Pengantar
Santa Gemma Galgani adalah salah satu orang kudus dari sekian banyak para kudus yang dipanggil menjadi murid Yesus Tersalib. Seluruh hidupnya dicurahkan kepada sengsara dan penderitaan Kristus. Semangat dan devosi kepada sengsara Yesus yang dia hidupi, menjadikan dirinya salah satu bagian dari murid Sang Tersalib. Dia mengalami masa yang sulit dalam istilah “malam gelap” dan itu semua dia lalui dengan sukacita dan kegembiraan. Pada akhir hidupnya, dia terbaring dan tersenyum karena telah bersatu dan menyerahkan diri sepenuhnya pada sengsara Kristus. Keteladanan hidup dan kepasrahan Santa perawan Maria bagi Puteranya, membuka jalan bagi seorang Gemma Galgani untuk merasakan dan mengalami penderitaan Sang Tersalib. Kata-kata Rasul Paulus telah menjadi inspirasi dan membakar semangat Gemma Galgani untuk meneruskan perziarahan hidupnya bersama Yesus Tersalib.
Titik awal Panggilan menjadi Rasul Sang Tersalib
“Setiap orang yang ingin mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mt 16, 24). Memikul salib setiap hari dan mengikuti Yesus adalah panggilan dan tugas setiap orang beriman kristiani. Santa Gemma Galgani mewujudkan hal ini dengan menjalani panggilan yang sangat istimewa, yakni menyatukan jiwa dan raganya dengan sengsara Kristus. Panggilan ini merupakan satu model yang istimewa baginya untuk mengalami salib sebagai pemulihan dan silih bagi dosa manusia.
Panggilan sebagai murid yang Tersalib adalah panggilan Tuhan secara khusus dan istimewa bagi orang-orang tertentu. Panggilan tersebut mencakup kehidupan doa, penyerahan diri secara total kepada Tuhan, bersatu dalam Dia serta pengorbanan atau silih atas pelanggaran kepada Tuhan yang disebabkan oleh dosa-dosa manusia. Santa Perawan Maria telah memberikan dirinya secara total kepada Tuhan dan mengalami penderitaan Puteranya. Dia merupakan orang pertama mengalami dan bersatu bersama penderitaan Putranya ketika berada di kaki salib. Santa Perawan Maria adalah sosok yang istimewa dalam Gereja. Dia telah merintis jalan bagi pribadi pribadi yang mencintai Salib. Tidak hanya itu, Santa Perawaan Maria mengalami dan merasakan secara nyata dan langsung bagaimana Yesus menderita sampai pada titik akhir. Dia mengalami persatuan yang sangat istimewa dan unik, betapa istimewanya dan uniknya kondisi Maria, yaitu tanpa dosa asal dan menjadi Bunda Allah.
Setelah dia, orang kudus pertama yang menjalani panggilan istimewa ini, yang memberinya banyak kesaksian dalam surat-suratnya, ialah Santo Paulus Rasul. Tentang hal ini dia bersaksi: “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya yaitu jemaat” (Kol 1, 24). Dengan kalimat ini Rasul Paulus mengakui bahwa dia memiliki di dalam tubuhnya penderitaan yang dia jalani dengan menawarkan dirinya untuk mengalami penderitaan yang lebih dasyat demi jemaat (Gereja). Kata-kata Paulus sunguh-sunguh mendalam dan menusuk setiap pribadi kristini yaitu “memberikan pemenuhan terhadap apa yang hilang dari penderitaan Kristus”. Sekilas tampak bahwa Paulus ingin mengalami lebih daripada apa yang dialami oleh Yesus. Rasul Paulus berpikir bahwa semangat penderitaan Yesus Kristus tidak mencukupi, karenanya Paulus mengambil alih untuk membuatnya lengkap. Bagaimana bisa terjadi bahwa sengsara Yesus mungkin hilang dan tidak mencukupi? Sesungguhnya Yesus telah menyelamatkan dunia melalui Kurban Salib dan keselamatan-Nya adalah sempurna dan lengkap; ini berarti bahwa melalui iman dan kehadiran sakramen, kita masing-masing dapat menerima semua manfaat yang berasal dari Sengsara Yesus Kristus dan karenanya diselamatkan.
