Prolog
Kongregasi Sengsara Yesus Kristus (Latin: Congregatio Passionis Iesu Christi) atau yang lebih dikenal dengan nama Kongregasi Pasionis adalah sebuah tarekat religius putra dalam Gereja Katolik Roma yang memiliki status yuridis tingkat kepausan. (Tarekat hidup bakti disebut bertingkat kepausan, jika didirikan oleh Takhta Apostolik atau telah disetujuinya dengan suatu dekret resmi; namun disebut bertingkat diosesan, jika didirikan oleh Uskup diosesan dan belum memperoleh dekret aprobasi dari Takhta Apostolik (KHK 589). Dengan status ini semua kebijakan mengenai kepemimpinan intern serta disiplin tarekat ditempatkan secara langsung dan eksklusif dibawah kekuasaan Takhta Apostolik (KHK 593); seraya tetap mengindahkan otonomi yang wajar mengenai kehidupannya (KHK 586).
Kongregasi Pasionis didirikan oleh santo Paulus dari Salib (1694-1775) dengan penekanan khusus pada Sengsara Yesus Kristus. Para anggotanya disebut “Pasionis” dan, sebagai inisial, pada ujung nama tiap anggota dibubuhi singkatan C.P.
Para pasionis mengenakan jubah berwarna hitam sebagai tanda berkabung atas penderitaan dan kematian Yesus. Mereka mengenakan lambang berbentuk jantung yang disematkan di dada bagian kiri. Pada lambang itu tertera SALIB dan tulisan “JESU XPI PASSIO” serta TIGA PAKU; semuanya berwarna putih. Dengan lambang tersebut para Pasionis mengingat motto panggilan hidup mereka: Semoga Sengsara Yesus selalu ada di dalam hati kami. (Dalam kosakata bahasa Indonesia tidak ada kata yang sepadan untuk menerjemahkan kata Passio. Kata “sengsara” sangat sempit dan mengandung konotasi negatif. Kata Passio (Latin: passus, pati) selain berarti “menderita” juga mengandung makna “nafsu”, “hasrat”, “keinginan”, “kemauan”, “cinta”, “dorongan (emosional)”. Sejak abad ke-16 kata Passio digunakan dengan rujukan khusus pada peristiwa sengsara dan wafat Yesus Kristus. Dalam konteks ini kata Passio dipakai untuk melukiskan hasrat dan keinginan Allah untuk menyelamatkan dunia karena kasih-Nya (bdk. Yoh 3:16; Rm 5:8-10; 8:32). Pemahaman tersebut mencerahkan santo Paulus dari Salib sehingga dengan yakin berkata, “Sengsara Yesus merupakan bukti cinta kasih Allah yang paling agung” (L. II, 499). Menjadi Pasionis bukan pertama-pertama untuk menderita seperti Kristus yang telah menderita melainkan untuk mencinta sebagaimana Allah telah mengasihi kita dalam diri Yesus Putra-Nya (bdk. Konst. 5).
1. St. Paulus dari Salib dan Spiritualitas Pasionis
Paulus dari Saliblahir di Ovada, 3 Januari 1694 dari pasangan Lukas Danei dan Anna Maria Massari. Sejak masa kanak-kanak Paulus sudah terbiasa hidup susah. Sebagai anak pertama dari sebelas bersaudara Paulus telah menyaksikan kematian dari sembilan saudaranya yang belum mencapai usia dewasa. Pekerjaan ayahnya yang adalah pedagang membiasakan Paulus bertemu dengan orang baik maupun orang licik. Keluarga Danei harus hidup nomaden; pindah dari satu kota ke kota lain baik karena urusan bisnis maupun akibat perang.
Adalah Anna Maria Massari, ibu yang saleh dan beriman, yang membimbing Paulus dan saudara-saudaranya untuk menghayati kesukaran hidup sebagai partisipasi atas penderitaan Kristus. Kisah sengsara Yesus dan riwayat para kudus menjadi cerita pengantar tidur yang merasuk alam bawah sadar, berakar dan bertumbuh menjadi kerinduan akan kekudusan. Kendati sibuk dan harus bekerja keras untuk bertahan hidup keluarga Danei tidak pernah mengabaikan doa bersama. Rumah bukan sekedar tempat berteduh melainkan juga sekolah doa dan meditasi.
