PENDERITAAN DALAM RELASI MANUSIA

Author Fr. Nicolaus Geraldo Bayu Setio Doni Moron, CP | Jumat, 25 September 2020 22:41 | Dibaca : : 2071
PENDERITAAN DALAM RELASI MANUSIA

1. Pengantar

Hal-hal yang biasa dapat menjadi begitu rumit ketika manusia mulai mempersoalkannya. Sama halnya juga dengan penderitaan. Setiap orang memaknai penderitaan dengan persepsinya masing-masing dan dengan demikian hal yang sama memperoleh pengartian berbeda. Saya beri contoh dengan pengandaian dari pernyataan berikut: “Ada manusia yang tidak makan selama dua hari.” Bagi sebagian orang kaya atau mereka yang berkecukupan manusia dalam pernyataan itu akan diartikan “kelaparan.” Seorang yang sangat miskin mungkin mengartikan sebagai hal yang biasa dan bukan suatu masalah yang berarti. Sebaliknya, bagi seorang pertapa yang sedang berpuasa, mungkin merasa kurang untuk tidak makan selama itu dan justru ingin menambah frekwensi hari demi pemurnian dirinya.

Hal tersebut memang sekedar pengandaian tetapi di sinilah letak perbedaan manusia dan menjadi kekhasan setiap pribadi dalam memahami fenomena yang dialaminya selama ia berelasi. Menjadi persoalan di sini ialah; apakah benar penderitaan itu ada? Jika penderitaan ada, apakah harus dihindari? Bagaimana jika penderitaan itu sendiri justru akan memberikan kebahagiaan setelahnya? Apakah manusia dapat terus menerus berada dalam zona bebas derita? Dari semua pertanyaan itu, akhirnya memuncak pada pertanyaan ini; bagaimanakah manusia memaknai relasinya dengan penderitaan?

 2. Penderitaan menurut Yesus

Sejatinya penderitaan itu ada dalam artian tertentu. Dalam Luk. 6: 21-25, Yesus menyatakan kebenaran penderitaan dan kebahagiaan sebagai hal yang tak terpisahkan, juga bagaimana kita dapat mengambil sikap dalam memaknai kedua hal tersebut. Karena ada derita maka ada bahagia. “…. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa.” “…Celakalah kamu yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berduka cita dan menangis.” Dengan demikian maksud Yesus sebenarnya ialah penderitaan atau pun kebahagiaan bukanlah hal mutlak yang terus berada pada manusia. Penderitaaan dan kebahagiaan selalu bertukar posisi dalam roda kehidupan kita dan kita dipanggil untuk berjaga-jaga terhadap seluruh kejadian tersebut. Untuk apa? Tidak lain adalah agar kita tetap mampu membatasi dan menguasai apa pun bentuk kejadian yang terjadi pada kita dan tidak sampai terbuai serta dikuasai perasaan sementara ini. Terlebih dari pada itu, maksud kebahagaian konsep Yesus tidaklah hanya kebahagiaan yang bersifat fisik semata tetapi juga tersirat kebahagiaan rohani. Kebahagiaan fisik tidak menjamin kebahagiaan rohani. Jadi yang perlu diwaspadai dalam relasi kita adalah kebahagiaan fisik yang rapuh. Sebaliknya, kita diharapkan justru mengejar kebahagiaan rohani. Dalam hidup fisik manusia menghindari penderitaan, tetapi dalam terang rohani justru ia mencari penderitaan demi suatu kebahagian rohani, yaitu kebahagiaan surgawi yang di tawarkan Allah dalam diri Yesus.

 3. Harapan dan penderitaaan

Penderitaan memiliki kemampuan untuk membawa manusia pada suatu rasa ketidakberdayaan seiring kegagalan dalam membebaskan diri. Tetapi selain itu juga, ia juga melahirkan pengharapan. Bagaimanakah dan kepada siapakah pilihan perwujudan pengharapan itu sendiri manusia bebankan? Menurut saya, pilihan akhir dari manusia selain dirinya, tentu selalu mengarah kepada tiga aspek dimensi di mana ia berelasi. Ketiga aspek tersebut antara lain alam atau lingkungan manusia itu, komunitas atau masyarakat sosial dan yang terakhir tetapi memuat keseluruhan berada manusia adalah Allah sendiri. Menjadi pertanyaan sekarang adalah pengharapan manusia yang bagaimanakah yang ia pilih tanggungkan? Obyek-obyek pengharapannya tadi itu pada akhirnya melibatkan dunia tempat ia berelasi. Dunia yang seperti apakah? Komunitas yang seperti apakah? Dan Allah seperti apakah?

