhannya: pertobatan orang-orang berdosa, pemulihan atas perlakuan yang tidak wajar terhadap Gereja. Paulus memiliki keinginan untuk mati sebagai martir di tempat dimana Ekaristi ditolak. “Rasanya saya ingin mati ketika melihat begitu banyak jiwa yang binasa karena tidak mengalami buah Sengsara Yesus” (CR, 4 Desember, 29 Desember).
- Dalam pengalaman rohani ini Paulus merasa dikukuhkan dalam inspirasi untuk mewujudkan mukjizat besar Allah, mendirikan Kongregasi Pasionis. Karen aitu, "Saya merasakan dorongan khusus untuk pergi ke Roma ... Saya bertanya kepada Tuhan apakah Dia ingin saya menulis Regula para miskin Yesus (CR, 27 November) ... Saya memiliki kelembutan khusus dalam memohon kepada Allah yang, karena kebaikan-Nya, segera mendirikan Kongregasi yang kudus dan semoga Ia mengirim banyak orang demi kemuliaan-Nya yang lebih besar dan demi kebaikan sesama. (CR, 7 Desember). Paulus, dalam kenyataan, telah menulis Regola.
Ketika mengakhiri hari-hari retret tersebut Paulus menyusun rencana yang ingin dia ikuti dalam hidupnya: mendirikan Kongregasi Sengsara. Dia mencari kesempatan pertama untuk pergi ke Roma guna memohon persetujuan dari Paus untuk mengumpulkan rekan-rekan dan mulai mewujudkan rencana yang diilhami oleh Allah. Paulus terinspirasi oleh harapan yang sangat kuat dan melampaui apa yang dapat ia bayangkan: usaha dan kerja keras, kekecewaan dan penolakan, pencarian dan pencapaian – buah dari identifikasi dirinya dengan Yesus yang Tersalib.
Apa dan bagaimana pengalaman dasar memberi makna dan menginspirasi hidup dan panggilan Anda?
Buah apa yang muncul dari pengalaman tersebut? Apa yang masih dibutuhkan?