Waktu memang cepat berlalu, mengganti semua jejak indah yang baru saja dilukis. Rasanya, tidak ada yang tersisa di sini selain bangku tua yang sekarang tengah mendengar naluri para pemuda lawas itu. Memang aku pun dulunya duduk di bangku yang sama, sambil menghisap cerutu dan mengepulkan asapnya. Ya, aku tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa bersama beberapa punggawa jalanan. Ahh… semua telah berlalu dan aku pun hanya bisa bersandar di pohon muda ini.
Kata sang pujangga, pelangi itu indah dan mengagumkan jiwa yang memandanginya. Memang... tapi itu dulu dan sekarang tidak lagi. Aku pun tidak percaya akan syair syahdu para pujangga zaman purba: hari ini dan mungkin juga seterusnya. Aku sama sekali tidak percaya! Para karibku meninggalkanku di sini sendiri dan tengoklah, betapa luasnya lautan yang sedang aku pandangi. Tak mungkin mataku mampu melihat semuanya, tanganku pun tak mungkin mampu menciduk banyaknya air laut ke dalam wadah kuningan. Apakah kakiku juga? Benar katamu, tak mungkin kakiku menyentuh dasar lautan yang begitu dalamnya. Ya,,, hanya yang aku tahu dan mungkin sekarang ini adalah: malam hampir tiba.
Kali ini mataku berbinar-binar memandang ke arah kejauhan bibir pantai. Tampaklah seperti ada orang yang perangai dan gerak jalannya sudah tak asing lagi bagiku. “Ah, siapakah dia?” Tanyaku dengan nada keheranan. Ternyata dia adalah paduka raja yang dulunya pernah bermain sandiwara denganku di panggung wayang. Dialah yang berbisik padaku; “betapa beratnya langkahku untuk mengarungi bahtera emas berlogo tiga abad pelayaran”.
Perlahan kapal mereka merapat lambat dan menderu ke arah topanganku.
Kata seorang hamba itu kepada tuannya; “Paduka yang mulia, lihatlah manusia yang bersandar di pohon muda itu. Bukankah dia dulunya dalang termasyur di tanah gersang ini? Apakah gerangan yang membuatnya kini menjadi wayang?”
“Wahai hambaku yang setia, dengarkanlah pengajaranku ini: Betapa banyak petuah yang telah aku kirimkan ke telinganya, betapa berharganya ia bagiku dan betapa dungunya sekarang ia di mataku. Petilan indah nan cemerlang, menghiasi langit panggung sandiwara guta ketika itu. Sayang, dia memang tak sepintar yang padukamu ini kira. Seringkali aku melihat matanya berbinar bersyarat. Tak mungkin aku pergi terlalu jauh bersamanya, wahai hambaku. Adinda, gadis kesayangan permaisuri paduka, juga ada di sana kala itu, tertawa dan memeluk erat ketiga wayang sejenis rupa ayah paduka. Mereka melawan nilai kesukuan, memusnahkan kemunafikan dan akhirnya, mereka pun melebur bersama kebajikannya pula”.
Setelah berpetuah kepada hambanya, paduka raja berjenggot putih itu menghampiriku dengan ramah. Ia berkata padaku:
“Wahai manusia berbudi, maukah kau katakan padaku kemanakah gerangan engkau akan berlayar?”
Jawabku: “Kemana pun aku pergi, tuan sama sekali tak punya perkara. Aku hendak mengembangkan layarku ke arah Fajar Timur, mencari kebajikan di sana dan mengumpulkan harta milik moyangku.”
“Tak usah kiranya engkau menanyakan itu. Kita sepertinya tak pernah mengenal walau di opera yang sama”, lanjutku.
Tak lama kemudian, Dinda berlari ke arah kami yang sedang bercakap-cakap sambil membawa sehelai sarung emas bergambarkan peta kehidupan.
Apa ini?, tanyaku heran.
Kemudian jawabnya:
“Inilah gambar yang benar, yang menuntun engkau kepada keberhasilan misi emasmu. Ambillah ini dan biarkan ketiga wayang perkasa tetap tergambar indah di dalamnya. Sungguh, aku sangat rindu pada pertunjukan silam”.
Ia mengatakannya sambil menangis terharu.
Lalu, paduka raja menghela nafasnya perlahan dan berkata kepadaku: “Pergilah wahai sahabat baikku hari ini juga sebelum fajar menyingsing. Aku tak ingin melihat mukamu lagi. Jika aku berlayar lagi ke tanah busuk ini, maka biarlah kulihat kau bersarungkan emas kebajikanmu. Pergilah sebelum kunang-kunang melarikan diri darimu! Janganlah kamu menjadi lintah darat yang menghisap nadi saudaramu sendiri.
“Makanlah sepuasnya dan minumlah anggur sampai engkau mabuk. Namun janganlah kau kutuki kapalmu yang menabrak karang, kamulah nahkodanya. Bukan orang lain.”
Kemudian, aku yang malang ini bersiap pergi. Namun harapanku belum juga terpenuhi. Aku terlalu banyak berkata dan berharap, agar aku memusnahkan dalang kenajisan dan kemunafikan. Siapakah dia? Ah,, kataku, bukankah wayang dikendalikan utuh oleh sang dalang. Mengapa ia mau dibodohi, diatur dan dikekang. Sudahlah, aku juga termasuk di dalamnya.
Aku berangkat dari negeri kepalsuan ini.
Beberapa waktu kemudian, aku berkata dalam hatiku: Apakah aku salah arah? Kemanakah arah peta emas Adinda? Sudah banyak waktuku berjalan sendiri di tengah amukkan badai samudera, kapalku hampir tenggelam dan malam itu terasa gelap nian sepanjang pelayaran. Fajar lama tak menyingsing, tiada bunyi biduk lain.
Kudengar sekali kengerian suara guntur menderu dan mata kilat menyambar buritan kapalku hingga rusaklah sedikit. Ah,,, kataku bernada kecewa. Jika begini halnya, mengapa aku harus menuruti kata paduka mulia jahanam itu. Siapa dia? Tahu apa dia tentang harta buyutku? Aku mengeluh sepanjang kegelapan malam. Tak satu pun terang yang aku lihat, kemana arah kapalku membawaku pergi, aku pun tak tahu. Malam itu, memang gelap teramat panjang. Aku hanya bisa terpaku menggenggam kendali kapal yang hampir lepas. Hanya sianglah yang saat ini aku tunggu dan aku perlu siang.
“Wahai tuan, ya tuan yang terbaring nyenyak di bibir pantai. Siapakah gerangan sebutan tuan?” Aku tersentak dari tidurku. Mohon bicaralah padaku tuan, aku pun pendatang dan orang asing di pulau tak bertuan ini”.
Jawabku pada pria separuh baya itu: “Mohon ampun beribu ampun tuan besar, aku dalang di tanah gersang yang datang jauh tak tahu nama tujuanku. Aku mencari hidup yang bijak, kaya dan mulia. Dapatkah aku menemukanya di pulau tak bertuan ini?”
Kemudian jawabnya: “Aku tak tahu pasti! Bukankah sebelum fajar menyingsing, tuan telah melihat kembara begitu indah berhiaskan kunang-kunang melambai ria? Di pulau inilah tuan,,, ketiga wayang Adinda kami berada. Sekarang kaki tuanku melukis bayangnya di pantai ini dan meskipun begitu misi tuan belum selesai!
Salam Passio!