Di daerah yang tidak pernah kulihat dan kuketahui sebelumnya , jauh dari khalayak umum , jauh dari rusuhnya bunyi klakson mobil dan lain lain , itulah yang bisa kugambarkan untuk sebuah Biara yang tidak bisa kusebutkan namanya. Biara yang dihuni oleh para pria berjubah hitam. Para pria yang menyapa dengan lembut dan beberapa dengan sikap cueknya.
Saat ku injakkan kaki seperti ada yang berbeda, ada kenyamanan sendiri yang kurasakan disana. Entah itu dari diriku atau orang yang aku temui. Singkat saja, dia hadir di tengah keramaian, dia hadir di saat hatiku kosong dan penuh resah. Langkah kaki serta bayangnya membuat wajahku tersentak menoleh ke arah pintu dan berguman, “Ya Tuhan, siapakah pria ini?” Aku terus bertanya di dalam hati tentang sosok yang menggetarkan hatiku, hati yang sempat mati ini. Seketika dia langsung menghentikan lamuanku. Dia berhenti tepat di samping kananku yang saat itu juga ada pria-pria lain yang duduk mendampingiku dan teman-teman. Senyumannya, raut wajahnya membuatku tak bisa fokus. Aku tak mampu mengalihkan pandanganku.
Setelah makan malam, kami kembali ke ruangan aula untuk memulai aktivitas di rumah ret-ret itu. Suasananya dingin dan biasa saja sebelumnya, namun itu langsung berubah ketika aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam aula. Langkahku terhenti sejenak ketika melihat sosok yang menggetarkan hatiku tadi. Ternyata di dalam balutan jubah hitam, “oh ternyata dia... seorang Frater.” Aku langsung terdiam dan tidak bisa berkata. Aku masuk dan kembali di tempatku, namun pandangan mata tetap tertuju padanya. Aku hampir tak bisa mengedipkan mataku. Dan tiba-tib dia mengambil alih mic dan mengajak kami untuk menyanyi dan berjoget. Saat suaranya terdengar dari microfon tersebut, aku langsung beku tanpa tutur. Di situ aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta dengan seorang frater. Jatuh cinta dengan suaranya, dengan kedinginan berbeda dari sebelumnya. Dingin yang ingi membuatku berlindung dan terlindungi.
Ketika kami kembali dari rumah ret-ret, ku bersihkan badan dan bersiap untuk istirahat. Namun wajah, senyum, suara dan gerak-geriknya masih tergambar jelas di ingatanku. Aku tak bisa tidur malam itu, meskipun tubuhku sangat lelah dengan aktivitas di sana. Lalu kuarahkan bola mata ke layar handphone, melihat waktu di situ, dan ternyata jam menunjukkan pukul satu subuh. Ketika tersadar dari lamuan, aku menyimpulkan bahwa ternyata aku membayangkan wajahnya selama hampir tiga jam. Singkat cerita, waktu sudah berlalu hampir sebulan, ku masih saja mencari info tentang dia, pria berjubah hitam di berbagai sumber. Aku selalu kepo dengan aktivitas hariannya. Sampai-sampai kulihat akun facebooknya hampir sebanyak sepuluh kali dalam sehari. Kuberpikir kalau dia terlihat dan memang terpancar sangat menikmati panggilannya. Sedang aku tersiksa rindu yang perlahan membunuhku. Sungguh! Aku tak bisa membohongi rasaku bahwa aku telah benar-benar jatuh semakin dalam di dalam rasa yang kucipta sendiri. Di dalam hati yang tak bisa kugapai, bahkan yang tak akan pernah bisa kusentuh. Yang tak akan pernah kumiliki seutuhnya.
Setiap kali ke gereja dan melihat sosok berjubah hitam, pikiranku langsung terarah kepadanya. Aku tak bisa pungkiri bahwa aku memiliki rasa terhadap seseorang laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi imam dan kekasih bagi semua umat. Aku bahkan semakin kuat dalam doaku untuk panggilannya. Malah semakin kuat doaku, semakin dalam rasa ini. Dan saat-saat tertentu tanpa kusadari air mata mengalir di pipi. Saat berada di depan sosok patung Bunda Maria, aku sadar bahwa sebentar lagi dia akan menjadi imam bagi semua orang dan akan semakin dicintai banyak orang. Dia mau dan berjuang meneladani putra Bunda Maria yang mencintai semua, tidak mencintai satu saja, dan bukan hanya aku saja. Aku akui itu, karena kupun hidup dengan aturan biara, aku tau bahwa aturan hidup mereka sangat terjadwal. Hidup berdoa, belajar, bekerja, serta berpastoral. Namun kembali lagi bahwa, aku hanyalah seorang gadis biasa yang memiliki perasaan dan cinta. Cinta terhadap Dia dan terhadap dia yang akan menjadi milik Dia seutuhnya. Dan saat ini aku merasa malu, karena merindukan dia yang sama sekali tidak merindu, mengingat, dan bahkan mengenalku, serta malu karena menangis merindukan dia yang memilih untuk menjadi kekasih bagi semua orang yang dilayani dan dijumpainya. Sifatnya, tuturnya, parasnya dan banyak lagi yang membuat rasa kagum ini berubah menjadi cinta. Aku smpai berkata dan bertanya, “Tuhan begini beratkah cinta yang kau tumbuhkan di dalam hatiku? Lagi dan lagi, mengapa hati harus jatuh kepada hati yang bahkan tak bisa untuk kusentuh sedikitpun?”
Namun untuk saat ini demi kesehatan hatiku dan untuk kekuatan serta proses panggilannya, aku memilih untuk memendam semuanya ini sendiri, membiarkan perasaan ini mengalir seperti sungai yang tak berujung. Aku harus tahu diri bahwa memang aku punya hak untuk mencintai dia, tetapi aku juga tidak lupa bahwa dia un memiliki hak. Hak untuk menutupi tubuhnya dengan jubah hitam. Hak untuk tidak memikirkan aku seorang penggemar rahasianya. Hak untuk tidak sembarangan menyebarkan cinta. Karena memang cintanya bukanlah cinta murahan. Cintanya adalah cinta mahal yang bukan jual mahal, dan cinta berkualitas yang tak layak disimpan di kulkas. Di akhir tulisan ini kukatakan, “Aku sangat mencintaimu tapi aku tak bisa merebutmu dari Tuhan kita, sebab kau mencintai Dia, aku pun mencintaimu dan Dia. Maka biarlah aku tersiksa dengan rasa yang kubiar tumbuh mekar di dalam hati. Usah pedulikan tentangku, fokuslah terhadap tujuan dan panggilanmu.”.
DARI GADIS YANG MENGGELARMU “KULKAS BERJALAN”