Homili Hari Minggu Biasa II - 15 Januari 2017

Author | Sabtu, 14 Januari 2017 12:34 | Dibaca : : 2527
Ilustrasi Ilustrasi

BACAAN I  (Yes 49:3.5-6); BACAAN II (1Kor 1:1-3); INJIL (Yoh 1:29-34).

Santo Paulus mengawali suratnya kepada jemaat di Korintus dengan menyebut komunitas di sana, sebagai 'kamu yang dipanggil untuk menjadi orang kudus Allah'. Kita dapat menemukan kata-kata ini dalam bacaan kedua.

Dalam banyak ayat Kitab Suci, dalam ajaran gereja dan dalam liturgi, kita mendengar sebutan bagi para pengikut Yesus sebagai orang kudus; dan bahwa sebutan itu juga ditujukan kepada Anda dan saya hari ini.

Apa reaksi Anda terhadap hal ini? Sebagian besar dari kita mungkin berpikir - "Bukan aku. Aku tidak suci ". Tapi apakah itu benar?

Banyak pandangan tentang kekudusan di masa lalu yang mendorong kita untuk percaya bahwa adalah tidak mungkin untuk menjadi kudus bagi orang biasa seperti kita. ‘Kekudusan’ adalah milik orang-orang kudus, dan orang-orang kudus adalah kisah dari masa lalu.

Mungkin beberapa imam atau suster yang kita kenal atau dengar tampak begitu suci dan kita berpikir bahwa kesucian hanya milik mereka. Sedangkan bagi sebagian besar umat, termasuk kita, kesucian atau kekudusan adalah mustahil. 

Pepatah Zen berkata "Aku melihat seorang biksu suci berjalan di atas air. Tetapi kemudian aku melihat seorang biksu lain yang lebih suci. Ia membangun jembatan sehingga orang lain bisa menyeberangi sungai". Biksu pertama menghindari perhatian akan kenikmatan hidup sehari-hari, sehingga meskipun ia terlihat suci, ia tidak suci sebagai biksu yang membantu orang lain.

Kebanyakan dari kita berpikir bahwa menjadi 'suci' dan menjadi benar-benar manusia adalah dua hal yang bertentangan dan tidak dapat berjalan bersama. Adalah keliru untuk memandang bahwa kesucian adalah usaha untuk ‘menjadi’ suci dengan hanya memelihara aturan, banyak berdoa dan hidup benar. Kebanyakan dari kita tidak ingin dipandang sebagai orang suci atau orang saleh karena kita menganggap bahwa kekudusan itu berada di luar kemampuan atau kepentingan kita.

Dalam Kitab Keluaran (Bab 33: Vs 7) dari Perjanjian Lama, kita mendengar bahwa "Musa mengambil Kemah Pertemuan dan meletakkannya di luar perkemahan." Kemah Pertemuan adalah simbol kehadiran Allah bagi bangsa Israel ketika mereka berjalan  di padang gurun setelah pembebasan mereka dari perbudakan di Mesir. Musa memerintahkan agar tenda khusus ini berada luar perkemahan. Hal ini dilakukan karena pada waktu itu diyakini bahwa hanya Allah yang kudus, sehingga Allah harus dipisahkan dari manusia dan aktivitas harian mereka.

Berbeda dengan hal ini, berbicara tentang Yesus, Injil Yohanes menyatakan (Yohanes 1:14) bahwa "Allah telah memasang kemahnya di antara kita". Hal ini menunjukkan bahwa di dalam Yesus, Allah sepenuhnya terlibat dalam urusan manusia sehari-hari di mana ada makan dan minum, ada jual dan beli, sakit dan sedih dan bahkan kematian. Yesus mengungkapkan bahwa kehendak Allah adalah agar kita menjadi manusia sepenuhnya dan dengan cara ini kita bisa berbagi dalam kehidupan ilahi - dan menjadi kudus.

Yesus menunjukkan bahwa semua kehidupan adalah suci, dan bahwa dalam hal-hal biasa setiap hari seperti makan bersama keluarga, sukacita pesta, bermain bersama, tertawa dan menceritakan lelucon, kita telah membawa Tuhan hidup di tengah-tengah kita, karena dalam hal-hal inilah Allah membangun 'kemahnya’.

Ketika kita berpikir tentang kualitas yang telah kita tunjukkan dalam hubungan kita dengan orang lain, dan kita menemukan bahwa kita telah melaksanakan toleransi, kesabaran, pengorbanan, kejujuran, kesetiaan, berbagi, kepercayaan, tidak egois, penerimaan, perhatian, pengampunan, pemahaman, cinta dan sukacita, kita adalah orang kudus.

Namun, tak satu pun dari kita dapat dengan sendirinya menjadi kudus. Allah telah berbagi kekudusan-Nya dengan kita dan Ia telah mengundang kita untuk berbagi hidup-Nya. Tidak ada orang atau sesuatu yang suci begitu saja. Orang dan tempat-tempat menjadi suci karena Allah ada, bertindak dalam dan di antara kita, dan dalam ciptaan lain di sekitar kita.

Seorang Juru lelang mengangkat sebuah biola tua yang terlihat sangat buruk, lalu bertanya, 'siapa yang akan mengajukan tawaran untuk biola tua ini? Mungkin ini adalah senilai lima dolar?’ Untuk sementara tidak ada yang menawarkan tawaran. 
Kemudian seorang tua berjalan dari belakang ruangan dan mengambil biola itu. Ia menyeka debu dari biola tua itu, menyetel senar biola dan memainkan melodi yang indah. Lalu ia menyerahkan biola kembali ke juru lelang.
Segera, juru lelang bertanya lagi, 'siapa yang akan mengajukan tawaran untuk biola tua ini? Mungkin ini senilai seribu dolar?’ Beberapa orang mulai membuat penawaran dengan mengajukan harga yang semakin tinggi. Akhirnya, seorang menawarkan "Tiga ribu dolar! Juru lelang itu berhenti dan berkata, "Tiga ribu saya tawar. Tiga ribu, satu, dua - dan tutup ".

Apa yang mengubah nilai biola itu? Itu adalah biola yang sama, tetapi orang tua telah menyadarkan mereka yang hadir untuk memberikan penghargaan sepantasnya.

Hal ini sama dengan kita. Kita sering mengabaikan rahmat atau berkat-berkat yang ada pada kita dan berkata "itu tidak ada", tetapi kenyataannya adalah bahwa Allah telah menciptakan setiap orang secara istimewa. Orang yang biasa menggunakan kebaikannya untuk mencintai dan peduli terhadap sesama, ia adalah orang suci.

Setiap relasi, setiap orang, setiap peristiwa atau benda yang membantu kita untuk berjumpa dengan Tuhan, membawa bagi kita kekudusan Tuhan. Secara khusus kita mengungkapkan hal ini ketika kita berkumpul di sekitar meja Ekaristi karena kita ingat dan mau bersyukur atas Allah yang hidup dan berkarya di dalam diri kita. Kita menjadi apa yang kita makan dan minum. Kita adalah Yesus di dunia saat ini. Kita adalah suci.

Setiap kita dipanggil untuk menjadi kudus. Kita tidak perlu merasa tidak nyaman mengatakan hal ini. Ini bermaksud agar kita dapat menjalani hidup kita dengan penuh syukur kepada Allah yang hadir dalam diri kita dan dalam diri orang lain, dan kita berusaha untuk berbagi karunia kehidupan Allah dan kasih kepada orang lain sebanyak yang kita bisa. Kita semua dipanggil untuk menjadi orang-orang kudus Allah!

 

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment