Bacaan kedua mengingatkan kita kembali akan penderitaan Yesus di Taman Getsemani. Di sana di Taman Getsemani ketika memikirkan penderitaan dan kematian yang akan menimpa diri-Nya, Yesus berseru kepada Tuhan dalam ketakutan dan kegentaran. Seperti kebanyakan pemuda Dia tentu tidak mau mati secepat itu. Dia ingin tetap hidup dan menjalani hidup dengan maksimal. Tetapi Dia sadar bahwa musuh-musuh-Nya sudah dalam perjalanan untuk menangkap-Nya. Pada waktu yang sama di keesokan hari Dia pasti akan mati, tergantung di atas sebuah salib kasar di luar tembok kota. Memikirkan semua yang akan menimpa diri-Nya itu, Ia menangis. Namun, Ia tidak melarikan diri atau menolak. Bahkan tidak ada dalam pikiran-Nya untuk melakukan itu. Dengan rendah hati Ia menerima bahwa itulah tujuan-Nya, untuk mewujudkan dunia ciptaan Allah yang lebih baik.
Injil menurut Yohanes yang kita dengarkan hari ini memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai sikap Yesus terhadap apa yang akan terjadi dalam hidup-Nya. Meskipun apa yang akan terjadi pada-Nya benar-benar mengganggu dan mengerikan, Ia tidak meminta Allah untuk menyelamatkan-Nya; Ia menerima semuanya dengan cinta. Mengapa Yesus menerima semuanya itu? Ada dua alasan, pertama, untuk memuji, menghormati dan memuliakan Tuhan. Kedua, untuk menarik simpati, rasa hormat dan cinta semua manusia kepada-Nya sebagai Juruselamat mereka. Inilah yang Dia maksudkan ketika berkata, 'Ketika Aku ditinggikan dari bumi [di atas kayu salib], Aku akan menarik semua orang kepada-Ku' (Yohanes 12:32).
Selain dua alasan itu, Yesus melihat kematian-Nya yang akan datang dari sudut lain yakni seperti yang Ia katakan, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku” (Yohanes 12:26). Dia mengatakan kepada kita bahwa kita semua, Anda dan saya harus berbagi dalam penderitaan dan kematian-Nya.
Penderitaan dan kematian datang dalam berbagai bentuk. Kematian juga mengatakan bahwa ada banyak kematian kecil dalam hidup kita sebelum waktu kita tiba untuk 'menghadapi tirai akhir'. Ada ratusan cara di mana kita harus mati untuk diri kita sendiri, mati untuk memilih jalan kita sendiri, mati demi kesenangan dan kenyamanan kita sendiri.
Sebagai contoh, bagi yang berkeluarga dan memiliki anak, saat anak-anak Anda atau bayi yang tidak berdaya tidak dapat tidur sepanjang malam, tidak mau makanan, mengalami demam atau pilek, atau harus mengganti popok di tengah malam, Anda selalu terjaga dan siaga untuk mendampingi mereka, Anda sedang melakukan kematian atas diri sendiri. Demikian juga pada tahun-tahun pertumbuhan mereka, waktu dan cinta, perhatian dan keterampilan yang Anda berikan kepada mereka, adalah cara-cara yang membuat Anda mati bagi diri sendiri. Anda melakukan itu dengan tujuan agar mereka dapat tumbuh menjadi orang dewasa yang dapat hidup dengan baik, bermanfaat, dan produktif. Singkatnya, pengorbanan yang dilakukan oleh setiap orang tua tentu saja merupakan penerapan dari apa yang Yesus maksudkan ketika Ia mengatakan bahwa benih itu terlebih dahulu harus mati di tanah, sebelum ia dapat tumbuh sebagai tanaman yang sehat dan produktif.
Di tahun-tahun berikutnya peran itu menjadi terbalik. Sekarang anak-anak yang sudah dewasa diminta untuk menjadi butiran gandum yang jatuh ke tanah dan mati dengan melakukan hal-hal yang sama seperti yang orang tua mereka dahulu lakukan kepada mereka ketika mereka masih kecil. Sambil tetap merawat dan memperhatiakan anak-anak dan keluarga mereka sendiri, mereka juga harus mati bagi diri sendiri dengan memperhatikan orangtua mereka yang telah menjadi rentan karena usia tua. Jadwal harian tiba-tiba bisa berubah karena orang tua mereka bisa tiba-tiba jatuh di rumah dan harus dihantar ke dokter, atau harus mencari kaca mata orang tua yang tidak tahu di mana telah diletakkan.
Secara sederhana hidup berarti segala macam cara di mana kita diundang dan dipanggil untuk mengikuti Yesus dalam penderitaan dan kematian-Nya. Tantangan yang menyertai penderitaan kita adalah : - Apakah kita menerima pengorbanan yang harus kita lakukan? Apakah kita menerima sesama seperti Dia, yaitu dengan rela, sukacita, murah hati dan penuh kasih sayang? Atau apakah kita terpaksa dan membenci apa yang harus kita lakukan? Atau lebih buruk lagi, apakah kita pernah lari dari tanggung jawab kita?
Kita bersyukur kepada Tuhan karena rasa sakit dan pengorbanan selalu melahirkan keuntungan. Keuntungan membesarkan anak-anak yang baik, bahkan anak-anak yang menakjubkan dan luar biasa. Keuntungan menjadi pribadi yang lebih baik, lebih tulus dan murah hati. Keuntungan memiliki kedekatan dengan Yesus dalam kehidupan kita di sini dan saat ini, dan di kehidupan kekal bersama-Nya. Akhirnya, sebuah peribahasa kuno berkata: 'Tidak ada keuntungan, bila tidak ada rasa sakit!' 'Tidak ada mahkota, jika tidak ada salib!'
Salam Passion!!!