Rabu Abu dan Panggilan untuk Pembaruan Diri

Author | Rabu, 06 Maret 2019 08:17 | Dibaca : : 4664
Ilustrasi Ilustrasi

Rabu Abu yang kita rayakan hari ini menandai hari pertama Prapaskah ketika kita mengarahkan hati dan pikiran kita menuju Jumat Agung untuk kemudian kita dapat merayakan kebangkitan Yesus pada hari Minggu Paskah.

Pada Rabu Abu, Gereja Katolik mengadakan perayaan khusus (Eakristi atau Ibadat Sabda) di mana semua warga Gereja diberkati dengan abu, biasanya menandai dahi dengan tanda salib. Berkat biasanya diberikan dengan pengingat bahwa kita semua berasal dari abu, dan menjadi abu, kita semua akan kembali.

Penandaan dahi telah menjadi kebiasaan yang dikenal sejak Paus Gregorius Agung pada tahun 604. Penandaan dahi dengan abu memiliki dua tujuan, yakni pertama, untuk kerendahan hati, dan kedua untuk penyesalan dan pertobatan.

Pada abad ke-12, lahir aturan bahwa abu harus dibuat dengan membakar cabang-cabang pohon palma dari Minggu Palma sebelumnya. Banyak paroki mengundang umat paroki untuk membawa daun palma ke gereja sebelum Prapaskah dimulai dan melakukan ritual pembakaran daun palma setelah Misa.

Kebiasaan bertobat dengan abu bukanlah tindakan Kristen yang asli. Kebiasaan ini adalah pengembangan dari kebiasaa orang-orang Yahudi pada masa lalu yang sering duduk di tanah dalam puing-puing abu dan menyebarkannya untuk mengekspresikan penyesalan mereka atas perbuatan buruk atau dosa-dosa mereka.

Para nabi dalam Perjanjian Lama, misalnya menyinggung soal abu dengan mengingatkan Umat Allah tentang siapa sesungguhnya manusia itu. Ketika Yeremia berseru: "Hai puteri bangsaku, kenakanlah kain kabung, dan berguling-gulinglah dalam debu!" (Yer 6:26), ia ingin mengingatkan bangsanya untuk bertobat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Ketika orang-orang Niniwe mendengarkan berita penghukuman dari Allah melalui Nabi Yunus, mereka sadar dan percaya. Sebagai salah satu tanda pertobatan, ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, ia turun dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu ia duduk di atas abu (Yun 3:6). Daniel, di tengah penderitaannya juga memohon kemurahan hati Allah dengan tanda abu (Dan 9:3). Ayub juga duduk di atas abu ketika mengalami pencobaan yang besar (Ayb 2:8). Ester ketika menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, ia menaburi kepalanya dengan abu sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (Ester 4). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu".

Semua tindakan itu mengungkapkan sikap penyesalan dan pertobatan, sekaligus juga kesadaran akan ketergantungan manusia kepada Tuhan. Sikap Penyesalan dan pertobatan umat didasarkan kepada kesadaran akan kefanaannya sebagai manusia. Itu sebabnya pada hari Rabu Abu, gereja menggunakan abu untuk menyatakan hakikat manusia yang fana dan lemah (Mazmur 103:14; Kejadian 2:7). Dengan demikian, Rabu Abu dan Pra-Paska merupakan masa di mana gereja menyadari keberdosaan dan kefanaan diri serta kebergantungannya pada rahmat Tuhan.

Selama 40 hari Masa Prapaskah umat Allah dianjurkan untuk berpuasa. Bentuk puasa lahiriah yang dapat dilakukan adalah menyangkal diri terhadap hal-hal yang begitu digemari,  atau menghindari hal-hal yang selama ini mengikat atau menjadi ketergantungan, misalnya terhadap kebiasaan merokok, minum anggur, makan makanan lezat, sikap yang konsumtif. Sedangkan bentuk puasa batiniah yang dapat dilakukan adalah menyangkal diri secara intensif terhadap kebiasaan buruk seperti marah, iri hati, sombong, tamak, malas, dan nafsu. Semua tindakan puasa tersebut diharapkan menghasilkan pembaruan hidup.

Kita melaksanakan puasa selama masa Prakpaskah ini karena kita menyadari bahwa puasa dapat dipakai Tuhan untuk melatih kita agar semakin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita semakin berkenan di hati Tuhan dan kita semakin setia memelihara kekudusan hidup. Itulah sebabnya makna pertobatan bukan terletak pada upacara pembubuhan tanda salib yang dari abu di dahi kita, melainkan pada pertobatan hati. Yoel 2:13 berkata: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”. Jadi, yang dikehendaki oleh Tuhan dalam puasa kita adalah “hati yang mau dikoyakkan” sehingga kita dengan sungguh-sungguh menyesali semua kesalahan dan dosa kita dan dengan penuh syukur mengalami kasih dan pengampunan Allah yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Akhirnya, puasa kita selama masa Prapaskah ini menjadi tanda nyata kesediaan kita untuk sungguh-sungguh berdamai dengan Allah yang akan memampukan kita untuk berdamai dengan diri sendiri dan dengan sesama.

Jika kita membayangkan semua penghalang antara kita dan Tuhan sebagai hutan belantara, Prapaskah memberi kita waktu untuk membersihkan dan mengolah bagian-bagian dari hutan belantara itu, untuk membuat ruang terbuka di dalamnya. Di ruang yang baru dibuka ini, kita dapat hidup lebih bebas dan berkomunikasi lebih dekat dengan yang ilahi. Kita bisa mengubah hutan belantara ini dan menjadikannya rumah kita, kebun kita, tempat kita mengundang Tuhan dan meminta Tuhan untuk tinggal bersama kita. (Sarah Parsons)

Selamat Memasuki Masa Prapaskah!

Salam Passion!

 

“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment