Ibu, inilah anakmu! … Inilah Ibumu! (Bagian Ketiga dari Tujuh Refleksi)

Author | Sabtu, 25 Maret 2017 10:50 | Dibaca : : 6974
"Crucifixion" Karya pelukis Belanda Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669) "Crucifixion" Karya pelukis Belanda Rembrandt Harmenszoon van Rijn (1606-1669) Foto : Wikiart

Pada kesempatan ini kita masuk pada permenungan atas kata-kata ketiga yang diucapkan Yesus ketika Ia tergantung di kayu salib sebelum kematian-Nya.

Ketika Yesus mengalami penderitaan berat pada saat menjelang kematian-Nya, Maria, ibu-Nya ada di antara mereka yang tetap setia kepada-Nya. Sebagian besar murid laki-laki telah melarikan diri, kecuali seseorang yang disebut Injil keempat sebagai "murid yang Ia cintai." Kita tidak dapat benar-benar yakin tentang identitas murid yang dikasihi ini, meskipun banyak penafsir yang meyakini bahwa murid itu adalah Yohanes, yang juga merupakan seorang yang berada di belakang penulisan Injil ini. Namun, untuk kita bukanlah hal yang utama untuk mengetahui siapa murid yang dikasihi itu. Bagi kita yang terpenting adalah memahami dengan jelas bahwa Yesus menyatakan hubungan antara murid dan ibu-Nya, di mana murid itu akan menjaga dan memelihara Maria sepanjang hidupnya. Yesus ingin memastikan bahwa Maria, ibu-Nya akan berada di tangan yang tepat setelah kematian-Nya.

Di sisi lain, kehadiran Maria di kaki salib, di tempat kejadian yang memilukan itu menegaskan sisi kemanusiaan Yesus kepada kita. Beberapa aliran kristen menegasikan sisi kemanusiaan Yesus dan hanya memandang Yesus dalam keilahian-Nya. Kehadiran Maria di kaki salib mengingatkan kita bahwa Yesus adalah seorang manusia yang nyata, seorang pria yang pernah menjadi bayi di dalam rahim ibu-Nya. Bahkan saat Ia sedang sekarat di kayu salib sebagai Juruselamat dunia, Yesus juga adalah seorang putra yang membutuhkan dukungan dari ibu-Nya.

Bila kita merenungkan penyaliban Yesus dan terlibat dalam rasa yang dialami Maria, tentu kita hanya bisa terdiam dan membisu sambil membayangkan jika hal itu terjadi pada kita. Bayangkan jika kita terbaring lemah di tempat tidur dan berjuang antara hidup dan mati, dan ibu kita berada di sana, di samping kita, memegang tangan kita dengan lembut. Sungguh memilukan, bukan? Penderitaan, sakit, penyakit dan atau kematian seorang anak adalah hal yang paling menyakitkan dari semua pengalaman orangtua, seorang ibu dan seorang ayah. Menyaksikan seorang anak yang dikasihi mengalami penyiksaan keji penyaliban tentu jauh lebih mengerikan dan menyedihkan. Ibu mana yang bisa bertahan menyaksikan semua ini? Ayah mana yang bisa berdiri kokoh dalam keadaan seperti ini?  Di sini kita diingatkan akan apa yang pernah dinubuatkan Simeon tak lama setelah kelahiran Yesus, ketika ia berkata kepada Maria: "Dan sebuah pedang akan menembus jiwamu" (Lukas 2:35). Inilah pedang yang menembus jiwa Maria: pedang penderitaan, pedang penyaliban, pedang kematian putera-Nya.

Ketika kita menderita, kita sering menjadi begitu terpusat pada penderitaan kita dan kita lupa akan segala sesuatu yang lain atau orang lain. Kita mengharapkan bahwa orang lain akan mengerti keadaan kita. Sedikit sakit gigi atau sakit kepala sudah cukup menjadi alasan bagi kita untuk marah atau mengurung diri. Yesus menginspirasi kita dengan tindakan-Nya yang di tengah penderitaan masih memikirkan dan mengusahakan segala sesuatu untuk hari esok ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya, Yohanes dan kita. Maria dan Yohanes bersama dengan beberapa orang lain berada di sana pada kaki salib untuk memberi kekuatan kepada Yesus; namun yang terjadi justeru sebaliknya, Yesus menghibur dan memberi mereka kekuatan. Meskipun berat penderitaan-Nya, pernapasan-Nya semakin sulit, sakit dan kepedihan dalam jiwa-Nya semakin berat, Ia tetap membuka hati akan penderitaan orang-orang yang Ia cintai.  Ia memikirkan keselamatan Maria, ibu-Nya yang akan menjadi Bunda pengantara antara Gereja dengan-Nya. Ia memikirkan keselamatan Yohanes, murid-Nya yang mewakili kita semua sebagai para pengikut-Nya bahwa kita memiliki Bunda yang akan menjadi pengantara kita kepada-Nya.

Akhirnya, marilah kita bersyukur kepada Yesus yang telah memperkenankan kita menjadi anak-anak Maria, ibu-Nya. Kita, Gereja memiliki ibu yang berdoa untuk kita dan membawa doa-doa kita ke hadapan Yesus, Tuhan dan Allah kita. Marilah kita juga terus belajar dan berusaha mencintai orang tua kita, ayah dan ibu kita, apapun keadaan mereka saat ini dan bagaimanapun kondisi kita saat ini. Kita berdoa agar Yesus, Tuhan dan Allah kita, menyempurnakan setiap usaha kita.

Salam Passion!

“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment