Ku Relakan Kau Pergi

  • Sebuah Cerpen oleh : Dismas Kwirinus, CP
Author | Kamis, 23 Agustus 2018 12:38 | Dibaca : : 3466
Ilustrasi Ilustrasi

Aku punya seorang sahabat. Namanya Arie Anggara, ia akrab disapa Arie. Dia adalah anak seorang pengusaha kaya. Ayahnya memiliki banyak kebun kelapa sawit, kopi, coklat dan selada. Selain itu juga ayahnya punya perusahaan pribadi dan mini market. Rumahnya terletak di pusat kota, dekat alun-alun, yang paling bagus dan megah itulah rumah Arie. Jarak gerbang dengan rumah kurang lebih seratus meter, sisanya halaman semua. Dapat dibayangkan betapa megah dan keren rumah itu. Mereka memiliki banyak mobil mewah, khusus untuk Arie dibelikan mobil BMW, selain itu kendaraan roda dua tak terhitung jumlahnya, jari-jemari tanganku tak cukup untuk menghitungnya. Dan bahkan mereka memiliki kendaraan yang tak beroda.

Arie adalah anak yang baik, tetapi terkadang ia juga memiliki sikap yang sombong dan angkuh. Ketika SMP Arie paling suka menulis cerpen, terutama cerpen-cerpen romantis. Hal itu membuat ia mudah memikat hati wanita. Meskipun demikian ia tak pernah berpacaran. Hanya seorang wanita yang membuat Arie tak bisa mengingkari perasaannya. Berulang kali ia menulis cerpen tetapi secara diam-diam mengagumi wanita itu. Kini wanita itu menjadi kekasihnya.

Arie secara tidak terang-terangan menjalin hubungan special dengan seorang wanita yang dulu sering ia tuliskan cerpen. Namanya Yulia Yustini . . . . yang akrab disapa Lia. Lia merupakan gadis yang cantik, berparas ayu, berpenampilan sederhana, tak terlalu tinggi dan murah senyum. Hari itu adalah hari persiapan menjelang perayaan Natal. Arie telah berjanji kepada Lia untuk mengajaknya berbelanja ke pusat perbelanjaan, ya... boleh dikatakan mallah.... Sesampainya di mal, Arie berkata kepada Lia “berbelanjalah sesuka hatimu, pilihlah pakaian, sepatu, tas yang paling mahal.” Karena Arie tak mau kekasihnya kalah gengsi dengan pacar teman-temannya. Namun Lia bukanlah tipe cewek matrek Lia lebih suka barang-barang yang sederhana, tetapi Lia tetap kalah dengan sikap Arie yang cukup keras kepala. Lalu Lia menurut saja apa yang dikatakan Arie dan menerima apa saja yang Arie berikan untuknya.

Selesai berbelanja dan keduanyapun kelelahan mengelilingi mal, Arie mengajak Lia untuk santai sejenak menikmati es krim di sebuah cafe yang terdapat di dalam mal. Setelah puas menikmati es krim dan cake berbalut keju mereka berdua pun langsung menuju keparkiran dan BMW sudah siap untuk di kendarai. Arie dan Lia pun langsung pulang. Arie mengantar Lia pulang ke rumahnya dengan mengendarai mobil BMW itu. Setibanya di rumah Lia pun mempersilakan Arie masuk dan menyuguhkan segelas jus kesukaannya. Arie bercakap-cakap cukup lama dengan Lia, di situ juga hadir mami dan papi Lia. Calon mertua Arie.

Arie berkata kepada Lia, ”Lia... malam besok aku akan menjemputmu pukul 18.30 WIB. Kita akan menghadiri undangan Tuhan dalam Perayaan Ekaristi Malam Natal, di paroki kita.”

Lia menjawab, “Tapi Arie... aku... tak bisa....”

Arie lalu bertanya, “Tak bisa apa....? Maksudmu....”

Sambung Lia, “Aku tak bisa menolakmu.... hehehee...” senyum kecil gadis manis itu. “Baiklah.... aku akan setia menunggumu di sini.” Setelah cukup lama bercakap-cakap Arie pun pulang kerumahnya.

****

Malam pun tiba, Arie tak sabar lagi ingin menjemput sang pujaan hati. Mami dan Papi Lia serta adiknya telah berangkat setengah jam yang lalu dengan mengendarai mobil pribadi.

Arie, “Lia... sudah siap....?”

Lia, “Oke bosss....”

