“ Lanjutkan di luar Cheryl!” Teriak Bu Annies. “Kelas tempat belajar, bukan tempat joget!”. Gadis itu terkejut setengah mati. Ia yang saat itu sedang asyik menonton video korean-dance tidak sadar kalau Bu Annies sedang memeperhatikannya sejak tadi. Kelas pun meledak karena suara tertawa anak-anak lain. Cheryl segera meringkas buku-bukunya dan pergi dari kelas.
Ia berdiri memandang mading sekolah. Di situ ia melihat sebuah poster perlombaan modern-dance. Matanya tidak bergeming dari poster itu, mulutnya yang manis mulai tersenyum histeris, otaknya mulai berpacu dalam fantasi.
“Andai aku ikut, terus aku menang, terus, terus aku ikut audisi di Jakarta, terus aku ke Korea, kikikiki…”. Ia tertawa histeris. Saat larut dalam lamunan seseorang menepuk pundaknya, “Hey” sapa orang asing itu. Cheryl terlalu sibuk dengan lamunannya menjadi salah tingkah dan berusaha memperbaiki imejnya. “mau ikutan lomba dance-modern ya?” Tanya orang asing itu.
“Nggak kok, aku cuma membaca artikel yang di bawahnya ‘i am not me’, aku bukan aku. Hmm, sulit dimengerti sih.”
“Bahasa lndonesia memang rancu dalam penempatan subyek dan obyeknya, ini artinya ‘aku subyek bukanlah aku obyek’.”
“Aku masih nggak paham.”
“Ya, sering kali kita mengobyekkan diri kita dalam sudut pandang orang lain, kita memasyarakatkan diri kita. Semakin kita memasyarakatkan diri kita, kita semakin terasing dari jati diri kita.”
“Aku mulai paham tapi bukankah orang lain itu cara kita mengetahui bahwa kita ada?”
“Benar, kita jadi tahu kalau kita bukanlah mereka. Masyarakat membentuk suatu standar kemasyarakatannya. Lihat saja di lapangan bagaimana cowok-cewek ideal itu. Cewek ideal itu punya geng di sekolah, berdandan, naik motor, ikut team cheers, punya cowok keren, nongkrong di kafe, shopping. Lalu orang seperti kamu yang nggak bisa memenuhi standar ideal mereka artinya..?
“Sampah sekolah.” Jawab Cheryl menunduk lesu. Orang asing itu entah dari mana menyebut semua yang ada di benak Cheryl. Sesuatu yang selalu Cheryl irikan dari cewek-cewek di sekolahnya. “yah, apa boleh buat mereka beruntung .”
“Kamu juga beruntung punya bakat dance.”
“Apanya yang beruntung?”
“Cuma gara-gara ketahuan nonton video di kelas dan ada yang bilang dancemu kayak monyet kamu langsung minder?”
Cheryl terhenyak, namun tetap tak bersuara. Entah siapa orang ini hingga tahu semua tentang isi pikirannya. Cheryl penasaran, namun lidahnya kelu saat mau bertanya siapa kamu.
Gadis asing itu memijit pundaknya, “Gimana kalau kamu ikut lomba itu saja.”
***
Tidak ada jam di sekitar situ unuk mengukur waktu yang berlalu. Dua gadis itu masih bercengkrama di depan poster pengumuman lomba modern-dance. Lomba itu akan diadakan di SMA ii kota, dua kilometer ke arah selatan sekolah mereka, tepat sebulan lagi. Cheryl memegangi dagunya mencoba berpikir ulang. Gadis di sebelahnya memandang juga poster itu.
“masih ada waktu sebulan, kita masih punya waktu untuk latihankan!” Lanjut gadis asing itu mencoba merayu Cheryl.
“Nggak bisa.” Cheryl menunduk lesu, ia memanyunkan bibirnya yang menjadi tipikalnya, jika suasana hatinya sedang tidak baik. “Banyak yang bilang kalau danceku kayak monyet.”
“Kalau gitu sekalian jadi monyet yang totalitas, lihat aja sirkus nggak pernah sepi.”
“Ngaco kamu, emang enak diketawain satu sekolahan.”
“Siapa yang bakal menertawakan kamu? Orang lain yang di sini atau orang lain yang ada di dalam pikiranmu? Yang kamu tanggung sekarang hanya persepsimu, apa yang kamu anggap realita bisa saja hanya ilusi. Kamu terlalu menempatkan diri ke tempat di mana kamu berpikir sementara yang nyata ada di tempat di mana kamu tidak berpikir. ”
“Realita itu kejam, tekad dan usaha kadang nggak sesuai dengan pencapaiannya.”
“Nggak, realita nggak kejam, kamu yang kejam terhadap dirimu sendiri.”
“Aku tetap nggak mau ikut lomba itu. Pasti aku hanya mempermalukan diriku.”
“Jangan menerka masa depan dengan memandang kegagalan. Masa lalu hanya orang gila yang mau hidupnya berubah, tapi tidak mau mengubah cara hidupnya.”
Cheryl masih memanyunkan bibirnya, gadis asing itu menghela nafas panjang lalu ia hembuskan. Cheryl masih memandangi poster itu dan sebenarnya di dalam hatinya ada keinginan untuk ikut lomba modern-dance itu. Gadis itu makin merapatkan dirinya ke Cheryl.
“Kalau kamu menolak dirimu, berarti kamu sudah menghina ibumu, karena kamu lahir dari rahim. Mama selalu menyemangati kamu. Semua cinta telah mama berikan, tapi anak yang ia besarkan itu lebih memilih kata-kata orang lain daripada ibunya sendiri.”
Cheryl terisak, matanya berkaca-kaca, “Oke aku siap, aku mau ikut lomba, aku mauuu….!”
****
Cherryl berteriak keras, berjingkrak tak jelas. Ia tak sadar bahwa Bu Annies lewat.
“Sedang ngomong sama siapa kamu Cheryl?”
“Sama di..aa, bu”. Cheryl melihat sekelilingnya tidak ada seseorang yang ia lihat.
“Ibu takut lihat kamu, terobsesi jadi penari Korea malah jadi gila.” Katanya sambil melangkah laju meninggalkan Cherryl sendiri.
Cheryl menjulurkan lidah, mengejek Bu Annies yang sudah berlalu.
“Kamu tuh nenek sihir yang gila.” Ia kembali memutar kepalanya melihat poster itu lagi. “Ia ya, tadi aku ngomong sama siapa?”.
Baru Cheryl sadar setelah ia membaca nama pengarang artikel ‘I am not Me’ itu.
“Inikan karanganku. Jadi dari tadi aku ngobrol dengan diriku yang lain. Dia yang dari alam prasadarku.”
Tamat.
Salam Passio!