 4. Relasi dan penderitaan

Pertanyaan-pertanyaan sebelumnya itu akan menjadi mungkin terjawab hanya jika manusia dalam kehadirannya sendiri melibatkan diri dalam ketiga dimensi aspek kehidupannya itu sendiri. Di sini saya membedakan relasi tersebut menjadi dua yaitu relasi yang bersifaat fisik dan rohani.

 

4.1. Relasi fisik

Sudah menjadi hal lumrah bahwa dalam mengatasi penderitaannya, manusia memanfaatkan alam atau lingkungannya dan membutuhkan komunitas yang terdiri dari pribadi-pribadi atau sesamanya berelasi. Contoh saja; untuk mengatasi rasa lapar, manusia makan dengan mengolah bahan yang bersumber dari alam. Untuk memenuhi kebutuhannya akan cinta, manusia memerlukan cinta yang timbal balik antara sesama manusia. Begitu juga halnya dengan rasa aman. Ia membutuhkan perlindungan dari manusia dan lingkungannya. Singkatnya, secara fisik, manusia mampu menemukan pemenuhan akan deritanya dengan mengembangkan relasi itu.

4.2. Relasi rohani

Relasi rohani melibatkan Allah dalam pemaknaan dan pencarian kebahagian bagi manusia. Dan karena manusia lebih mudah berelasi secara fisik, maka untuk masuk dalam dimensi rohani, ia memerlukan penghayatan akan unsur Ilahi. Yang Ilahi ada bersama dan selalu memberi “rangsangan” bagi manusia untuk menanggapinya. Inilah relasi yang disebut panggilan hidup itu sendiri. Dengan berhasil menanggapi atau menjawabnya, manusia pada akhirnya mampu mengurangi ketergantungannya dengan dimensi fisik.

Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan alam, seperti halnya membutuhkan makanan, orang dapat bermatiraga dengan durasi yang di luar kewajaran tubuh. Dalam hal relasi dengan komunitas, orang tidak lagi membutuhkan ikatan cinta yang bersifat fisik. Di luar itu semua, kedua hubungan di atas dihidupi dengan lebih bertanggungjawab dan lepas bebas. Ia menjadi lebih terbuka dan peduli terhadap penderitaan orang lain dan memperoleh kebahagian dengan semakin menerima penderitaan sebagai bagian dirinya. Tetapi menjadi persoalan ialah, hidup dalam kerohanian memerlukan pencaharian dan seolah-olah menjadi batu sandungan bagi kejasmaniahan manusia. Ia mencari yang rohani tetapi sekaligus juga tidak dikenalnya secara dekat. Penderitaan yang dialami dan disaksikannya menjadi jurang pemisah atas pencariannya. Padahal, menjadi jasmaniah tidak berarti meninggalkan rohaniah. Jasmani dan rohani itu menyatu dalam kemanusiaannya dan justru menjadikannya manusia yang utuh. Dari sini, saya bermaksud untuk menjawab pertanyaan Allah yang bagaimanakah yang menjadi perwujudan jasmani dan rohani secara sempurna itu?

 5. Allah juga menderita

Benarkah Allah yang sempurna itu turut mengalami penderitaan? Bukankah hanya sesuatu yang tidak sempurna saja yang menderita dan mengalami kekurangan? Apa sebenarnya maksud dari Allah yang menderita? Mungkinkah Allah yang demikian itu tetap Allah yang sempurna?

Allah itu sempurna. Manusia membahasakan Dia sebagai demikian karena ketidakmampuannya mengungkapkan sosok tersebut dengan tepat menyeluruh. Allah melampaui bahasa yang menjadi batasan komunikasi manusia. Pernyataan “Allah itu sempurna” sesungguhnya mengandung juga makna ketidakberdayaan manusia dalam mengkomunikasikan-Nya. Maka dalam ketidakberdayaannya itu, manusia menempatkan Allah di luar kemampuan pengenalan dan penalaran akal budinya sebagai Yang Sempurna dan penuh misteri.

