1. Pengantar
Banyak orang sulit menerima penderitaan yang terjadi dalam diri mereka. Penderitaan itu dianggap sebagai sebuah kutukan Allah atas dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Maka tidak jarang orang ingin menghindar dari penderitaan itu. Namun sayangnya hal ini tidak mungkin dilakukan karena penderitaan itu akan selalu ada dalam diri manusia.
St. Paulus dari Salib mengatakan: “Untuk satu salib yang kamu hindari, akan kamu termukan sepuluh yang lain’’ (Kumpulan surat-surat Paulus dari Salib jilid III, 475). Ini menunjukkan bahwa penderitaan merupakan sebuah realita yang harus dialami oleh setiap orang, tanpa terkecuali.
Tulisan singkat ini akan menggali makna penderitaan manusia yang membawa berkat bagi kehidupan dengan mangacu pada tokoh Ayub dalam Kitab Perjanjian Lama.
2. Penderitaan Sebagai Jalur Pemurnian Sejati
Sadar atau tidak, kita adalah seperti perak yang diuji tujuh kali dengan api supaya murni (Maz 12:7), di mana keberadaan hidup kita penuh dengan derita. Allah membiarkan kita merasakan semua itu bukan karena Dia membenci atau mengutuk kita karena dosa-dosa kita, melainkan lebih mendalam, Allah ingin agar dengan penderitaan-penderitaan yang kita alami, kita sungguh-sungguh dimurnikan.
Kita tahu kebanyakan orang yang menderita adalah mereka yang hidupnya terkenal saleh di hadapan Allah dan sesama. Lalu, mengapa Allah membiarkan hal ini terjadi? Bukankah seharusnya Ia memberkati ketaatan dan kesalehan mereka dengan melipat-gandakan hasil usaha mereka?
Kisah pencobaan yang dialami Ayub (Ayb 1:1-22), menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Allah sendirilah yang mengutus iblis untuk mencobai kesalehan Ayub dengan mengambil segala harta kepunyaan Ayub, dengan satu tujuan yaitu “pencobaan” untuk pemurnian. Hal ini menjadikan Ayub mengerti bahwa segala harta yang ia miliki adalah milik Tuhan, termasuk dirinya sendiri. Ia tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut terhadap dirinya (ay 22). Ayub berusaha berjuang memahami kehendak Allah dalam penderitaannya dengan mencoba melihat kebaikan yang telah Allah berikan melalui harta kekayaaannya. Memang segala-galanya telah diambil dari padanya, namun itu semua tidak melunturkan imannya kepada Allah. Isterinya menginginkannya untuk mengutuki Allah, tetapi Ayub langsung menjawab katanya: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb 2:10). Dalam penderitaan, Ayub terkadang mengeluh (Ayb 3:25). Ini menunjukkan perjuangan yang harus dilalui dalam penderitaan tidaklah mudah. Penderitaan terkadang melumpuhkan semua harapan yang telah kita bangun. Hanya imanlah yang menguatkan kita dalam pergulatan hidup kita. Kita melihat pula perjuangan Ayub dalam melihat berkat dari penderitaannya. Ia tahu bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu dan tidak ada rencana Allah yang gagal (Ayb 42:2) sampai pada kesudahannya. Ayub percaya bahwa Allah mengujinya dalam penderitaan yang ia alami. Luar biasa bukan?
Harus diakui bahwa, tidak semua orang dapat mengartikan penderitaan itu sebagai cara Allah untuk melihat mutu iman seseorang. Manusia cendrung memandang penderitaan sebagai modal untuk menyalahkan Allah dengan berpikir bahwa Allah tidak adil atau Allah itu kejam. Keadaan ini sangatlah manusiawi karena tidak seorang manusia pun yang ingin sengsara, melarat dan ditimpa berbagai macam malapetaka dalam kehidupan ini. Kita melihat dan belajar dari Ayub di mana dengan imannya, ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah tanpa tawar-menawar. Kita juga belajar untuk melihat bahwa penderitaan badani manusia merupakan cara Allah untuk memurnikan kehidupan manusia. Bahkan kadang-kadang untuk mencapai suatu tujuan, manusia dibiarkan menderita (Paulus Jasmin, 1996:5). Nabi Ayub telah merasakan penderitaan ini dan ia telah berhasil melewatinya dengan baik (Ayb 42:16).
3. Penderitaan Sebagai Pembawa Berkat?
Sekilas kita pasti bertanya; lho, kok bisa penderitaan itu membawa berkat? Apa buktinya? Memang pada kenyataannya banyak orang meragukan atau bahkan tidak mengerti hal ini. Semua hanya dapat dimengerti dengan kaca mata iman. Iman membawa setiap orang untuk mengerti dan memahami setiap kejadian yang terjadi pasti membawa berjuta berkat dan rahmat baik bagi diri sendri, maupun bagi orang lain.
Lewat penderitaan, Allah memulihkan keadaan kita dengan memberikan dua kali lipat dari harta yang kita miliki sebelumnya. Hal ini kiranya menguatkan iman kita untuk melalui penderitaan yang kita alami dan kita semakin mengasihi Allah dengan sepenuh hati. Pemahaman ini membuat kita sadar bahwa di balik penderitaan yang kita alami, ada hikmah yang telah tersedia untuk kita dan segala bentuk penderitaan manusia merupakan beban yang membawa berkat bagi semua orang.
4. Penutup
Dalam kehidupan manusia, penderitaan memang tidak bisa dihindari. Bagai sepasang sepatu, begitulah manusia dan penderitaan. Namun, perlu dimengerti bahwa penderitaan itu harus dilihat sebagai karya kasih Allah yang senantiasa memurnikan manusia. Dengan iman, kita akan mampu melihat kebesaran cinta Allah. Iman mendorong manusia untuk mengenal karya Allah yang hendak menyucikannya. Dengan iman pula, kita dapat menyadari dan mengetahui bahwa, sebesar apa pun persoalan, permasalahan dan pahit-manisnya kehidupan yang kita alami, Allah senantiasa menyertai kita. Ia tidak pernah menutup mata terhadap penderitaan kita. Jika kita setia menghadapi pencobaan tahap demi tahap dengan baik, Allah akan memulihkan keadaan kita seperti yang dialami Ayub (Ayb 42:10), karena penderitaan adalah beban yang membawa berkat Allah bagi diri sendiri dan bagi semua orang.
Sumber:
Alkitab Deuterokanonika. Konferensi Waligereja Indonesia. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2014.
Jasmin, Paulus. Menderita untuk Bangkit, dalam Buletin Crucis. Malang: Lumen Cristi, 1996.
Kumpulan surat-surat St. Paulus dari Salib, jilid I, II, III.