Merekapun langsung berangkat namun sayang di tengah jalan terjadi kemacetan sehingga mereka terpaksa harus lewat jalan pintas yang membuat mereka hampir telat masuk Gereja.

Setibanya di halaman Gereja merekapun langsung turun dari mobil dan masuk Gereja. Arie dan Lia hampir tidak mendapat tempat duduk karena Gereja telah dipenuhi oleh umat yang hadir setengah jam yang lalu. Keduanyapun terpaksa duduk di kursi bagian paling belakang yang jaraknya cukup jauh dari Altar.

Malam itu suasana Gereja agak sedikit berbeda. Itu tampak dari dekorasi-dekorasi yang mewah dan megah serta pernak-pernik dan rangkaian bunga yang indah dengan gagap gempita kemerlapan lampu-lampu yang bercorak warna-warni menambah semaraknya suasana. Lagu-lagu Natal pun dilantunkan dengan merdu oleh paduan suara Gereja yang semangat dan khidmat. Kepala-kepala terangkat dan umat ikut bernyanyi bersama membuat Gereja bergema, bergelora penuh semangat. Hari Raya Natal adalah hari raya suka cita bagi umat kristen. Karena telah lahir bagi kita penebus dunia yang menebus dosa-dosa umat manusia.

Tiba-tiba lampu dimatikan suasana gelap gulita. Serentak umat yang memenuhi Gereja itu berdiri tatkala terlihat beberapa orang misdinar membawa lilin-lilin menyala yang menerangi seluruh ruangan Gereja sambil diiringi lagu malam kudus.

Setelah beberapa saat gelap, lampu-lampu dinyalakan kembali. Lalu terlihat paduan suara Gereja yang semua anggotanya berjubah hitam dengan lencana di dada bertulis putih demikian “Jesu XPI Passio.” Ternyata paduan suara itu beranggotakan Frater dan Bruder Pasionis. Setelah sampai pada liturgi sabda beberapa orang petugas maju serentak ke depan Altar untuk membawakan bacaan misa pada malam hari itu dan Lia yang duduk agak jauh dari anggota koor melihat seorang pemazmur yang gagah, berwibawa dan kalem dengan suara yang merdu Frater itu kembali mengingatkan Lia akan kenangan masa lalunya, beberapa tahun silam.... Lia pun larut dalam kenangan masa lalu itu....

****

“Hari Natal yang sangat indah dan menggembirakan, Lia” ucap Frans. “Jangan kau rusak dengan tangis. Aku tak ingin melihat kamu bersedih dan ari mata mencucuri pipimu. Mungkin kamu menangis karena sikapku yang akhir-akhir ini terlalu cuek.”

“Aku mencintaimu Frans, kamu tahu itu kan?” Suara Lia lemah, menahan isak dan sesak yang terlalu pedih.

“Ya, aku tahu, tetapi aku sudah menetapkan pilihanku yang lain. Aku mencintaimu tetapi aku juga mencintai saudara saudariku yang lain. Aku ingin menempatkan cinta pada posisi yang benar, setidaknya menurut pendapatku. Aku tak mau cintamu lahir karena menurutmu aku sudah berjasa padamu.”

“Frans... jadi kau anggap... cintaku ini tidak tulus....?” Suara Lia ketus. “Pada mulanya mungkin memang demikian. Tapi akhirnya aku menyadari bahwa cintaku lahir dari hati nuraniku sendiri.”

“Aku memahami keadaanmu Lia. Tapi sekarang masalahnya bukan demikian, berkali-kali sudah ku katakan bahwa aku ingin sekali sepenuhnya melayani Tuhan. Aku ingin mempersembahkan seluruh hidupku pada-Nya. Kamu tahu kan? Panenan banyak, tetapi sedikit penuainya. Semoga kamu mau mengerti Lia.... Sekali lagi maafkan aku telah melukaimu, aku tak mau membuatmu bersedih, hapuslah air matamu.... Lia kamu perlu tahu bahwa dirimu dihatiku takan sirna oleh waktu meskipun kamu bukan milikku....”

“Oh... Frans....” desah Lia.

Dia sangat takut kehilangan orang yang bersejarah dalam hidupnya itu. Ia takut kehilangan orang yang sangat dicintainya. Frans sudah banyak berbuat baik kepadanya. “Ketika masa SMA dulu, ia selalu mengantar aku pulang ke asrama putri, sampai-sampai ia rela telat datang ke Seminari dan di hukum karena aku. Frans rela mendonorkan darahnya kepadaku ketika aku kekurangan darah karena terserang malaria, penyakit jahanam itu hampir merenggut nyawaku, untung ada Frans. Aku tahu Frans seorang seminaris yang baik hati, ringan tangan, lemah-lembut, rela berkorban dan penyayang. Ia selalu mengajari aku untuk bersikap khusyuk dan berpenampilan sopan pada saat perayaan Ekaristi serta mengikutinya dengan khidmat.”