Tradisi kekristenan yang mengakar kuat dalam pribadi Paulus mendorongnya untuk membaktikan diri bagi Gereja. Pada usia 22 tahun Paulus mendaftarkan diri sebagai sukarelawan perang melawan Turki. Bagi Paulus membela Kristus dan Gereja-Nya dengan kemungkinan mati sebagai mártir adalah salah satu cara untuk mencapai kekudusan.Paulus berangkat ke Crema untuk mendapatkan latihan militer. Pada hari Kamis Putih, 20 februari 1716, Paulus masuk ke sebuah gereja di Crema untuk berdoa dihadapan Sakramen Mahakudus yang ditakhtakan selama 24 jam. Dalam doa yang khusuk Paulus mendapat wahyu bahwa bukan kemartiran yang menjadi jalan kekudusannya. Allah telah menyiapkan jalan lain baginya untuk berpatisipasi dalam karya keselamatan dan jalan itu membutuhkan keberanian untuk hidup, bukan keberanian untuk mati.
Sejak peristiwa pengalaman rohani dalam doa di Crema Paulus berkeinginan untuk hidup sebagai pertapa dan mengasingkan diri dari dunia. Namun sebagai anak tertua dengan ayah dan ibu yang tidak lagi muda Paulus harus memikul tanggung jawab menghidupi keluarga. Paulus menjalankan usaha dagang ayahnya seraya tetap menyimpan dalam hati kerinduan akan kekudusan. Keheningan, puasa dan matiraga menjadi aktivitas Paulus selama masa pembedaan roh. Persatuan dengan Yesus yang bersengsara dihayati dengan pola hidup sederhana: mengenakan jubah hitam dari kain yang kasar dan murahan, berjalan tanpa alas kaki, mengurangi jam tidur dan menghabiskan malam dengan berdoa di depan salib.
Sampai dengan usia 26 tahun Paulus masih belum dapat mewujudkan keinginannya untuk menjawab panggilan Tuhan. Gema panggilan itu terasa kuat dalam hatinya namun keraguan tidak dengan sendirinya hilang.Hingga pada suatu hari di penghujung musim panas pada tahun 1720, seusai doa dan meditasi dalam gereja ordo kapusin, Paulus mengalami penampakan rohani: Paulus melihat dirinya sendiri berpakaian jubah hitam panjang sampai di kaki dengan salib putih di dada dan di bawah salib tertera tulisan nama tersuci Yesus dengan huruf berwarna putih; danPaulus mendengar suara, “Lambang ini menjadi tanda bahwa orang yang membawa nama tersuci Yesus harus memiliki hati yang murni dan suci”. Paulus mengalami beberapa pewahyuan lain; di antaranya penampakan bunda Maria dengan jubah hitam dan lambang Pasio yang menyakinkan Paulus dengan berkata, “Kamu akan mendirikan suatu tarekat yang anggota-anggotanya berpakaian seperti ini. Tarekat itu akan selalu berkabung atas Sengsara dan Wafat Puteraku yang tercinta". (*Santo Agustinus membedakan tiga level penampakan/pewahyuan: inderawi, rohani dan akal-budi. Pada level inderawi seseorang dapat melihat makhluk spiritual yang mewujudkan diri dalam bentuk fisik. Pada level rohani, dengan bantuan imajinasi dan tanpa aktivitas inderawi, seseorang dapat sampai pada pencerahan tentang makna dari suatu peristiwa batin/rohani. Pada level akal-budi, tanpa bantuan imajinasi maupun aktivitas inderawi, seseorang dapat sampai pada pemahaman tentang misteri iman dan pengertian tentang Allah. Penampakan/pewahyuan pada level akal-budi biasanya terjadi dalam ekstasis dan dianggap sebagai level tertinggi dalam pengalaman mistik. http://www.augustinus.it/italiano/genesi_lettera/genesi_lettera_12.html)
2. Sejarah singkat pendirian Kongregasi Pasionis
Paulus telah mengenal ordo dan tarekat seperti Karmel, Kapusin, Jesuit, Domenikan dan masih banyak lagi yang lainnya tetapi tidak pernah ada niat dalam dirinya untuk bergabung dalam salah satu di antaranya. Paulus lebih terinspirasi untuk mengumpulkan rekan-rekan yang sama-sama terpanggil untuk menghayati nasihat-nasihat Injil dan mewartakan Sabda Salib. Pembimbing rohaninya, Mgr. Francesco Maria Arboreo Gattinara, uskup di keuskupan Alessandria, mengenal karya Allah dalam diri Paulus dan pada tanggal 22 November 1720 ia mengijinkan Paulus untuk mengenakan jubah hitam seperti yang terlihat dalam penampakan rohani.
Atas nasihat Mgr. Gattinara, Paulus melakukan retret di gereja santo Karolus dan santa Anna, Castellazzo selama 40 hari (23 November 1720 - 1 Januari 1721). Seraya bertekun dalam doa dan puasa Paulus menulis Diari (catatan harian) yang memuat pengalaman rohani selama masa retret tersebut. Selain itu, hanya dalam waktu 5 hari (2-7 Desember 1720), Paulus juga menulis Regola yang memuat aturan hidup bagi dirinya sendiri dan bagi orang-orang yang terpanggil pada cara hidup yang sama.Paulus ingin agar mereka dikenal dengan sebutan “Para miskin Yesus”.
Rekan seperjalanan Paulus sejak permulaan panggilan adalah saudaranya, Yohanes Baptista. Pada bulan Maret 1725 mereka berdua berziarah ke Roma dalam rangka tahun yulibileum dan untuk menghadap guna mendapatkan penyelidikan. Paus Benediktus XIII menerima mereka di gereja Navicella, Celio, pada tanggal 21 Mei 1725 dan memberi mereka ijin mengumpulkan rekan-rekan untuk hidup bersama dan mewartakan Injil. Agar pewartaan menjadi lebih efektif Paus menganjurkan agar kedua bersaudara tersebut ditahbisakan sebagai imam. Dua tahun kemudian, tepatnya tanggal 7 Juni 1727,Paulus Fransiskus dan YohanesBaptista menerima rahmat tahbisan imamat melalui penumpangan tangan Paus Benediktus XIII di Basilika St. Petrus, Roma.
Paus Benediktus XIV (*Paus Benediktus XIV terpilih pada tanggal 17 Agustus 1940 sebagai penerus Paus Klemen XII) menyelidiki kembali Regula “Para Miskin Yesus” dan pada tanggal 12 Mei 1741, atas rekomendasi Paus, Kongregasi Suci untuk para Religius dan Institut-institut Awam mengumumkan bahwa tarekat “Para Miskin Yesus” memiliki status yuridis tingkat kepausan. Sejak saat itu gelar “Para Miskin Yesus” diubah menjadi “Imam-imam tak berkasut dari Salib tersuci dan Sengsara Yesus Kristus”. Para Pasionis pertama mengikarkan secara resmi profesi religius pada tanggal 11 Juni 1741. Mereka mengganti nama marga/keluarga dengan nama santo-santa atau dengan misteri hidup Yesus sebagai tanda telah bergabung dengan keluarga baru: Paulus dari Salib, Yohanes Baptista dari Malaikat Agung Santo Mikael, Antonius dari Sengsara, Fulgensius dari Yesus, Karolus dari Bunda Allah, Yosef dari Santa Maria.
Paus Klemen XIV (Paus Klemen XIV terpilih pada tanggal 19 Mei 1969 sebagai penerus Paus Klemen XIII 19) memberikan hak penuh kepada Pasionis sehingga memiliki kedudukan stara dengan tarekat-tarekat religius lainnya dan menetapkan bentuk hidup Pasionis bukan sebagai “Ordo” melainkan sebagai “Kongregasi” dengan kaul sederhana. Pada tahun 1775 Paus Pius VI, setelah menyelidikan Regola Kongregasi dan mengusulkan beberapa penyesuaian atas aturan yang perlu, memberikan pengukuhan penuh Kongregasi Pasionis. Berdasarkan Konstitusi yang telah direvisi dan disetujui oleh Takhta Suci pada tahun 1984 nama resmi Kongregasi adalah Kongregasi Sengsara Yesus Kristus.
