"Tunggu sebentar," kata Socrates kepada sahabatnya itu, "Sebelum Anda memberitahu saya, saya ingin bertanya tiga pertanyaan.”
"Pertama, apakah Anda bisa memastikan bahwa apa yang akan Anda ceritakan kepadaku itu benar?"
"Tidak yakin," kata pria itu, "aku baru saja mendengar tentang hal itu."
"Baiklah," kata Socrates. "Anda tidak benar-benar yakin apakah itu benar atau tidak. Pertanyaan kedua saya adalah apakah yang akan Anda katakan itu tentang sesuatu yang baik?"
"Tidak, tidak. Justeru sebaliknya sesuatu yang buruk”, orang itu menjawab.
"Jadi," Socrates melanjutkan, "Anda ingin mengatakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, dan itu mungkin tidak benar?"
Pria itu merasa malu. Socrates melanjutkan, “Pertanyaan ketiga saya adalah, akan informasi ini berguna bagi saya?"
"Saya tidak tahu berguna atau tidak", orang itu berkata.
"Baiklah”, kata Socrates, "Jika apa yang ingin Anda katakan padaku itu tidak benar, tidak baik dan tidak berguna, mengapa Anda ingin memberitahu saya?
Kita melihat sesuatu seperti ini muncul dalam cerita indah tentang orang buta hari ini. Ada sesuatu yang lebih besar di dalam cerita ini darapada hanya sebuah mukjizat. Ini adalah kisah tentang iman.
Orang yang dilahirkan buta adalah tokoh utama dalam cerita ini tetapi Yohanes menyampaikan cerita ini dengan cara yang unik untuk mengajak kita melihat sesuatu secara bijak. Yohanes melakukan itu dengan memperkenalkan beberapa karakter lain, yang masing-masing sedang menderita kebutaan rohani.
Pertama, murid-murid Yesus. Mereka berpikir bahwa orang itu lahir buta karena dosa-dosanya atau dosa-dosa orang tuanya. Sikap ini masih sering terjadi sampai hari ini. Setelah gempa bumi atau beberapa jenis tragedi besar lainnya, beberapa orang akan mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi sebagai hukuman atas orang-orang yang telah berbuat salah. Yesus sangat jelas mengatakan bahwa hal ini terjadi bukan karena seperti yang mereka pikirkan. Dia mengatakan, “bukan dosa orang ini, juga orang tuanya.”
Kedua, para tetangga dari orang buta itu. Mereka dibutakan oleh penolakan. “Bukankah dia ini yang selalu mengemis?” “Bukan, tetapi ia serupa dengan dia. Orang itu masih buta.”Kami tidak percaya padanya!” Penolakan adalah kebutaan. Hal ini membuat kita menolak perubahan dan kebenaran.
Ketiga, orang-orang Farisi. Mereka menderita kebutaan legalisme. Mereka bertanya bagaimana Yesus bisa melanggar aturan dan menyembuhkan seseorang pada hari Sabat. Kadang-kadang aturan menyebabkan kita menjadi kaku bukannya fleksibel, atau menutup hati bukannya membuka hati. Kebutaan orang-orang Farisi membuat mereka hidup tanpa belas kasihan atau rasa terima kasih.
Keempat, orang tua dari orang buta itu. Mereka menderita karena egoisme. Mereka takut kepada pemimpin yang telah mengumumkan bahwa setiap orang yang mengaku Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan dari rumah ibadat. Mereka tidak ingin kehilangan tempat doa mereka, sehingga mereka menolak untuk percaya dan mendukung anak mereka sendiri.
Akhirnya, ada kerumunan orang banyak. Mereka menderita kebutaan penolakan. Mereka mengusir pria itu keluar dari kota itu.
Orang buta itu dikelilingi oleh sebuah komunitas yang semuanya menderita beberapa bentuk kebutaan rohani. Tidak ada yang bersukacita bahwa orang itu sekarang bisa melihat. Tidak ada yang bergembira bersama dia. Bukankah itu sangat menyedihkan?
Setiap dari kita bisa mengalami kebutaan secara rohani, seperti salah satu dari lima karakter dalam Injil hari ini. Kita bisa menjadi buta karena kita takut untuk berubah. Kita tidak ingin membuka mata kita karena takut kehilangan kenyamanan dan kemapanan. Kita berpegang teguh pada aturan dan tradisi lama dan kami tidak akan membiarkan Tuhan untuk memperbaiki arah hidup kita.
Bayangkan orang buta itu dengan malu berjalan kurang lebih 450 meter menuju kolam Siloam dengan lumpur di matanya. Kemudian ketika ia kembali, tetangganya mempertengkarkan mengenai identitasnya; orangtuanya sendiri juga tidak mendukungnya. Dan akhirnya dia diusir dari kota itu oleh otoritas agama, semuanya karena “sekarang dia bisa melihat.”
Hanya satu yang masih mencari dan kemudian menemukan dia, yaitu Yesus. Yesus pergi mencari dan menemukan orang, yang imannya telah tumbuh secara bertahap dan yang visi hidupnya juga dipulihkan secara bertahap.
Orang buta itu adalah seperti salah satu dari kita juga, yang meskipun kadang mengalami kebutaan namun terus bertumbuh dalam iman secara bertahap. Dalam kebutaan kita, kita sering terantuk, jatuh dan pecah berkeping-keping seperti kaca. Namun, Tuhan mencari dan menemukan, mengumpulkan dan membentuk kembali pecahan-pecahan itu menjadi sesuatu yang indah dan bernilai.
Mungkin sebagian dari kita bingung dengan beberapa foto yang saya masukan sebagai ilustrasi dalam renungan ini. Itu adalah foto Pantai Ussuri di Rusia. Pantai itu dulu adalah tempat pembuangan botol-botol dan keramik-keramik bekas. Pantai ini dipenuhi oleh pecahan beling dan keramik dan tak seorang pun datang menikmati tempat ini. Namun, seiring dengan berjalannya waktu “pantai sampah” tersebut berubah menjadi “pantai kaca” yang sangat indah. Seiring dengan berjalannya waktu, sampah pecahan beling itu pelan-pelan, secara bertahap hancur dan terkikis ombak, sehingga menjadi bebatuan kecil yang sangat indah. Sekarang Pantai Kaca sudah menjadi salah satu destinasi wisata utama di Rusia.
Foto-foto ilustrasi dan gambaran singkat tentang pantai kaca ini mengungkapkan bahwa Tuhan akan terus mencari dan menemukan kita, akan terus mengumpulkan dan membentuk pecahan-pecahan dari diri kita, seperti yang Ia lakukan kepada orang buta dalam Injil hari ini, sehingga kita bisa melihat dan percaya serta terus bertumbuh menjadi saksi kasih dan kebaikan-Nya di kehidupan kita. Kita berdoa kepada Tuhan agar Ia terus memelekan mata kita sehingga kita bisa melihat. Kita berdoa kepada Tuhan agar Ia terus mengumpulkan dan membentuk pecahan-pecahan karena kerapuhan kita sehingga dapat bertumbuh dalam iman dan menjadi pribadi yang bernilai.
Salam passion!
“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”