“Lia, aku berdoa agar kelak kemudian hari kamu menemukan orang yang kau cintai, yang juga mencintaimu. Aku yakin dia yang berada disampingmu kelak jauh lebih baik dari padaku.” Kata-kata Frans membuat mata bening itu berkaca-kaca. Akhirnya Lia pasrah. Tidak mungkin memaksakan kehendaknya.

“Aku harus kuat,” pikir Lia lebih tenang. “Biarlah Frans pergi menggapai cita-citanya.” Lalu Lia menumpahkan perasaannya ke dalam dekapan dada orang yang dicintainya itu dan Frans pun membalas dengan pelukan. Pelukannya yang terakhir untuk Lia. Frans menenangkan Lia dan berusaha untuk menghiburnya.

“Maafkan aku Frans, aku terbawa sikap egoisku. Aku seakan menutup mata bahwa banyak orang lain yang membutuhkanmu. Sekali lagi maafkan aku.” Ucapnya dibuatnya setenang mungkin.

“Terima kasih Lia....” ucap Frans.

“Jalanilah panggilanmu. Aku berdoa semoga kamu berhasil menggapainya.” Lia memegang erat-erat tangan Frans. Lalu mereka melangkah pulang. Kelihatan langkah keduanya begitu ringan, tapi tentu ada yang cukup berat melangkah, karena saat itu merupakan saat-saat terakhir kali perjumpaan mereka, sebelum Frans menghilang dari pandangan Lia.

****

“Lia...Lia..., ayo, sudah komuni,” bisik halus suara pemuda yang disampingnya. Lia tersentak dari lamunannya. Ditatapnya pemuda yang ada disampingnya itu, Arie. Dipandangnya juga Frater yang sedang membagikan komuni suci pada umat di depan Altar. Sang Frater itu adalah Fransiskus, yang akrab dipanggil Frater Frans. Frans dan Arie adalah dua pemuda yang berbeda. Frans adalah masa lalu Lia dan Arie adalah tumpahan dan tumpuan harapan Lia kini, yang menggantikan tempat Frans.

“Selamat Natal Frans.... ehhh... maaf Frater...” ucap Lia saat menemuinya seusai misa.” Kenalkan ini Arie,” Lanjutnya.

“Selamat Natal juga,” sahut Frater sambil menyalami Lia dan Arie.

“Lia kamu tak perlu memperkenalkan Arie kepadaku, karena ia sahabatku di SMP dulu. Apa kabar Arie...?” Sang Frater tersenyum. Lia tersipu malu karenanya.

“Baik-baik saja”, sahut Arie.

 Bagaimana, Arie? Apakah masih sering menulis cerpen?”

“Oh.... sekarang sudah tidak lagi paling-paling hanya menulis cerpen kisah tentang aku dan Lia”. Lagi-lagi Lia tersipu malu.

“Bagaimana, Lia apakah kamu senang membaca cerpen Arie?” Lia tidak menjawab kepalanya tertunduk.

“Oke... kuharap kalian berdua akur-akur saja,” nasihat Frater lagi. “Aku tunggu undangan pernikahan kalian....”

Jawab Lia, “Baik Frater... kalau Tuhan menghendaki bulan depan kami akan menikah...” Lanjut Arie, “Datang ya Frater....”

Jawab Frater Frans, “Tentu saya akan datang....” Ketiganya tertawa lepas bersama-sama.

“Baiklah saya permisi dulu, itu masih banyak umat yang perlu kusalami juga,” ucap sang Frater. Dia menyalami umatnya satu persatu. Salam kemenangan Kristus dari awal hingga akhir zaman.

 

Salam Passion!!!

“Semoga Sengsara Yesus Kristus Selalu Hidup di Hati Kita”

P.Avensius Rosis,CP

Ditahbiskan menjadi imam dalam Kongregasi Pasionis pada 18 Agustus 2009 di Gereja Katedral Jakarta. Februari 2016 - Juli 2017 berada di Melbourne, Australia. Sekarang bertugas mendampingi para Novis Pasionis di Biara Santo Gabriel dari Bunda Berdukacita, Batu, Malang. | Profil Selengkapnya

www.gemapasionis.org | Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Leave a comment