3. Perkembangan dan aktualitas Kongregasi Pasionis
Semasa hidupnya St. Paulus dari Salib telah mendirikan 12 biara dan antara tahun kematiannya (1775) hingga tahun 1810 telah banyak biara didirikan tapi semuanya di Italia. (Dalam bahasa Italia biara Pasionis disebut “ritiri” (Indonesia: retret) tempat dimana para religius Pasionis hidup berkomunitas dalam keheningan, doa dan matiraga yang memungkinkan mereka untuk bermeditasi, merenungkan dan menghayati Sengsara Kristus sebelum memberi kesaksian tentangnya dalam karya kerasulan). Semua biara tersebut ditutup ketika Napoleon Bonaparte berkuasa dan menindas lembaga-lembaga keagamaan. (Napoleon Bonaparte (1769-1821) memerintah dan menguasai sebagian besar daratan Eropa selama lebih kurang 11 tahun, sejak dari penobatannya sebagai kaisar Prancis pada 18 Mei 1804. Pada 17 Maret 1805 Napoleon menjadi raja Italia; berkuasa hingga 11 Aprile 1814 dan kemudian kembali ke Prancis. Masa kejayaan Napoleon Bonaparte berakhir dengan kekalahannya dalam perang di WaterlooJuni 1815, melawan kerajaan Britania Raya, yang bersekutu dengan Rusia, Prusia,Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah negara kecil di Jerman). Setelah kekuasaan Napoleon berakhir, Paus Pius VII kembali ke Roma dan memulihkan dengan segera situasi dan kondisi terekat-tarekat religius. Kongregasi Pasionis menjadi perhatian utama Sri Paus walaupun merupakan tarekat kacil dan tersebar hanya dalam lingkup Italia. Pada tanggal 16 Juni 1814 para Pasionis memulai kembali aktivitas religius dan pastoral di Retreat Santi Giovanni e Paolo, Roma. Beberapa biara baru dibuka di Napoli, Sardegna dan Toscana, bahkan para Pasionis mulai mengadakan misi ke luar Italia, seperti di Inggris, Skotlandia, Irlandia, Belgia, Belanda, Perancis, Spanyol, Amerika Serikat, Republik Argentina, Chile, Meksiko, dan Australia; di Indonesia para misionaris Pasionis Belanda berkarya sejak tahun 1946. Para misionaris Pasionis Belanda kemudian dibantu oleh para misionaris Pasionis Italia yang datang ke Indonesia pada tahun 1961.
Kongregasi Pasionis saat ini memiliki sekitar 1.900 anggota yang tersebar di 62 negara di 5 benua. (*Data berdasarkan dokumen Sinode Gendral XV Konggregasi Pasionis, Roma 2015). Mereka dipimpin oleh seorang Superior Jendral yang dipilihdalam Kapitel Jendral yang diadakan setiap enam tahun sekali.Superior Jendral Kongregasi Pasionis saat ini adalah P. Joachim Rego CP. Beliau lahir di Burma dan sejak usia remaja beliau pindah ke Australia bersama orang tuanya. Di sana ia mengenal dan bergabung dengan Kongregasi Pasionis Provinsi Australia. Dalam memimpin Kongregasi, Superior Jendral dibantu oleh enam Konsultor Jendral yang berasal dari berbagai negara: P. Augusto Canali CP, P. Denis Travers CP, P. Antonio Munduate CP, Michael Ogweno CP, P. Sabinus Lohin CP,dan P. Giuseppe Adobati CP. P. Joachim Rego dan enam Konsultor Jendral tersebut terpilih dalam dalam kapitel ke-46 Kongregasi Pasionis yang berlangsung di Roma (9 September – 7 Oktober 2012). Alamat resmi Superior Jendral dan para Konsultor, yang juga merupakan biara Jedralat Kongregasi Pasionis, adalah Piazza Ss. Giovanni e Paolo 13, Roma00184 – Italy; Tel. 06.77.27.11; Fax. 06.700.84.54.
Kongregasi Pasionis dibagi dalam beberapa provinsi, vice-provinsi, vikariat dan daerah misi. Berdasarkan wilayah georafis Kongregasi Pasionis dibagi dalam enam konfigurasi; tiap konfigurasi terdiri atas beberapa provinsi,vice-provinsi, vikariat dan daerah misi.Berikut adalah keenam konfigurasi yang dimaksud:
CEB (Configurazione di Eugenio Bossilkov) yang meliputi Italia, Perancis dan Portugal dan beberapa daerah misi. Sejak kapitel lokal, 16-26 Mei 2015, provinsi-privinsi yang berada dalam CEB bergabung menjadi satu provinsi dengan nama MAPRAES (Maria ad Templum Praesentata).
