Grace duduk seorang diri di sebuah pendopo di taman biara, menangis bersama hujan yang bergemericik. Ia menanti seseorang datang dan tak perlu waktu lama seorang pemuda datang dengan berlari kecil. “Grace, kita ke dalam yuk. Di sini hujan.”
Grace tak bergeming dan tak menoleh pemuda yang menyapanya.
“Grace.” Pemuda itu duduk di sebelah Grace dan menyentuh pundaknya namun tetap tidak ada respon darinya. Ia mendekat lalu berbisik ke telinga Grcae,”sayang”. Grace sedikit meliriknya. Pemuda itu melihat lirikan itu. Matanya nampak sembab dan pipinya memerah. “masuk dulu “yuk. Basah di luar, nanti kamu masuk angin.”, ia merayu Grace.
“percuma. Aku berteduh pun pipiku tetap saja basah.”
“ada apa?”
Grace hening tak mau menjawab. Pemuda itu masih menunggu jawaban dari Grace dan tak lama Grace menjawab dari balik punggunggnya. “enak ya, jadi frater bisa seenaknya main sama cewek lain.”
Pemuda itu melipat bibirnya mencoba menahan senyumnya.
“cemburu?”
“nggak tahu.”
“Grace, tadi itukan aku bareng anak OMK latihan koor. Nggak cuma aku kok, ada beberapa frater juga ikut latiihan.”
“paling nggak tadi kamu hampirin aku dong. Nyapa gitu.”
“kan sudah.”
“kapan?”
“waktu misa kan kita sudah bertemu pandang.”
“Cuma itu? emang nggak bisa ketemu sebentar? Paling nggak beri salam.”
Si pemuda memandangnya dari belakang, mendengar setiap gerutunya. Sekilas Grace meliriknya lagi, menanti respon dari si pemuda, namun tak juga ia merespon. “kenapa diam?” tanya Grace tak sabar,”nyesal ya?”.
“nggak.” Jawab pemuda itu masih menahan senyumnya. Pemuda akhirnya bisa rileks karena Grace sudah mau bicara walau masih malu menunjukkan wajahnya yang nampak habis menangis.
“kamu senang kan kalau aku menangis?”. Akhirnya Grace menoleh dan menatap wajah pemuda itu. Mukanya memang sedang tidak baik dan si pemuda tahu apa yang sedang terjadi. Ia membalas tatapan Grace lalu menyeka air matanya. Hujan di sana masih deras membuat udara terasa basah. Pipi Grace yang basahterasa dingin akibat tampias hujan yang berbaur dengan air matanya.
“tergantung, selama air mata itu untuk aku, aku senang. Grace, aku hanya ingin jadi tempatmu yang nyaman. Aku tahu saat ini kamu cuma ingin didengar bukan dilawan makanya aku jadi diam.”
“maaf, aku egois ya?” kata Grace dengan memanyunkan bibirnya.
“nggak. Aku tahu Grace hanya rindu, kan?”, ia membelai rambut Grace dan menyisir poni depannya.”aku senang dengan cemburumu. Semoga kamu selalu menuntutku untuk selalu mencintaimu.”
Senyuman Grace merekah setelah sempat tenggelam dalam kesedihan mengajak raut si pemuda untuk turut tersenyum. Hujan mendadak meredaseolah mempersilahkan cahaya matahari lewat untuk menghangatkan mereka. Grace meraih tangan si pemuda, menggenggamnya dan menempelkannya di pipinya. Tubuhnya ia sandarkan ke bahu si pemuda serta matanya tak pernah melepaskan pandangnya dari wajah si pemuda.
“kira-kira dosa nggak kalau aku berbuat seperti ini.”
“dosa.”
“siapa?
“aku.”
“kan aku yang menggoda kamu?”
“kan aku yang membuka ruang untuk berdosa.”
“terus gimana? Aku terlanjur nyaman.”
“nggak apa Grace. Justru Tuhan membutuhkan dosa-dosaku.”
“kenapa?”
“kamu tahu kalau aku pemusik dari mana?”
“kalau kamu main musik.”
“lalu kamu tahu Tuhan itu Maharahim dari mana?”
“kalau Tuhan mengampuni.”
“nah itulah relasiku dengan Tuhan. Aku membutuhkan Tuhan untuk diampuni dan Tuhan membutuhkan aku untuk mengampuni.”
“hahaha, kayak simbiosis mutualisme gitu ya, ngaco ah.”