Kita perlu lebih hati-hati memahami kata-kata Rasul Paulus, tentang apa yang dia katakan: "menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus…” Apa maksud dari pernyataan ini? Pernyataan ini dapat diartikan sebagai berikut: meskipun Sengsara itu Yesus sempurna, untuk menjadi benar-benar efektif dalam hidup kita, Ia memiliki keinginan untuk kebebasan kita, karena Allah menciptakan manusia dengan bebas. Allah menginginkan kita agar tetap menjadi “pribadi yang bebas” dan Allah ingin supaya pribadi ciptaan-Nya tetap bebas. Dia tidak dapat melakukan apa pun jika manusia dengan sengaja menolak tawaran-Nya. Dengan kebebasannya ini, manusia bisa menentukan pilihan hidupnya: “menolak" atau “menerima” tawaran panggilan Tuhan. Di sisi lain, Tuhan dapat melakukan keajaiban besar kepada mereka yang dengan bebas menempatkan diri mereka di dalam tangan-Nya dan tersedia menjadi perpanjangan karya keselamatan-Nya. Semakin seseorang berkeinginan untuk memenuhi kehendak Tuhan dalam hidupnya dan menawarkan dirinya kepada-Nya, semakin besar karyakarya Tuhan yang dapat ia peroleh. Dalam hal ini secara khusus Rasul Paulus telah mengalami dan melakukannya ketika dia bertemu secara langsung dengan Kristus.
Rasul Paulus yang juga dikenal sengan nama Paulus dari Tarsus mengalami perjumpaan dengan Yesus. Perjumpaan dirinya dengan Yesus telah mengubah hidupnya. Ketika di jalan menuju Damaskus dia “dibawa” oleh Kristus dan pada gilirannya dia “diambil” oleh Kristus. Paulus menerima dengan bebas tawaran Kristus untuk menjadi rasul-Nya. Dia penyerahan diri secara total dan lengkap sehingga Tuhan menjadikan dia rasul dari jemaat dan salah satu pilar fundamental dari gereja-Nya.
Rasul Paulus adalah pribadi yang mencintai Kristus, karena itu dia ingin menyerupai Kristus, walaupun tidak harus sempurna seperti Kristus. Titik sentral dalam spiritualitas Santo Paulus Rasul adalah kesesuaian hidupnya dengan Yesus. Dalam surat kepada Jemaat di Filipi dikatakan: “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati” (Flp 3,10-11). Dari kata-kata ini kita dapat memahami keinginan Paulus untuk "menyerupai seperti Yesus", yaitu menerima setiap penderitaan yang diperlukan demi orang-orang kudus Allah. Sama seperti Yesus menerima dan mengalami Salib untuk menyelamatkan semua orang yang percaya pada-Nya, Paulus menerima dan menyerahkan dirinya kepada Sang Tersalib. Dengan demikian keinginan Paulus untuk menjadi serupa dengan Kristus Tersalib, menjadikan dirinya sebagai Rasul Sang Tersalib.