CCH (Configuration of Charles Houben)yang meliputi Irlandia, Inggris, Skotlandia, Wales, Jerman, Polandia, Belgia, Republik Ceko, Ukraina, Belanda, Swedia dan bebrapa daerah misi.
CJC (Configuration of Jesus Crucified)yang meliputi Meksiko, Brazil, Amerika Serikat, Argentina, Puerto Rico, Republik Dominika, Haiti, Kanada, Uruguay, Paraguay dan beberapa daerah misi.
PASPAC (Passionists in Asia Pacific)yang meliputi Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, Filipina, Korea, Jepang, Indonesia, India, Cina dan Vietnam.
CPA (Configuration of the Passionists of Africa) yang meliputi Kenya, Tanzania, Republik Kongo, Afrika Selatan, Botswana, Zambia dan beberapa daerah misi.
SCOR (Sagrado Corazòn) yang meliputi Spanyol, Peru, Kolombia, Ekuador, Venezuela, Chili, Panama, Honduras, Guatemala, Kuba, El Salvador, Bolivia, Nikaragua dan beberapa daerah misi.
Selain lembaga religius putra, Kongregasi Pasionis juga memiliki lembaga religius perempuan.St. Vinsensius Maria Strambi yang menulis biografi St. Paulus dari Salib mengungkapkan bahwa sejak awal berdirinya Kongregasi bapa Pendiri ingin membentuk suatu lembaga religius perempuan yang membaktikan dirinya untuk melayani Tuhan dalam kehidupan kontemplatif dengan berdoa dan merenungkan sengsara Yesus. Lembaga hidup bakti tersebut dikenal dengan nama Rubiah Pasionis; didirikan oleh St. Paulus dari Salib dan Faustina Gertrude Constantini (setelah masuk sebagai Rubiah Pasionis ia mengubah namanya menjadi Maria dari Yesus Tersalib) di Tarquinia pada 3 Mei 1771. Rubiah Pasionis hadir dan berkarya di Italia, Argentina, Belgia, Brasil, Kolombia, Korea Selatan, Filipina, Jepang, Meksiko, Belanda, Inggris, Spanyol, Amerika Serikat, Indonesia (Keuskupan Maumere, Flores dan Keuskupan Malang, Jawa Timur).
Selain Rubiah Pasionis dengan pola hidup kontemplatif, spiritualitas Pasionis dihayati juga oleh beberapa tarekat perempuan dengan pola hidup apostolik.Di antaranya adalah Suster Pasionis dari St Paulus dari Salib yang didirikan pada tahun 1815 oleh Maria Maddalena Frescobaldi (1771-1839). Berakar pada kenangan akan Sengsara Yesus, mereka mengabdikan dirinya dalam misi pendidikan dengan fokus pada kaum perempuan, remaja dan anak-anak yang mengalami berbagai bentuk penindasan, kekerasan dan eksploitasi.
Para suster Pasionis dari St. Paulus dari Salib hadir dan berkarya di Belarus, Belgia, Bulgaria, Perancis, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Bolivia, Brazil, Kanada, Kolombia, Kuba, Ekuador, Panama, Paraguay, Peru, Korea Selatan, Filipina, India, Indonesia, Republik Demokratik Kongo, Pantai Gading, Kenya, Nigeria, Tanzania dan Australia.
4. Karya pastoral dan sosial Kongregasi Pasionis
Kongregasi Pasionis mempunyai dua tujuan utama yang saling menyokong satu sama lain: kesatuan dengan Allah dalam hidup kontemplatif dan persatuan dengan sesama dalam hidup apostolik. Santo Paulus dari Salib “menghendaki agar para pengikutnya «hidup seperti rasul» dan memupuk semangat doa, matiraga serta kesunyian yang mendalam untuk mencapai kesatuan mesra dengan Allah dan menjadi saksi cinta kasih-Nya” (Konst. 1, bdk. Reg. I). Tujuan ganda tersebut diungkapkan dalam kaul ke-4; kaul khas Kongrgasi Pasionis: konsakrasi diri untuk merenungkan dan mewartakan kenangan akan Sengasara Yesus Kristus dengan perkataan dan perbuatan (Konst. 6).
