PENGALAMAN SALIB YESUS: FONDASI KOKOH DI TENGAH TERJANGAN BADAI KEHIDUPAN

Author Fr. Franz-Emmanuel, CP | Selasa, 27 Oktober 2020 12:35 | Dibaca : : 2159
PENGALAMAN SALIB YESUS: FONDASI KOKOH DI TENGAH TERJANGAN BADAI KEHIDUPAN

Pengantar

Manusia dengan penuh kesadaran menghadirkan diri sebagai subjek yang tahu akan berbagai pilihan hidupnya. Namun, ketika berhadapan dengan penderitaan apakah manusia memilih untuk menolak? Tidak. Setiap manusia, siapapun itu tidak terlepas dari apa yang namanya penderitaan.

Penderitaan seakan menjadi semakin lebih nyata di tengah kemajuan zaman ini. Saat ini dunia sedang dilanda pandemi covid-19. Di mana manusia secara terus menerus berjatuhan karena ganasnya virus ini. Bukan hanya itu saja; perang, pertikaian, bencana alam, dan sakit penyakit seakan menambah panjangnya litani penderitaan yang harus manusia jalani. Lantas apakah kita menyerah? Memang penderitaan merupakan kenyataan yang tak dapat dihindari dari hidup manusia. Walaupun, manusia secara terus menerus berusaha untuk meniadakan penderitaan seperti dengan menghadirkan berbagai kemajuan atau kecanggihan dengan didukung alat-alat teknologi. Tapi toh… apakah penderitaan manusia berakhir? Pada kesempatan ini, penulis mengajak para pembaca untuk melihat dan menghidupi penderitaan secara baru dengan bersumber pada pengalaman Kristus sendiri, di mana Ia dengan cinta-Nya yang besar telah berkorban untuk manusia.

 

Pengalaman Salib bermula:

Selama hidup dan karyanya hingga puncaknya pada Salib, Yesus telah mengalami berbagai penolakan. Ia dibenci hingga pada akhirnya disalibkan oleh bangsanya sendiri.

 

Pergumulan di Getsemani

Leon Morris dalam bukunya Salib Tuhan mengatakan bahwa kita harus ingat bahwa teriakan ditinggalkan di atas salib di bukit Golgota “Ya Allah mengapa Engkau meninggalkan aku?” tidak berdiri sendiri. Dalam injil ditulis bahwa Yesus sungguh-sungguh bergumul di taman Getsemani sewaktu Dia merenungkan kematian yang akan dialaminya. Matius berkata bahwa sewaktu Yesus pergi berdoa “mulailah Ia merasa sedih dan gentar (26:37)” dan Markus berkata bahwa “Ia sangat takut dan gentar (14:33)(Morris, 1991:89).  Dari tulisan kedua penginjil ini dapat diketahui bahwa Yesus akan mengalami kematian yang sangat ngeri.

Ia berserah seutuhnya kepada Bapa-Nya. Ketakutan yang luar biasa menjadi semakin tampak dengan menetesnya peluh darah. Setelah dikhianati oleh sahabat-Nya sendiri, Yudas Iskariot, Yesus dirantai seperti seorang penjahat kelas atas. tapi Apakah Ia menolak? Ia memberontak? Tidak.

Setelah semuanya terjadi, Ia dihadapkan kepada para pemimpin di negeri itu dengan berbagai tuduhan palsu, ia mengalami penderaan yang sangat ngeri, dimahkota duri, memikul Salib, pengalaman jatuh dalam perjalanan menuju Golgota, dan akhirnya di Salib. Pengalaman jatuh di bawah beban yang berat tidak membuat Yesus menyerah. Cinta-Nya yang besar membangkitkan semangat-Nya sehingga Yesus bangkit berdiri dan berjalan terus. Segalanya Yesus tunjukkan karena begitu besar cinta-Nya kepada manusia.

 

Yesus di Golgota

Ketika tiba di Golgota, tanpa menunggu lama para serdadu dengan sigap melaksanakan tugas mereka. Yesus ditelanjangi, kemudian mulai dipaku pada tangan dan kakinya. Penderitaan yang hebat ini Yesus tanggung. Pengalaman sakit yang ngeri tidak lagi dirasakan-Nya. Semuanya terjadi karena cinta kepada manusia lebih besar.

Yesus dapat mengalami kelumpuhan di atas salib. Rasa sakit ini menjalar ke seluruh persendian, sementara di saat yang sama, kedua kaki menjadi satu-satunya tumpuan berat tubuh, tidak mampu menopang karena kehilangan tenaga akibat penyiksaan sebelumnya. Seluruh episode itu bukanlah rekaan tetapi kejadian nyata. Penderitaan yang dialami Yesus tidak terlukiskan. Itu sebabnya Dia berteriak,  Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: AllahKu, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat. 27:46). Seruan itu adalah seruan puncak dari titik kesakitan Yesus. Sesaat kemudian, Ia berkata dengan lemah, "Sudah selesai." Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya. (Yoh. 19:30).

