Peziarahan Hati dan Akal Budi

Author Fr. Petrus Melki,CP | Jumat, 16 Oktober 2020 11:45 | Dibaca : : 1621
Peziarahan Hati dan Akal Budi

Malam hari yang dihiasi dengan kelap-kelip lampu, memberikan panorama yang indah seperti secarik langit yang bertaburan bintang-bintang. Aku termenung sendirian di balik jendela ruang tamu rumahku sembari mengagumi keindahan dan kecanggihan dunia yang penuh dengan misteri. Tiba-tiba terdengar suara yang sepertinya memaggilku dari belakang. Aku langsung menoleh ke belakang dan mencari sumber suara tersebut. Di sekelilingku sama sekali tak terlihat seorang pun. Ternyata aku hanya terbuai oleh perasaan yang merasukiku tanpa pasti. Aku terlalu larut dalam duniaku yang lain. Dunia yang membuatku berpikir, bertanya dan mempertanyakannya.

Dukkk….. sebuah batu menghantam di punggungku. “Ini pasti kerjanya si Tumang”, gumamku sambil menahan rasa sakit. Ia memang suka mengerjain orang dan kali ini akulah yang menjadi sasarannya. Ternyata benar dugaanku. Ia adalah si Tumang, seorang teman yang sering bermain bersamaku. Dengan ekspresi yang seolah-olah tak bersalah ia bertanya kepadaku, “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Aku hanya ingin menikmati pemandangan yang indah dengan segala fasilitasnya yang begitu canggih”, jawabku dengan nada santai. “Benar juga ya perkataanmu, ko pikiranku gak kesitu ya… Padahal, aku selalu bergelut dengan media sosial setiap hari, tapi aku gak perna melihatnya sebagai sesuatu yang canggih. Aku baru menyadarinya setelah kamu memberitahuku ini.” Aku dan si Tumang adalah dua pribadi yang berbanding terbalik. Aku adalah subyek yang menyaksikan dan mempertanyakannya secara serius, sedangkan si Tumang adalah subyek yang mengalami dan memberi jawaban yang tak pasti.

Sambil menikmati hidangan yang dibawa si Tumang, kami berdua melanjutkan perbincangan kami. Suasana yang sebelumnya hening kini penuh dengan canda tawa. Suasana yang sebelumnya terasa sepi seakan tak ada penghuni kini berubah menjadi ramai seakan ada kami yang lain. Komunikasi yang dijalin aku dan si Tumang telah menciptakan kami yang bersahabat. Kami bukan karena perpaduan aku dan si Tumang tetapi kami yang berada bersama. Di tengah perbincangan kami, aku melontarkan sebuah pertanyaan, “Apa yang kamu rasakan dalam kebersamaan kita malam ini?” “Pastinya aku merasa bahagia” jawab si Tumang. “Apakah kebahagiaanmu itu penuh?” Tanyaku sekali lagi hanya untuk memastikannya. “Tentu saja iya”, jawabnya sekali lagi. Setelah menjawab, ia kemudian terdiam sejenak, entah apa yang dipikirkannya. Melihat ia yang diam, aku kembali membuka topik pembicaraan, “Aku juga merasa bahagia pada malam ini, tapi pikiranku terus dihantui pertanyaan mengenai keberdaanku, hubungan aku dengannya dan apa yang harus aku lakukan?” Ia tidak menanggapi pertanyaanku atau mungkin tidak memahami apa yang aku maksutkan. Dengan ekspresi yang bingung, ia hanya mengatakan, “Kamu sepertinya ngantuk. Sebaiknya kamu segera ke kamar dan beristirahat. Lagian kamu harus bangun pagi dan berangkat ke sekolah.”

 Aku memang harus berangkat ke sekolah tepat waktu. Tapi pertanyaanku itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan rasa ngantuk. Aku bertanya demikian karena aku membutuhkan jawaban yang pasti.  Aku bertanya karena ada sesuatu yang belum kutemukan. Untuk mempersingkat perjumpaan dan perbincangan kami, si Tumang langsung memberi pamit dan pulang ke rumahnya. Aku pun langsung bergegas menuju kamar tidurku. Meskipun pertanyaan itu masih menggerogoti hati dan pikiranku, tapi aku berusaha untuk mengabaikannya. Usahaku berhasil dan aku terlelap dalam tidurku.