Aktivitas inti dan utama para Pasionis dalam karya pastoral demi keselamatan jiwa-jiwa adalah berkotbah dalam “misi umat” dan melayani retret serta bimbingan rohani pribadi maupun kelompok (bdk. Konst. 66; 70). Persatuan mesra dengan Allah dalam hidup kontemplatif membentuk para Pasionis menjadi pewarta-pewarta handal dalam bimbingan rohani dan retret bagi para imam, biarawan-biarawati, para seminaris dan awam. Paulus dari Salib menghendaki agar para pengikutnya menjadi “guru doa dan meditasi” dengan tema Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus (Reg. I).
Regula dan Konstitusi tidak mewajibkan para Pasionis untuk mengemban tanggung jawab sebagai pastor paroki. Namun di manapun biara Pasionis didirikan mereka boleh membantu pastor paroki untuk mewartakan Sabda, merayakan Ekaristi, menerimakan sakramen tobat, mengunjungi orang sakit. Keterlibatan para Pasionis sebagai pastor paroki merupakan bentuk partisipasi dan tanggung jawab terhadap perutusan Gereja universaldan hal itu dilakukan atas permintaan otoritas Gereja lokal (bdk. Konst. 73). Karena itu, di beberapa wilayah seperti Indonesia, Amerika Serikat dan Afrika para Pasionis hadir dan berkarya sebagai pastor paroki.
“Sadar bahwa kita adalah bagian dari komunitas umat manusia, maka merasa wajib dan bertanggung jawab bekerjasama dengan manusia lain yang berkehendak baik, guna mencari «semua yang benar, mulia dan adil», dengan memperhatikan kebutuhan aktual Gereja dan dunia maupun perutusan istimewa kita dan talenta para religius kita” (Konst. 69). Pasionis Internasional (selanjutnya ditulis: PI) yang berkedudukan di New York menjadi rapresentasi Kongregasi Pasionis di dalam karya sosial pada tingkat dunia. Bersama dengan Fransiskan Internasinal, Agustinian Internasional, Konferensi Kepemimpinan Dominikan, Vinsensia, dan Suster-suster dari Santo Yosef (CSJ), PI tergabung dalam NGO (Non-Governmental Organization) di bawah PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). Keikutsertaan PI dalam NGO dimulai sejak 2004 di bawah Departeman Informasi Publik (DPI) di PBB. Pada Tahun 2009 PI diperkenankan bergabung dalam Komisi Sosial dan Ekonomi (ECOSO) PBB. Status keanggotaan ini memungkinkan PI untuk menyuarakan secara aktif pesan Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC), dengan perhatian khusus pada “tiap-tiap orang yang «disalibkan» oleh ketidakadilan, oleh kehilangan arti yang mendalam atas kehidupan dan oleh kelaparan akan kedamaian, kebenaran dan hidup” (Konst. 65).
Epilog
(*Kutipan dari Discorso Di Giovanni Paolo II Ai Religiosi Capitolari Della Congregazione Della Passione Di Gesù Cristo, Sala Clementina - Venerdì, 28 ottobre 1994. Terjemahan oleh penulis).
“St. Paulus dari Salib adalah seorang mistikus sengsara yang mengalami bahwa penderitaan Yesus adalah sumber keselamatan kekal manusia dan merupakan rahasia untuk mengatasi keegoisan dan kekerasan hati […]. Dengan kepekaan rohani yang mendalam ia mampu mewartakan iman dan praktek hidup kristiani dengan cara yang menarik dan mudah dimengerti oleh orang-orang pada zamannya; tidak hanya oleh para imam dan orang-orang yang memiliki kepekaan rohani tetapi juga oleh orang-orang sederhana (yang tidak memiliki latarbelakang pengetahuan teologis).
Dari hidup dan pengajarannya kita dapat belajar bagaimana melangkah di jalan Allah dan melayani kerajaan-Nya. […] Saya mendorong Anda sekalian untuk menjadi saksi di antara orang-orang pada zaman ini, seraya mengikuti inspirasi dari karisma Pasionis. Dalam surat yang saya kirim kepada Kongregasi Pasionis saya menekankan betapa berharganya karisma Pasionis dan bahwa karisma tersebut memiliki relevansi besar bagi Gereja dan bagi umat manusia di zaman ini.
Semoga Sengsara Yesus, yang menginspirasi Anda sekalian, adalah sumber kekuatan dan ketekunan, karena seraya memandang kepada Dia yang disalibkan semuanya akan tampak dalam cahaya baru, yakni cahaya kasih Allah yang tak terbatas”.
Salam Passion!!!