Grace tertawa manja mendengar logika seorang frater yang agak lain. kebahagiaan Grace membawa daya magis hingga hujan tak lagi deras, hanya menyisakan gerimis tipis seolah sang empunya cuaca ikut merasakan romansa kisah asmara mereka. Hangat sinar surya pun terasa sebanding dengan hangatnya perasaan mereka berdua. Grace masih tertawa kecil, sedikit membenahi posisinya dan semakin nyaman rebah di bahu si pemuda. Mereka sejenak hening menikmati bau basah tanah dan hangat udara baru. Terlihat rintik kecil masih berjatuhan.
“kenapa Grace cinta aku?” lanjut si pemuda.
“aku mencintaimu dalam ketidak mampuanku untuk tidak mencintaimu.” Grace membalas dengan suara manjanya. Ia menatap wajah si pemudadan si pemuda itu membalas tatapannya. Wajah innosen Grace memaksa si pemuda untuk melepaskan senyumannya.
“hari-hari terlewati begitu saja ya. Tak terasa saat-saat harus melepas Grace semakin dekat”. Pemuda itu melepas pandangannya dari Grace dan menatap langit.” Aku selalu berdoa kepada Tuhan agar siap menerima kenyataan saat hari patah hati terhebatku tiba.”
Hati Grace terhenyak mendengar kata-katanya. Ada apa ini? Mengapa begitu mudah cara si pemuda membolak-balik perasaannya. Ia bangkit dari bahu si pemuda, menatapnya tajam dengan pandangan tidak senang.
“kenapa ngomong gitu? Kamu nggak sayang aku lagi? Kamu mudah sekali sih membolak-balik perasaanku?” suara Grace meninggi dengan mata yang berkaca-kaca.
“justru karena sayang, suatu hari nanti aku harus merelakanmu.”.Grace menggeleng,“begini Grace, kamu tahu bedanya roti dengan musik? Kalau roti kamu bagikan setengah ke orang lain pasti kamu kehilangan setengah bagianmu. Berbeda dengan musik, walau kita bagikan ke orang lain kita tidak pernah kehilangan bagian kita. Kamu men dengarnya utuh, orang yang kamu beri juga mendengarnya utuh. Nah, aku ingin cintaku nanti seperti musik. Cinta untuk Yesus utuh, untuk Gereja utuh dan untuk Grace juga utuh. Dan juga untuk suamimu kelak.”
Grace mengalihkan pandangannya ke langit dan berhenti tersenyum,“sudah, diam! Jangan bahas itu lagi, aku mau hari ini kita habiskan berduaan saja”.Grace merenggangkan rangkulannya dan matanya menatap langit. Awan gemawan menudungi bumi hingga suasana menjadi gulita. Hujan mengguyur kompleks biara lebih deras dari hujan yang sempat berhenti tadi. Angin datang membawa kabut yang mingisi setiap ruang kosong di sekitar sana. Grace tidak bergeming memperhatikan cuaca yang semakin tak biasa.
Si pemuda itu melihat tatapan kosong Grace lalu tangganya ia tumpangkan lagi ke telapak tangan Grace yang sempat terlepas. Lamunan Grace pecah. Gadis itu menatap mata si pemuda yang dari tadi menatapnya.
“dingin ya?” tanya si pemuda sambil mengusap pipi Grace yang basah dan dingin.
Grace tersenyum kecil, “lihat deh Tuhan sedang marah melihat aku menggoda seorang frater.”
Si pemuda tertawa membalas kata-kata Grace, “Tuhan nggak pernah marah Grace, justru Tuhan mengabulkan doamu. Harusnya sekarangkan jam siesta sudah selesai, waktunya para frater bangun untuk opus manuale, tapi Tuhan membuat mereka nyenyak dengan hujan-Nya. Bahkan kabut Allah membuatkan kita kemah dengan kabut-Nya, Tuhan merestui kita, Grace”.
“Nada, kamu nggak takut kalau melanggar peraturan biara?”, kata Grace datar.
Sekali lagi si pemuda menyisir lembut rambut panjang Grace.”hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat. Gara-gara melanggar adat-Nya, Yesus disalibkan bukan? Ia melakukan ini demi cinta-Nya. Grace, ketaatan memang akan membuat kita aman dari peraturan, tapi cinta tahu kapan kita boleh melanggarnya.”
Grace hanya tersenyum kecil seperti tak mampu lagi membantah argumen si pemuda. Mereka berdua sama-sama membalaspandangan, perlahan–lahan wajah mereka mendekat hingga bibir keduanya bertemu. Tubuh mereka merapat dan tangan mereka saling menghangatkan. Kisah ini belum selesai ditulis namun kabut Allah semakin menyeruak seolah berusaha menyembunyikan perziarahan cinta mereka. Si penulis pun hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi selanjutnya.
Salam Passio!