Sebagai orang Kristen, Allah yang sempurna dan jauh dari penalaran budi itu dapat kita kenal karena pewahyuan. Allah menghampiri manusia dan menyatakan diri-Nya dalam manusia Yesus sebagai pribadi-Nya yang lain. Kita sebut ini Inkarnasi dan sekalipun demikian hal ini tetap menjadi misteri bagi pikiran manusia. Intinya adalah Allah yang kita kenal sekarang adalah Dia yang dekat dan mengakrabi manusia, menawarkan dan memperkenalkan diri, meskipun manusia akhirnya lebih mampu mengenal-Nya, itu tidak mengurangi kesempurnaan-Nya.

Dalam Yesus inilah Allah menjadi benar-benar manusia dan sekaligus Allah yang utuh dengan pengosongan diri. Ia juga menderita; Ia miskin, ditolak, difitnah, dikhianati, sampai disalibkan. Perbedaan Yesus dengan manusia terletak pada hal dosa dan kehendak menanggapi penderitaan. Manusia memang terpaut dengan penderitaan. Yesus menderita bukan karena kesalahan atau kelemahan manusiawi-Nya tetapi karena kesempurnaan penebusan-Nya. Ia menderita juga karena kehendaknya. Ia menginginkan penderitaan demi penebusan karena cinta yang tak terpisahkan dari salib. Membangun relasi dengan Allah dalam Yesus membuat kita menjadi mampu untuk berani menerima beban penderitaan. Dalam relasi keseharian, kita tidak hanya diharapkan untuk membawa Kristus saja, tetapi lebih pada menemukan Kristus dalam setiap objek relasi kita.

 6. Makna penderitaan

Dalam ajaran Kristen, Allah yang diimani adalah Allah yang terlibat dalam sejarah manusia. Ia menyejarah dalam karya keselamatan sebagai suatu tanda pembebasan manusia dari penderitaan. Ia masuk dalam kehidupan manusia dan merendahkan diri dengan turut menderita. Maka, panggilan Kristen sebenarnya adalah suatu panggilan untuk berani menderita demi suatu keselamatan. Allah yang demikian kita kenal dengan Yesus Kristus yang sungguh manusia dan sekaligus sungguh Allah.

Yesus Kristus sendiri adalah pribadi dan bukan hanya huruf yang tertulis. Untuk itu setiap orang yang mengaku sebagai pengikut-Nya dituntut untuk melakukan kontak hidup atau relasi dengan tidak hanya membolak-balikan teks-teks yang dianggap suci. Kita yang harus mengikuti Yesus dan bukan sebaliknya: Yesus yang mengikuti kita. Untuk mampu menyelami penderitaan Allah, orang harus membuka diri terhadap-Nya dengan percaya.

Mengikuti Yesus berarti sama halnya menjadi seperti Yesus dengan ikut diutus ke dunia; memberikan hidup kepada dunia dengan menerima penderitaan. Orang bahagia sebenarnya bukan mereka yang tak pernah sekalipun menderita, tetapi mereka yang mampu mengidentifikasikan diri dengan Yesus; mengubah salib yang semula adalah kesengsaraan menjadi lambang kemenangan dan tanda keselamatan.

 7. Penutup

Penderitaan bukanlah hal yang dapat dihindari selama manusia masih memiliki keinginan, cita-cita dan ambisi yang terus menuntutnya. Demikian juga halnya kebahagian yang tak akan pernah diperoleh manusia secara mutlak selama ia mengira dapat memperolehnya dengan usahanya. Allah memang menjadikan manusia untuk dapat menderita tetapi bukan karena ingin manusia menderita.

Lewat penderitaannya, manusia justru mampu memperbaharui relasinya dengan lebih baik lagi. Kebahagiaan defenitif adalah kebahagiaan ketika manusia berada dalam kepenuhan relasi dengan Allah. Kebahagiaan itu sendiri pada akhirnya menghantarkan manusia pada kesadaran bahwa segala kejadian dalam hidupnya adalah suatu rahmat dan dalam usaha menanggapi kejadian itu ia juga membutuhkan rahmat. Ada relasi di sini. Maka penderitaan atau apa pun itu bentuknya bukanlah lagi hal yang perlu ditakuti apa lagi dihindari, tetapi merupakan sesuatu yang perlu dirangkul sebagai bagian dari dinamika hidup berelasinya. Dengan demikian, manusia sejatinya dapat memperoleh jawaban dari relasinya terhadap alam, sesama dan Allah yang ia imani dalam memaknai penderitaannya.

 

Salam Passio!

 

"SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU HIDUP DI HATI KITA"

Leave a comment