Tiba-tiba seorang kakek dengan usia yang sudah cukup tua dan dan berambut putih muncul dan mengatakan kepadaku, “Kebenaran dapat menenangkan akal budi dan hati nurani.” “Maksut kakek apa?” Tanyaku dengan ekspresi yang sedikit gugup. “Kamu adalah manusia yang sedang melakukan peziarahan hati dan akal budi. Kakek hanya mau mengatakan kepadamu untuk terus mencari apa yang kamu cari dan menemukan apa yang telah ada.” Dengan sedikit bingung aku kembali bertanya kepadanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan?, Kemanakah aku harus mencarinya?” Tet… tet… tet… wakerku berbunyi dan menujukkan pukul 05.00. Aku langsung bangkit dari tempat tidur dan mematikan bunyinya. Seketika kepalaku terasa pusing. “Sepertinya ada seseorang yang hadir dalam mimpiku dan mengatakan sesuatu. Oh iya… aku baru ingat. Ternyata ada seorang kakek yang hadir dalam mimpiku dan menyampaikan sesuatu.” Aku berusaha untuk mengingat semua yang telah dikatakannya dan syukurlah aku masih bisa mengingat semuanya. Aku sempat bertanya-tanya mengapa kakek menyampaikan hal demikian kepadaku dalam usiaku yang masih remaja dan berpendidikan SMA. “Ahhh sudalah…. ngapain aku harus memikirkannya. Lebih baik aku mempersiapkan diri dan pergi ke sekolah.

Hari itu adalah hari dimana ada pelajaran IPA di kelasku. Ibu Hermin menjelaskan kepada kami tentang makluk hidup yang meliputi manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia menjelaskan persamaan, perbedaan mendasar, dan keterkaitan di antara makluk hidup. Secara akal budi, apa yang dijelaskannya dapat diterima. Tetapi pada titik tertentu aku mengalami kebingungan mengenai hal mendasar atau penyebab pertama mengenai apa yang dijelaskan guru tersebut.

Bel berbunyi, tanda pelajaran telah selesai. Aku segera membereskan buku-bukuku dan mengisinya dalam tas. Semua teman-teman sekelas langsung berdesak-desakkan menuju pintu keluar. Aku berjalan perlahan mengikuti mereka dari belakang. Ketika melihat ayunan langkah kakiku yang santai, ibu Hermin langsung menghampiriku, “Ibu tadi sangat kagum melihat kamu di kelas. Kamu begitu antusias mendengar penjelasan ibu.” “Hehehe….iya bu,”  jawabku sambil membantu membawa tasnya ibu. “Pantasan kamu selalu mendapat nilai yang baik saat ujian,” “Iya sih bu, tapi….” “Tapi apa?” lanjut ibu dengan penuh penasaran. “Aku belum menemukan kebenaran sejati yang dapat menenangkan akal budi dan hati nuraniku.” Wajah ibu langsung berkerut dan menyampaikan pamit kepadaku. Aku tak tahu, kenapa si Tumang dan ibu Hermin tidak memberi respon ketika aku bertanya dan menyampaikan apa yang aku rasakan. Mereka mungkin berpikir kalau ini adalah hal yang sepeleh. Dengan rasa  kecewa yang masih membekas, aku segera melanjutkan perjalanan menuju ke rumahku.

Dalam suatu perayaan jumad agung, aku menyempatkan diri untuk hadir dalam perayaan ibadat sabda. Suasana perayaan ini sangat hening. Semua orang memusatkan diri dalam perayaan tersebut. Tibalah saatnya para petugas membacakan kisah sengsara Yesus. Romo yang berperan sebagai Yesus dalam suatu kalimat mengatakan, “Aku memberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaran mendengarkan suaraku.” Kalimat ini menggugah hati dan pikiranku. Aku langsung termenung dan merasakan sesuatu yang berbeda dalam diriku. Sesuatu yang menenangkan hati dan pikiran ku, membuatku mengerti dan menyadari bahwa kebenaran yang sesungguhnya ada dalam Yesus Kristus yang adalah Allah.

 

Salam Passio!

 

“SEMOGA SENGSARA YESUS SELALU HIDUP DI HATI KITA”

Leave a comment