Kematian Tuhan di salib mengatakan sebuah “pengosongan tuntas diri-Nya yang menghapus, menebus dan hadir dalam kehidupan manusia” Tuhan yang mati adalah Tuhan yang “mahakuasa”. Tuhan yang mati adalah Tuhan yang “tunduk” pada cintanya sendiri yang menyelamatkan dan menghidupkan manusia (Riyanto, 2013:239).

 

Realitas Penderitaan Manusia Kontemporer

Yesus Kristus selalu berhubungan dengan orang yang berada dalam penderitaan. Yesus merasa telah mengambil bagian dalam penderitaan mereka. Yesus menunjukkan solidaritas yang amat mendalam dengan Allah dan manusia. Yesus telah menderita bersama manusia dengan sikap penuh belakasihan serta mampu meringankan penderitaan yang dialami manusia (Algeni, 1996: 79). Manusia siapapun dia tidak telepas dari yang namanya penderitaan. Ketika penderitaan itu terjadi hanya ada dua kemungkinan yang akan ditunjukkan manusia. Menolak atau menghadapi dengan tabah.

Penderitaan yang dialami manusia di setiap zamannya, teristimewa penderitaan yang dialami manusia kontemporer haruslah dilihat sebagai suatu anugerah besar yang Allah diberikan Allah kepada manusia. Mengapa? Karena dengan demikian manusia dapat menyadari siapa dirinya, kekuatannya, kemampuannya. Mungkin penderitaan menjadi salah satu cara Tuhan untuk memurnikan manusia. Lantas siapakah manusia itu? Manusia adalah dia yang bergulat dengan pengalaman duka, kecemasan, kegembiraan dan harapan, tawa dan tangis, beban berat dan ringan (Riyanto., ibid).

Saat ini manusia di seluruh dunia memasuki babak baru dalam peradabannya. Babak di mana manusia berada dalam panggung kehidupan yang menjanjikan. Berbagai kemajuan yang mencengangkan membuat manusia menjadi sombong bahwa dialah yang menjadi pengontrol dunia dengan berbagai penemuan. Penderitaan menjadi semakin nyata dengan adanya pandemi yang kian mebabi buta. Banyak orang menjadi korban dari keganasan Virus Covid-19. Lalu apakah Allah diam sambil menyaksikan segala yang terjadi dari tempat-Nya?

 

Kesimpulan

Penderitaan yang mengerikan seperti satu rantai berdarah: berpeluh darah di Getsemani, ditangkap sebagai seorang penjahat, dihakimi dengan tuduhan palsu, didera, dimahkotai duri, diludahi, memikul Salib ke Golgota, jatuh berkali-kali di bawah beban Salib yang berat, ditelanjangi dan akhirnya disalibkan, belum juga cukup, akhirnya lambung-Nya dibuka dengan tombak sehingga tetes-tetes darah keluar dari lambung-Nya (Antonelli, 1994, 65). Lalu apakah semuanya sia-sia? Tidak! Semuanya terjadi karena cinta- Nya yang besar bagi manusia.

Dari semua yang dialami Yesus, kita dapat belajar banyak hal, yakni kesabaran, percaya akan adanya rahmat Tuhan dalam hidup kita. Walaupun penderitaan yang terjadi selalu datang silih berganti, orang Kristen percaya bahwa Allah ada untuk mereka. Jadi jangan takut Aku ini, kata Yesus. Penderitaan adalah kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh manusia. Penderitaan dan kematian adalah momen misteri di mana manusia sedang menjalankan ketaatan cinta sehabis-habisnya kepada kodratnya, kepada panggilannya dan kepada Allahnya. Penderitaan manusia adalah sebuah proses berjalan-menjadi-menggapai kepenuhan dalam pelukan sang cinta itu sendiri.

 

Daftar Pustaka

Algeni, Rafael. Salib Kristus dalam karya Keselamatan: Ungkapan dan penafsiran tentang peristiwa Yesus Kristus. Malang: Dioma, 1996. 79.

Antonelli, Gabriel. “Memoria Passio Spiritualitas untuk Masa Kini” dalam kami mewartakan Kristus yang disalibkan: Renungan Rahasia Salib Dr. B. A. Pareira, dkk (eds.). Malang: Dioma, 1994.

Morris, Leon. Salib Yesus. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1991.

Riyanto, Armada. Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

 

 

Salam Passio!

 

“SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU HIDUP DI HATI KITA”

Leave a comment