Gemma Galgani: menderita dan menjadi serupa dengan Kristus
Setelah melihat secara singkat teladan cemerlang dari Rasul Paulus, maka kita dapat memahami panggilan dari Santa Gemma Galgani yaitu: penyerahan diri secara total sampai akhir hidupnya dan sebagai silih atas dosa manusia (para pendosa). Dia dipilih oleh Allah untuk menyesuaikan diri dan menjadi serupa dengan Kristus secara khusus menerima dan memikul salib-Nya. Gemma Galgani tidak menolak panggilan-Nya, bahkan dia “memeluk” erat salib yang telah diberikan kepadanya. Dia menginginkan dan meletakkan Salib Kristus di atas segalanya. Santa Gemma dengan setia dan ingin menjadi bagian dari hidup Yesus yang bersengsara, bahkan dia berkeinginan untuk menggantikan peran tersebut. Dalam salah satu ekstase-nya (buku diari Santa Gemma), ia berkata kepada Yesus: "Sudah saya katakan, Tuhan, apa yang Anda derita untuk saya dan untuk orang berdosa. Sudah cukup ...! Bahu saya akan mengambil alih salib-Mu! "
Semakin tumbuh cinta Gemma kepada Tuhan, semakin intens keinginannya untuk menjadi serupa dengan Kristus Tersalib. Oleh karena itu Gemma meninggalkan segalanya (harta, keluarga dan lain-lain), berjalan bersama Yesus menuju kepada penyaliban. Dia seolah-olah membiarkan dirinya dan sudah tahu jalan panggilannya. Dia memilih jalan tersebut yaitu jalan kesengsaraan bersama Yesus Tersalib yang telah ditunjukkan kepadanya, seperti Yesus membiarkan diri-Nya untuk ditangkap dan disalibkan (bdk. Mt 26, 2).
Gemma Galgani meninggalkan semuanya itu, ia meninggalkannya untuk dihina, dianggap bodoh, seorang wanita miskin, wanita belia yang cengeng. Sama seperti Yesus Kristus ketika menapaki jalan sengsara-Nya menuju bukit Golgota, Dia ditinggalkan para murid-Nya untuk dihukum mati, mengalami penghinaan, diejek dan dimahkotai duri sebagai raja.
Selanjutnya yang ada pada diri Gemma Galgani yakni bahwa dia boleh mengalami penderitaan dan penyakit, seperti Yesus membiarkan tubuh-Nya dipukul dan dicambuk oleh para serdadu. Dia memikul salib yang berat, membawanya dengan rasa sakit dan hampir kewalahan karena beban yang berat sehingga Dia jatuh ke tanah.
Akhirnya, Gemma memasuki malam yang gelap dan keji, seperti Yesus ketika ia dipaku di kayu salib, berseru kepada Bapa: “Ya Tuhan, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (Mat 27, 46).
Gemma Galgani melewati “malam gelap yang keji” dan bersatu dalam penderitaan Yesus sampai pada detik-detik terakhir. Saat Gemma Galgani menghembuskan nafas terakhirnya dia memiliki keyakinan bahwa dia telah bahagia karena boleh ambil bagian dalam penderitaan Sang Tersalib. Tampak dari bibirnya ketika matanya terlelap dan dengan cara yang sama persis apa yang diucapkan oleh Yesus menurut kesaksian Injil Lukas: "Bapa ke dalam tangan-Mu kuserahkan roh-Ku" (Luk 23, 46). Karena itu, Gemma didorong keinginan dan cintanya secara utuh untuk menyerupai Kristus Tersalib. Ia juga berkeinginan bahkan lebih kuat daripada apa yang dirasakannya, untuk merasakan semua penderitaan-Nya dan dipersatukan dengan-Nya.
Penderitaan dan wafat Yesus adalah jalan kemuliaan. Ia juga menjadi korban penebusan dan silih atas dosa orang-orang yang terus menerus mendukakan Allah: “Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh” (Yes 53, 5). Bagi Gemma Galgani, mengalami dan bersatu dalam penderitaan Yesus berarti membiarkan dirinya dihancurkan oleh penderitaan untuk menaklukkan jiwa-jiwa pendosa kepada Tuhan dan memperoleh mahkota kemuliaan.
Penutup
Keberadaan dari jiwa-jiwa yang disembuhkan adalah bukti di mana Tuhan menghadirkan dan melanjutkan Sengsara Yesus Kristus dalam sejarah hidup kita di dunia. Kristus telah mewariskan sengsara-Nya kepada orang-orang yang dia pilih, termasuk Gemma Galgani. Cinta Yesus dihadirkan dalam diri Gemma Galgani, sehingga ia boleh menyerupai dan mengalami itu semua sebagai perpanjangan karya-Nya. Dengan demikian Gemma Galgani melalui cara hidupnya “ditaklukan” oleh Kristus untuk menghadirkan pengalaman spiritualitas Salib.