Sukacita Setelah Penantian Panjang

  • Hari Minggu Prapaskah IV - 31 Maret 2019
Author | Minggu, 31 Maret 2019 09:38 | Dibaca : : 2771
Sukacita Setelah Penantian Panjang Ilustrasi

 

Perumpamaan tentang anak yang hilang mengungkapkan bahwa Tuhan adalah Bapa yang penuh kasih. Tuhan adalah Bapa yang percaya pada penyucian bukan pengecualian; yang memahami yang hilang, yang terakhir dan yang tidak berdaya; yang sangat tergila-gila pada orang-orang yang tidak sempurna, sehingga Dia terus berusaha untuk merangkul mereka ke dalam pelukan cinta-Nya. Karena itu, tokoh utama atau pahlawan dalam kisah ini bukan anak laki-laki yang hilang atau kakaknya, tetapi ayah yang tidak pernah berhenti mencintai anak-anaknya.

Saya hanya akan memberikan tiga poin kecil dari bagian awal dari Injil hari ini sebagai bahan permenungan kita bersama.

 

1. Ayah itu tergerak oleh belaskasihan kepada anaknya

“Tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.” (Lukas 15: 20)

Sang ayah telah menanti selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk kembalinya anak laki-lakinya yang hilang. Suatu hari, setelah penantian yang panjang itu dia melihat anaknya. Bagaimana perasaan ayah itu? Tentu hatinya berdegup kencang. Emosi apa yang dia rasakan? Marah? Lega? Jawabannya adalah belas kasihan. Ayah ini merasakan rasa kasihan pada anak laki-lakinya itu. Hatinya tergerak oleh belaskasihan. Rasa kasihan yang timbul bukan saja karena anaknya yang telah hilang kembali ke rumah, melainkan karena melihat anaknya begitu kotor, compang-camping, berjalan lunglai dan tak bergairah. Ayah itu menyadari bahwa anaknya sangat menderita karena telah pergi begitu jauh dari hadapannya dan dalam waktu yang lama. Saat itu ia mendapati dirinya menderita bersama anak laki-lakinya yang malang itu.

 

2. Ayah itu berlari mendapatkan anaknya

 “Ayah itu berlari mendapatkan dia (anaknya).” (Lukas 15: 20)

Ada empat poin penting yang dapat kita refleksikan mengenai hal ini. Pertama, hal itu bertentangan dengan budaya. Seharusnya anaknya itulah yang berlari menuju ayahnya, bukan sebaliknya. Kedua, hal itu menunjukkan rasa belaskasih yang besar. Ayah itu berlari menjemput anaknya karena ia ingin mendapatkan anaknya segera sebelum orang-orang sekampungnya. Sebab jika mereka yang pertama mendapatkan atau mendekati anak itu, mereka mungkin akan menghina dia sebagai anak yang telah membuat malu orang tua dan keluarga. Ketiga, hal itu menampilkan kepada kita keindahan cinta. Kata kerja berlari yang digunakan di sini sungguh-sungguh menyatakan berlari dengan kencang. Ayah itu berlari dengan kencang seperti angin untuk menjemput anaknya. Hal itu sungguh indah. Cinta menggerakkan kita untuk melakukan apapun demi kebaikan orang yang kita cintai. Keempat, hal itu menunjukkan kepada kita tindakan cinta yang sangat radikal. Ayah itu mungkin sudah berusia lebih dari 50 tahun. Pada zaman itu, tidak seorang pun yang berusia di atas 50 tahun biasa berlari di muka umum, karena hal itu bisa membuat jubah mereka berantakan dan mungkin mereka bisa terjatuh. Ayah ini sangat tergugah oleh rasa cinta pada anaknya sehingga ia tidak mempedulikan harga diri dan keselamatannya sendiri.

 

 3. Ayah itu merangkul dan mencium anaknya

“Ia merangkul dan mencium dia.” (Lukas 15:20)

Kita dapat membayangkan tentang kondisi anak bungsu yang telah sekian lama bekerja dan tidur di kandang babi di sebuah tempat terpencil.  Tentunya sangat kusut, lusuh, bau dan kotor. Kita dapat membayangkan juga bahwa ayah anak itu telah mencium bau tidak sedap anaknya dari kejauhan. Namun, kita menyaksikan kenyataan yang luar biasa mengesankan, ayah itu tidak peduli dengan semuanya itu. Yang ada dalam pikiran ayah itu adalah sesegera mungkin ia harus mendapati anaknya, sebelum keluarga dan orang-orang sekampungnya mengejek dan menghakimi anaknya sebagai seorang yang jahat dan tidak tahu malu. Kita kemudian harus tertegun ketika kita menyaksikan ayah itu merangkul anaknya dengan begitu erat dalam kehangatan cinta kebapaan.

Apa yang kita saksikan dari kisah ini adalah tentang Bapa kita yang baik di surga. Ketika kita kembali kepada-Nya, kembali ke rumah dengan penyesalan atas dosa-dosa kita, Ia tidak akan berdiri di kejauhan dan memenadang kita berjuang sendirian dalam kubangan lumpur dosa. Tidak. Yang Bapa kita lakukan adalah mendekati kita sebagai Immanuel, merangkul kita dalam kehangatan cinta dan mencium kita dalam kemesraan kasih kebapaan dalam kondisi kita yang sedang kotor, lusuh dan bau oleh dosa-dosa kita. Betapa mulia dan tulusnya hati Bapa kita yang di surga tetapi yang cinta-Nya selalu bersama kita, anak-anak kecintaan-Nya di dunia ini.

 

Hari Minggu Prapaskah Keempat secara tradisional disebut Minggu Laetare. Laetare adalah kata Latin yang berarti "bersukacitalah." Injil hari ini menjelaskan alasan sukacita kita: kasih Allah yang besar kepada kita telah dinyatakan dalam Yesus. Melalui Penderitaan, Kematian, dan Kebangkitan-Nya, Kristus telah mendamaikan kita dengan Allah dan sesama.

Hari ini, marilah kita bersukacita karena kasih Bapa kita yang di surga selalu bersama kita.

 

Salam Passio!

 

“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment